Dinding kamar dengan tempelan koran. (Sumber: Twitter/@aismeler/@ghalihprayoga_)-liputan6.com

Berkenalan dengan dunia menulis bagi saya adalah anugerah. Dulu, tak pernah terlintas sedikitpun, jika dikemudian hari satu sisi irisan hidup akan bersinggungan dengan aktivitas menulis. Mengajar? Juga tidak. Pokoknya, list cita-cita yang biasa disebut sewaktu masa kanak-kanak, tanpa keduanya. 

Mengajar dan menulis, dua gairah yang justru saat ini mengalir bersama dalam darah. It's my cup of tealah! Lalu kapan mulai tumbuh minat menulis? Seingatku, benih-benih  rasa ini mulai ada ketika di bangku SD. 


Saat itu, ada satu kegemaran yang sulit dipahami yakni membaca koran di dinding rumah. Maksudnya? Jadi, di Adonara pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, rumah berdinding bilah-bilah bambu masih banyak ditemui. Dalam bahasa Lamaholot, Keneka namanya.  


Nah, pada sisi rumah bagian dalam, di atas permukaan lempengan bambu itu, biasanya ditempeli koran atau majalah bekas. Tujuannya, untuk menutupi celah jika bilah bambunya kurang rapat. Dengan begitu, dinding  tampak lebih rapi dan unik. Rumah jadi seperti majalah dinding, dipenuhi tulisan dan foto. Di sinilah daya tariknya, terutama bagi anak kecil.


Entah mengapa, rasanya menyenangkan membaca berita-berita yang tertempel pada dinding rumah. Apalagi berita olahraga, lalu ada foto warna pembalap Mick Dohan,  pesepak bola Maradona, petinju Mike Tyson, penyanyi Michale Jakson, waduh asyik. Kadang, butuh perjuangan untuk membaca, kalau posisi koran ditempel miring, atau terbalik. 


Tak disangka, lembar-lembar koran bekas ini berperan dalam menumbuhkan minat baca. Saya menyebutnya literasi dinding rumah. Manfaat yang tidak banyak orang sadari kala itu.   


Bagi saya, kebiasaan membaca koran itu lalu terbawa ketika melanjutkan SMA di Kupang. Di rumah, abang saya yang wartawan Kantor Berita Antara berlangganan harian Kompas. Bahan bacaan semakin lengkap dengan tambahan harian Pos Kupang,  gratis dibawa kakak ipar yang bekerja di Harian Umum Pos Kupang. Menyantap asupan informasi dari dua koran rujukan, nasional dan NTT, memang sedap. 


Ketika masa SMA itulah, kegemaran membaca koran semakin menjadi-jadi. Rubrik favorit saya itu bola dan kolom opini. Yang terakhir ini sulit dijelaskan. Rasanya nikmat saja, membaca analisis YB Mangunwijaya, Ignas Kleden, Frans Magniz Suseno, Bre Redana, Affan Gafar, Ichlasul Amal dan lain-lain..


Waktu terus berlalu. Setamat SMA tahun 2000, studi saya berlanjut di program studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusa Cendana Kupang. Kegemaran pada tulisan memuncak di sini, begitu mengenal penulis akademisi kolumnis koran lokal NTT Pos Kupang dan Timor Express.  For your information, rivalitas Kompas dan Jawa Pos di level nasional, juga menurun di  tingkat daerah.


Di NTT Kompas eksis melalui Pos Kupang (kelompok koran daerah Kompas Gramedia) dan Jawa Pos berkibar dengan harian Timor Express sebagai titisannya. Maka menulis di dua koran tersebut menjadi impian banyak penulis. 

 

Deretan penulis akademisi macam Feliks Tans, Marsel Robot, Laurensius Kian Bera, Alo Liliweri, tulisan mereka renyah dibaca. Prof Feliks dan Dr. Laurens, keduanya  dosen saya yang selalu menginspirasi melalui opini mereka. 


Dari mereka, diam-diam hasrat menulis saya mulai tumbuh, tetapi dengan penuh kecemasan. Hingga akhirnya pada suatu hari di 2001, saya ingat betul, momentumnya pemilihan gubernur NTT. Saat itu isu kesetaraan gender sedang sangat populer.


Saya pikir, mungkin timingnya pas untuk menulis sesuatu. Englenya jatuh pada pertanyaan, mengapa pada setiap kontestasi politik, itu seperti panggung milik para lelaki? No woman. Pada hal kala itu, ada potensi besar dalam diri Sarah Lery Mboeik, Veronika Ata dan Susi Katipana, beberapa perempuan hebat, rising stars NTT saat itu.


Kegalauanku itu akhirnya ditulis, rampung. Ini tulisan opini pertama sepanjang hidupku. Kerisauan mulai muncul, yakin mau dikirim ke media?  Belakangan baru saya sadar, itu syndrom penulis pemula. Rasa tidak percaya diri untuk menyajikan tulisan ke ruang publik. Hal yang normal.


Tapi tekad sudah bulat tulisan itu harus dicoba ke koran. Tidak tanggung-tanggung tujuan saya Pos Kupang, harian dengan oplah terbesar di NTT. Dengan disket 31/2 floppy, filenya ku antar ke kantor Pos Kupang di Jalan Kenari Naikoten 1.(Bersambung..)

Baca juga: Opini Pertama di Pos Kupang yang Penuh Berkah







Post a Comment