Suasana pelayanan di sebuah posyandu. Foto dokpri

Di desa dan kota sama, setiap jadwal pembukaan pos pelayanan terpadu (posyandu), tempat pelayanan yang umumnya berukuran kecil, penuh sesak oleh para ibu hamil, ibu nifas, ibu dengan bayi dan anak-anak balita. Beberapa suami juga biasanya ikut nongkrong menemani istri atau anak.

Pergi ke posyandu bagi banyak ibu bukan rutinitas biasa.  Datang ke posyandu bisa menjadi terapi, menghilangkan rasa sumpek dan kejenuhan pada pekerjaan domestik di rumah. 

Bagi ibu-ibu, kegiatan bulanan ini selain untuk mendapat pelayanan kesehatan, posyandu juga seperti menjadi "tempat nongkrong" yang hangat. Di sana, mereka saling berbagi cerita termasuk dengan petugas medis, pengalaman dan pengetahuan, soal urusan domestik rumah tangga.

Pokok bahasan utamanya lainnya seputar pengalaman kehamilan, persalinan dan mengurus anak. Konteks obrolan seputar kehamilan, persalinan, merawat anak, ini sangat kaya perspektif. Setiap ibu memiliki pengalaman dan cerita berbeda, hal ini menempatkan masing-masing ibu ibarat nara sumber bagi rekan yang lain. Di luar itu, topik-topik sosial kekinian seperti pemilu, kondisi cuaca dan isu-isu hangat di media sosial juga bisa menjadi bahan obrolan. 

Kebutuhan bersosialisasi adalah hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Mengamati diskusi dan sharing antar ibu di posyandu bagi saya, punya social value yang besar. Posyandu tidak sekedar tempat menimbang bayi, memeriksa kehamilan dan lainnya, lebih dari itu ia menjadi tempat pembelajaran ideal,  yang berlangsung secara alami, not by design.

Di posyandu, tidak ada perbedaan kelas sosial. Yang tampak menonjol adalah kekuatan interaksi, keinginan untuk saling  berbagi informasi. Boleh jadi, proses ini lahir atas kesadaran dan perasaan senasib sebagai sesama kaum hawa dengan kodrat hamil dan kewajiban mengurus anak-anak dan suami.  

Di tengah kecenderungan menguatnya paham individualisme masyarakat modern, posyandu masih memberikan potret kodrat Ilahi lain, bahwa manusia memang tidak bisa hidup sendiri. Bersosialisasi, menjalin komunikasi adalah nilai dasar manusia untuk mempererat relasi sosial. 

Hal lainnya bisa terlihat pada kehadiran anak-anak balita, mereka bermain bersama tanpa ada sekat  bla bla bla. Anak pedagang, petani, pegawai, semuanya berbagi jajanan, bermain bersama penuh kehangatan.

Bersosialisasi sejak usia dini akan membantu tumbuh kembang anak dalam lingkungan sosialnya. Anak dengan pengalaman sosialisasi yang baik, akan membuat mereka tumbuh menjadi pribadi yang menghargai perbedaan dan heterogenitas. 

Untuk membantu mewujudkan itu, kapasitas semua posyandu perlu ditingkatkan oleh otoritas terkait. Misalnya, posyandu dilengkapi dengan media permainan edukatif anak-anak. Dengan begitu, anak-anak akan akrab dan bersemangat mendatangi fasilitas kesehatan yang selama ini kerap mereka takuti.

Melalui kegiatan posyandu, ibu-ibu hamil bisa difasilitasi dalam kelompok arisan ibu hamil. Posyandu adalah titik kumpulnya. Dana arisan ini bisa dipakai untuk membiayai atau membeli kebutuhan terkait persalinan kelak. Praktek seperti ini menempatkan posyandu sebagai unit pemupuk semangat gotong royong, saling membantu antar ibu-ibu hamil. 

Pada masa kekinian, posyandu tidak hanya berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan, tetapi ia juga mengemban fungsi sosial. Fungsi terakhir ini harus dirawat, karena merupakan modal sosial bagi masyarakat modern yang majemuk.

Sebagai unit sosial, idealnya pelayanan di posyandu tidak hanya melibatkan para medis. Aturannya begitu, tetapi fakta lapangan jauh berbeda. Ada Stakeholder lain yang abai pada posisi strategis posyandu sebagai media interaksi. 

Contoh, untuk memerangi stunting, selain staf gizi puskesmas, seberapa sering staf dinas pertanian dan ketahanan pangan hadir untuk memberikan edukasi di posyanduBahkan, jangan-jangan otoritas desa juga jarang ikut posyandu? Jika demikian, bagaimana bentuk kontrol mereka kepada warga, para ibu hamil, ibu nifas, misalnya agar mereka bisa bersalin di fasilitas kesehatan? 

Inilah banyak pertanyaan yang entah kapan menemui jawabannya. Jika begini, kapan bisa menghentikan laju kematian ibu, anak, stunting,  dan lainnya?


Post a Comment