Sumber Foto : www.ntt.satu.com. Sekelompok turis asal Australia mengikuti halal bihalal umat Islam dan Katolik di Desa Pledo, Kecamatan Witihama, saat Idul Fitri 1437 H, 6 Juli 2016 

Masa kanak-kanak, bulan Desember dan kampung halaman; ketiganya jika dikenang, akan bikin homesick, rindu ingin kembali jauh ke suatu tempat, Witihama-Adonara.

Letaknya di bagian Timur pulau Adonara. Adonara, Flores dan Solor ibarat pilar segitiga yang membentuk Kabupaten Flores Timur, NTT.  

Secara geografis, Laut Flores ada di utara batas kecamatan Witihama, di selatan berbatasan dengan Gunung Boleng, Timur dengan Selat Boleng dan Kecamatan Kelubagolit di ujung Barat. Kontur wilayahnya mirip cekungan kuali dengan belahan membujur di sisi barat menembus sisi Timur.

Di pinggir cekungan itu, pada sisi selatan, berdiri menjulang gunung Boleng. Di Selatan dipagari bebukitan yang memanjang dari Barat Laut hingga Timur Laut, mengarah ke Kabupaten Lembata. Luas wilayahnya mencapai 77,97km2, dengan jumlah penduduk sekitar 14.562 jiwa. Ada 16 desa di sini. Lima desa (Oringbele, Pledo, Lamabelawa, Watoone dan Weranggere) terpusat dalam cekungan, sisa desa lainnya terletak di sekeliling cekungan membentuk kluster melingkar. Pusat administrasi kecamatan ada di wilayah desa Oringbele.  

Kabupaten Flores Timur sebagian besar didiami etnis Lamaholot. Etnis ini juga menghuni Kabupaten Lembata dan beberapa tempat di Kabupaten Alor. Secara kultur, etnis Lamaholot terkenal dengan kebiasaan merantau, terutama ke Sabah, Malaysia Timur. Konon, usia tradisi merantau orang Lamaholot  ke Malaysia lebih tua dari kemerdekaan RI. 

Pada bulan Desember seperti sekarang, 30-an tahun lalu, saat di mana saya menjalani masa kecil di Witihama. Paling enak melihat suasana kampung bulan begini. Banyak perantau, terutama dari Malaysia pulang merayakan Natal dan tahun baru di kampung. Bunyi tape deck dengan kaset pita hampir menderu di setiap rumah. Lantunan lagu-lagu penyanyi Malaysia macam Iklim, Ela, Search, Slam, hampir semuanya, kami anak-anak seumuran menghafalnya. 

Umumnya, ketika bertamu ke rumah para perantau, kita akan disambut dengan sajian minuman Milo. Minum Milo kala itu, serasa seperti dapat undian, mewah. Bulan Desember, menjelang hari Natal, memang Witihama lebih ramai dari biasanya. Kampung benar-benar ramai dan meriah.

Gereja Maria Bunda Pembantu Abadi, gereja megah yang dibangun para misionaris dari Eropah hanya berjarak 200 meter dari Mesjid Besar At-Taqwa Witihama. Saya ingat betul, pembangunan mesjid At-Taqwa sejak tahun 80-an memang tersendat-sendat karena kendala pendanaan. Dan, satu di antara banyak donatur tetap itu adalah para perantau Witihama, baik pemeluk Islam maupun Katolik di Malaysia. 

Mereka, para perantau itu dengan tulus mengirim sumbangan dari tanah rantau untuk membangun sejumlah tempat ibadah di kampung halaman. Tidak hanya itu, donasi mereka juga dipakai membangun fasilitas umum desa seperti bak penampung air umum desa. Ini adalah modal sosial yang tidak ditemui di semua tempat. 

Ketika hari Natal tiba, siang harinya umat kedua agama saling mengunjungi antar rumah. Pengalaman unik tak terlupakan adalah berbagi penganan antar para tetangga. Saat Natal, para tetangga Katolik akan membagikan ragam penganan kepada para tetangga kaum muslimin.

Kuenya sederhana, seperti pisang goreng, kue bendera (talam), kue kacang (gorengan berisi kacang hijau), waji beras ketan. Kayak parcel, ragam kue itu sepaket dengan minuman kopi atau teh dalam ceret atau termos, siap saji intinya. Saat Natal, kami benar-benar "mabuk" kue.

Tetangga sekeliling rumah adalah saudara-saudaraku beragama Katolik. Jadi, akan ada banyak sekali kue di rumah. Ketika Lebaran, karena masih kecil, saya bertugas keliling tetangga mengantar "paket" kue demikian. Sangat senang rasanya.

Malam harinya, semua warga desa berkumpul di balai desa. Untuk mempererat tali silaturahmi dan rasa kekeluargaan, umat Islam dan Katolik melaksanakan Halal Bihalal. Acara  ini sangat ramai. Hiburannya, ada paduan suara umat Katolik, ada pula lantunan Kasidah dari ibu-ibu taklim. 

Puncaknya, acara berjabatan tangan saling memaafkan. Jika perayaan Natal, umat Katolik berdiri dengan formasi tertentu, lalu umat Muslim berjalan berjabat tangan satu persatu. Hal sebaliknya ketika merayakan Lebaran. Sebagai penutup, umat kedua agama gotong royong menyiapkan hidangan, simbol pelengkap kehangatan silaturahmi.

Di dinding facebooknya pada 12 Desember 2018, Pendeta Mery Kolimon, Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengekspresikan rasa harunya ketika berkunjung ke salah satu gereja GMIT di Waiwerang, Pulau Adonara.

Ia menulis begini "terimakasih umat dan pemimpin lintas agama di Waiwerang, Pulau Adonara, Kab. Flores Timur, yang tidak hanya hadir dan terlibat aktif dalam penahbisan gedung kebaktian GMIT Imanuel Waiwerang. Para Imam Mesjid, Pastor Paroki, Suster, kelompok pemuda dan perempuan gereja Katolik dan Mesjid-Mesjid sekitar membaur dalam suka cita bersama jemaat GMIT

Sungguh terharu dan bangga mengalami Indonesia sebagai rumah bersama di Adonara. Doa kami bagi persekutuan dan kesaksian jemaat-jemaat GMIT di Adonara dalam konteks masyarakat majemuk."

Melalui masa kecil di Witihama dan Adonara secara umum, seperti bonus masa lalu, ia memberi pelajaran dan perspektif berharga tentang nilai toleransi kehidupan umat beragama, yang layak diceritakan hari ini. Di tengah meningkatnya perilaku intoleransi dan radikalisme di mana-mana, best practice seperti ini penting untuk dirawat. 

Bagi saya, Adonara adalah salah satu etalase terbaik memajang praktek toleransi kehidupan antar umat beragama. Puji syukur, hingga kini, praktek itu tumbuh subur, rindang dan mekar mengharumi kehidupan masyarakatnya. Jika ingin melihat aplikasi kebhinekaan Indonesia dalam kehidupan nyata, datanglah ke Adonara. 



Post a Comment