Mauluddin Harahap, guru penyandang disabilitas tetap semangat mengajar di pelosok Sumut. (Prayugo Utomo/JawaPos.com) |
Persis di penghujung tahun, Desember 2020, bola panas tata kelola guru kembali bergulir. Kali ini, isu hangat berasal dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), soal status kepegawaian guru Indonesia mulai tahun 2021.
Pemerintah melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan guru tak akan lagi dimasukkan dalam formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai tahun 2021. Rekrutmen guru akan dialihkan melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Keputusan itu disepakati Menteri PANRB, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta BKN.
Ada dua justifikasi dibalik keputusan tersebut. Menurut Kepala BKN Bima Haria Wibisana alasan pertama yaitu; perekrutan guru melalui PPPK berkaitan dengan persoalan distribusi guru secara nasional. Menurut Bima, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, pemerintah mencoba menyelesaikan persoalan itu melalui sistem PNS tetapi tidak kunjung selesai.
"Karena kalau CPNS setelah mereka betugas 4-5 tahun, biasanya mereka ingin pindah lokasi. Dan itu menghancurkan sistem distribusi guru secara nasional," kata Bima seperti diberitakan kompas.com, 31/12/2020.
Hemat saya, alasan ini tidak cukup kuat. Status PNS maupun PPPK, kontrol distribusi dan mutasi pegawai tetap mutlak berada dalam kendali pemerintah. Alasan ini seolah-olah menunjukan pemerintah tidak punya kuasa dalam penempatan dan mutasi PNS.
Masalahnya adalah, semangat otonomi daerah menyebabkan kebijakan distribusi dan mutasi guru di daerah dibuat sesuka hati para pejabat daerah. Distribusi adalah salah satu isu penting selama ini. Pemerataan guru antara wilayah pedesaan dan kota sangat timpang. Banyak guru menumpuk di sekolah-sekolah kota, pada hal sekolah di pelosok kekurangan guru. Karenanya, redistribusi bisa menjadi solusi mengatasi ketimpangan itu, bukan dengan 'downgrade' status kepegawaian dari PNS ke PPPK.
Alasan kedua penerapan skema PPPK adalah pemerintah ingin mengadopsi kebijakan di negara maju, yang mana perbandingan proporsi PNS dan PPPK sebesar 30:70. Opsi ini diskriminatif. Jika demikian, mengapa keputusan tersebut tidak berlaku untuk CPNS di semua instansi?
Pemerintah mesti menjelaskan, apakah kebijakan ini hanya berlaku pada rekrutmen tahun 2021, atau berlaku selamanya. Jika diterapkan secara permanen, akankah guru Indonesia di masa depan tanpa PNS? Sementara kita tahu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil negara (ASN), jelas mengatur dua jenis pegawai ASN yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada titik ini, rekrutmen guru dengan skema PPPK tanpa CPNS menjadi ambigu.
Posting Komentar