Dok. pribadi

"Jika ingin memanen dalam 3 bulan, maka tanamlah padi, jika ingin memanen dalam 10 tahun, maka tanamlah pohon, tapi jika mengharapkan perubahan 100 tahun ke depan, didiklah sebuah generasi.” 

Penggalan di atas adalah prolog sebuah feature  menawan karya jurnalis NTT, Benny Dasman berjudul “Skol Amnasit, Sekolah Orangtua  Merenda Karakter Anak Timor”, (pos-kupang.com, 31/5/2017).)   Feature itu dengan apik melukis kisah sejumlah orangtua di Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT yang menimba ilmu di Skol Amnasit  (bahasa Dawan di Timor Barat) yang berarti sekolah orangtua, sebagai bekal mereka menjadikan rumah, sekolah pertama bagi pendidikan karakter anak-anak, dengan para orangtua ini sebagai gurunya.  

    Di Skol Amnasit, para orangtua mempelajari dan menggali nilai-nilai luhur budaya yang tumbuh dalam keluarga masyarakat Dawan di Timor Barat, untuk diterapkan dalam pola asuh anak-anak mereka. Tulisan ini sangat menginspirasi, terutama karena menonjolkan potensi nilai kearifan lokal masyarakat NTT, sebagai pintu masuk penguatan pendidikan karakter anak di keluarga. 

Sebagai guru pertama di rumah, orang tua bertanggungjawab penuh pada keberhasilan pendidikan anak. Orang tua tidak boleh melimpahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Waktu anak berada di rumah lebih banyak ketimbang di sekolah, dan karenanya ayah dan ibu wajib memastikan selama berada di rumah, anak tetap memiliki akses pada sumber bacaan.

Upaya orang tua untuk memenuhi kebutuhan literasi anak di lingkup  keluarga merupakan sebuah pendekatan pendidikan berbasis hak anak. Secara yuridis, pendekatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2002 secara eksplisit menyebutkan bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. 

Sementara itu, pada pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB atau Convention on the Right of the Child dengan jelas ditegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for child) harus menjadi pertimbangan utama, dalam segala tindakan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh orang tua/wali, sekolah, maupun negara. 

Mengapa keterlibatan keluarga sebagai salah satu poros utama dalam memenuhi hak anak pada akses sumber bacaan penting untuk diupayakan di rumah? Jawabannya, pertama, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang partisipatif. Tesis ini merupakan refleksi dari konsep trisentra pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara merujuk pada peran keluarga, sekolah dan masyarakat dalam  pengembangan pendidikan di Indonesia. Ibarat batu tungku, ketiga elemen tersebut memiliki fungsi yang saling terkait dan saling menguatkan. Kedua,  Berbagai riset baik nasional maupun internasional menunjukan kemampuan literasi orang Indonesia belum menggembirakan. 

Data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunana Manusia dan Kebudayaan mencatat rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, dengan menghabiskan waktu 30-60 menit per hari. Artinya jumlah buku yang dibaca dalam setahun hanya berkisar 5-9 buku pertahun. Selain itu, merujuk pada indeks minat baca di Indonesia yang dirilis UNESCO pada 2012, ditemukan bahwa dari 1000 orang, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca. 

 Dampak secara luas terlihat pada angka buta huruf masyarakat Indonesia sebagaimana tercatat di Pusat Data dan Statistik Kemendikbud pada 2015, di mana Indonesia masih memiliki 5.984.075 orang buta huruf. Persentase buta huruf untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 4,78 persen, usia 14-44 tahun 1,10 persen dan 11,89 persen untuk usia 45 tahun ke atas, (kompas.com, 20/12/2018). 

Deretan statistik ini seperti menjadi clue  bahwa sekolah tidak boleh dibiarkan menjadi single fighter dalam usaha membangun budaya baca bagi anak-anak, akan tetapi dukungan keluarga dan masyarakat umum merupakan sebuah kemutlakan.  

Pendekatan literasi keluarga  

Literasi keluarga yang melibatkan orang tua dan anak di rumah bisa melalui beberapa pendekatan berikut.

  Pertama, orang tua wajib menyiapkan bahan bacaan di rumah. Di keluarga, selain rak TV dan pernak-pernik rumah tangga lainnya, ketersediaan rak  atau lemari buku mestinya juga menjadi kebutuhan untuk para anggotanya. Jadi, ada semacam perpustakaan mini yang   dilengkapi surat kabar, buku/bahan bacaan anak-anak, dan sumber literatur lain. Kemudian orang tua menjadi role model dengan membangun kebiasaan membaca. Kebiasaan ngopi  oleh ayah  di rumah sambil membaca surat kabar atau buku, tampak sederhana dan biasa saja, tetapi memiliki efek domino  kepada anak-anak untuk ikut menggelutinya, jika  orangtua melakukannya secara rutin dalam jangka waktu lama.

 Singkatnya, dengan sumber bacaan yang tersedia, disertai kebiasaan membaca oleh orang tua di rumah, pola ini akan memancing rasa ingin tahu anak untuk kemudian mengakrabi bahan bacaan tersebut, dan menjadi pembaca lalu akhirnya pembelajar. Rumah, menjadi tempat pertama anak berkenalan dengan bahan bacaan, jatuh cinta pada buku, koran, sumber segala ilmu pengetahuan. 

Melalui pendekatan ini, minat baca anak tumbuh tidak atas perintah verbal orang tua, tetapi dengan kesadaran mencontoh apa yang dilakukan orangtua. Pada tahap ini, family culture dalam hal literasi dasar yang melibatkan anak-anak telah terbentuk dan akan menguat seiring waktu tumbuh kembang anak  di bawah bimbingan  orangtua. Sebagai proses kreatif, jika budaya membaca dibiasakan pada  anak usia dini di rumah,  dan terus berlanjut hingga di bangku sekolah, maka siklus  itu akan memberikan dampak positif pada perkembangan kognisi, meningkatkan kecerdasan, daya analisa, untuk membentuk individu yang unggul. 

Kedua, untuk menumbuhkan rasa suka dan ketertarikan anak pada aktivitas membaca,   memberikan buku sebagai hadiah  ulang tahun anak bisa menjadi alternatif lain bagi orangtua. Selain itu,  secara rutin, sebulan sekali misalnya, anak diajak mengunjungi toko buku. Cara konservatif lain seperti membacakan cerita dan mendongeng juga bisa menjadi media yang efektif, untuk mencegah orang tua dan anak larut dalam aktivitas gadget yang cenderung apatis. 

Tentang penggambaran fungsionalitas dan manfaat membaca buku,  dijaman perjuangan-Bung Hatta pernah mencetuskan sebuah petuah unggul yang menyatakan “Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.   Urgensi pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu ahasitoris dan kebodohan  juga memantik pikiran tokoh pergerakan Tan Malaka, dengan kutipan terkenalnya “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi”. Intisari pikiran dua tokoh ini bisa menjadi inspirasi para orang tua, bahwa mengenalkan anak dengan buku pada hakikatnya adalah memenuhi hak dan kebutuhan ilmu pengetahuan anak-anak. 

Ketiga, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa banyak opsi baru terkait sumber bacaan dalam bentuk literasi digital. Di internet, bertebaran  aplikasi belajar, mesin pencarian, serta ragam situs yang bisa diakses sebagai media sumber informasi dan pengetahuan. Namun demikian, seperti pedang bermata dua, internet juga menyediakan konten yang tidak ramah anak, seperti pornografi, penipuan dan aksi tindak kekerasan.

 Selain itu, ragam aplikasi game dan media sosial juga ibarat candu bagi para penggunanya. Di sinilah fungsi kontrol orangtua mutlak diperlukan. Orang tua bisa menerapkan prinsip “membolehkan” dengan kontrol  bukan “melarang” untuk tidak sama sekali,  terkait penggunaan gawai oleh anak.

 Prinsip ini akan mendorong anak-anak untuk bersikap terbuka kepada orangtua ketika berhadapan dengan konten negatif, juga menumbuhkan rasa tanggungjawab pada aktivitas mereka di dunia maya. 

Fungsi kontrol orang tua penting untuk menjamin  aktivitas literasi digital anak ke arah yang positif, agar memiliki kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk, dari berbagai sumber yang diakses melaui piranti komputer maupun smart phone.  Sejumlah riset tentang pengggunaan internet di Indonesia memang menunjukan hasil yang mencemaskan.

 Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menunjukan penetrasi internet di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 143,26 juta jiwa dengan persentasi pengguna terbesar adalah remaja pada rentang usia 13-18 tahun atau 75 persen. Data lain sebagaimana dirilis harian Kompas edisi 8/11/2018, sebanyak 87,13-89,35 persen dari aktivitas digital orang Indonesia dipakai untuk mengakses media sosial dan aplikasi berbasis messanger. 

Aplikasi media sosial menyedot pengguna dalam jumlah yang sangat besar, berturut-turut  facebook mencapai 130 juta akun, Whatsapp 99,2 juta, dan Instagram  53 juta akun. Data APJII juga menunjukan tren penggunaan internet di Indonesia untuk kegiatan produkif seperti perekonomian hanya mencapai 16,83-45,14 persen.

Menurut catatan  Jaringan Pegiat Litersasi Digital,  terungkap bahwa keterlibatan keluarga dalam upaya literasi masih minim. Meski aktivitas digital anak sebagian besar dilakukan ketika berada di rumah, tetapi hanya 12,23 persen aktivitas literasi yang menjadikan orangtua sebagai peserta aktif. Inilah tantangan besar menjadi orangtua bagi generasi milenial. Melarang anak untuk menggunakan gawai dan mengakses internet bukanlah solusi, tetapi mengarahakan mereka untuk mengakses internet untuk tujuan pengembangan kreatifitas edukatif dan sebagai sumber belajar tampak menjadi pilihan yang bijak.   

Keempat, untuk membangun kehangatan keluarga tanpa penggunaan gawai,  orang tua bisa membuat aturan yang berlaku pada rentang waktu tertentu dan wajib dipatuhi semua anggota keluarga. Misalnya, mengisi waktu dari pukul 18.00-20.00 sebagai quality time anggota keluarga. Kesempatan itu, orangtua bisa  bermain dengan anak, berdiskusi terkait ibadah, pendidikan anak, pekerjaan orang tua, keadaan rumah dan lainnya.

 Rentang waktu itu juga bisa digunakan untuk membangun kebiasaan makan malam bersama, sebagai ajang mengobrol antar anggota keluarga. Pola asuh seperti ini dibutuhkan, selain  untuk mempererat ikatan emosional antara anak-anak dengan orangtua, juga karena anak berhak mendapat curahan kasih sayang dari orang tua. 

Tipikal keluarga semacam ini akan menjadikan rumah sebagai tempat yang ramah, dan selalu dirindukan setiap anggotanya. Anak-anakpun akhirnya tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh kasih sayang, berkecukupan ilmu dan berakhlak mulia. 

Post a Comment