Ilustrasi: https://covid-19-tracker-site-it-consultant.hub.arcgis.com/

Di pulau kecil seperti Adonara, pada awal kemunculan pandemi Covid-19 (C-19), semua tampak mudah mengendalikan masuknya virus dari luar. Laut sebagai satu-satunya akses masuk orang dari luar berfungsi sebagai devault alami, yang bisa mencegah pergerakan manusia masuk Adonara secara masif. 

Basis wilayah kepulauan punya keuntungan menangkal penularan virus, karena pergerakan orang dengan transportasi laut relatif kecil dibanding tranportasi darat. Advantage ini tampak bagus, sepanjang 2020, eskalasi kasus positif C-19 di pulau Adonara cenderung landai. 

Namun, menghadapi pandemi adalah perang tanpa batas. "Wabah adalah perang tanpa perbatasan. Tak ada ruang dan waktu yang bisa ditata lengkap dan stabil dalam indeks dan peta. Penularan dan penyembuhan berlangsung dalam endapan sikap yang berbeda-beda tentang hidup, penyakit, dan kematian". Begitu Ermi Ndoen mengutip Mohamad Goenawan dalam kolom opininya di Pos Kupang.com 29/01/2021. 

Saat pasien pertama asal Adonara teridentifikasi pada Mei 2020 dari kluster pelaku perjalanan, tingkat kewaspadaan sedang on the top. Karantina terpusat di Larantuka dalam kendali pemda Flotim. Kala itu kepanikan melanda warga Adonara, tetapi potensi penularan telah dilokalisir di Larantuka. 

Hingga menutup tahun 2020, Adonara hampir nirkasus positif. Memasuki 2021, ledakan kasus positif pecah. Pergerakan virus memang lebih cepat dari kemampuan manusia menghalaunya. Kampanye new normal menurunkan tingkat kewaspadaan warga pada protokol kesehatan dasar. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, menghindari keramaian, itu semua tak lagi diindahkan. 

Foto: akun fb Eman Ola Masan LB

Hasilnya benar-benar dirasakan saat ini. Sebagai contoh, data puskesmas Witihama  per 28 Januari 2021 di kecamatan Witihama, terdapat 7 pasien positif C-19, pasien probabel dengan hasil rapid tes antigen positif 18 orang dan reaktif rapid antibodi 14 orang. 

Semua pasien positif dan probabel melakukan isolasi mandiri di rumah. Tidak salah, pasien tanpa gejala berat melakukan isolasi mandiri di rumah. Akan tetapi, pola itu menjadi bom waktu, kalau selama masa isolasi, si pasien berinteraksi bebas dengan anggota keluarga lain yang beraktifitas di luar rumah. Peluang penularan virus terbuka lebar, dari keluarga ke masyarakat. 

Ancaman nyata menunggu, saat virus benar-benar menyebar luas dan tak bisa dilacak. Siapa kelompok yang paling rentan? Orangtua kita, yang berusia di atas 50 tahun. Data yang dirilis covid19.nttprov.go.id per 24 Januari 2021 menunjukan dari 4.177 total kasus positif di NTT, separuh penderitanya berusia 19-29 tahun atau sebesar 27,2%, usia 30-39 tahun sebesar 23,1%, usia 40-49 tahun sebesar 17,2% sisanya usia 50-59 tahun 14,0% dan di atas 60 tahun 9,4%.

Presentase penderita paling besar ada pada usia 19-39 tahun, tetapi angka kematian justru didominasi usia di atas 45 tahun sebesar 84,3% dari total 114 kematian sejauh ini. Inilah faktanya, mengapa C-19 mengerikan bagi orangtua kita. Fakta ini mengandung pesan kuat, untuk otoritas terkait dan masyarakat Flotim, Adonara khususnya. 

Tujuh kasus positif di Witihama saat ini baru permulaan, karenanya penting untuk memprediksi, kapan titik kulminasinya. Apakah Februari, Maret, April atau Mei? Saat di mana kasus kematian mulai ada?  Eskalasinya tergantung, seberapa tertib pasien positif dan probabel saat ini, melakukan isolasi mandiri. Jika longgar, maka perluasan cakupan penularan akan menjangkau lebih banyak orang. Jika begitu, maka kasus kematian hanyalah soal waktu. 

Untuk itu kita perlu berpikir sungguh-sungguh, untuk menjawab beberapa pertanyaan penting berikut. Jika eskalasi kasus positif meningkat dalam beberapa bulan ke depan, dan kapasitas RSUD Larantuka penuh, apakah kapasitas rumah sakit di Adonara cukup memadai merawat pasien gawat? Cukupkah jumlah tenaga medis kita? Bagaiman ketersediaan tabung oksigen kita? Sudahkah kita menyiapkan lahan khusus pemakaman jenazah C-19? 

Sebagai gambaran, di Kupang sampai dengan 24 Januari, keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate rumah sakit yang merawat pasien C-19 mencapai 51,29%. IGD RSU WZ. Yohanes Kupang bahkan tutup karena dipenuhi pasien C-19. Tragisnya, di saat yang sama terjadi defisit oksigen di dua rumah sakit rujukan C-19. Kelangkaan oksigen benar-benar bikin pusing otoritas rumah sakit. Nah, bisa dibayangkan kalau situasi seperti ini terjadi di Adonara.

Salah satu cara untuk mencegah situasi 'chaos' seperti yang terjadi di Kupang, adalah memastikan pasien positif dan probabel saat ini menjalani isolasi mandiri dengan ketat. Satgas kecamatan berwenang mengintervensi kelompok ini, dengan kontrol dan pantauan rutin.  

Idealnya, isolasi pasien positif dan probabel dilakukan terpusat. Pemerintah memfasilitasi akomodasi dan kebutuhan makanan, tetapi itu berat karena umumnya satgas kecamatan minim anggaran.  Jika otoritas pemerintah dan keamanan melalui satgas kekurangan sumber daya, inisiatif bisa datang dari masyarakat. 

Konsep gemohin bisa diadopsi dalam pendekatan penanganan C-19. Dalam kasus isolasi mandiri ditingkat keluarga, kesulitan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan bahan makanan. Jika satu keluarga melakukan isolasi mandiri, siapa yang memasok makanan untuk mereka? Di sinilah,  gotong royong warga sekitar lingkungan diperlukan. 

Warga desa/dusun yang sehat bisa mendonasikan makanan secara bergantian untuk keluarga yang terpapar. Solidaritas seperti ini diperlukan untuk memastikan virus tidak menyebar luas di tingkat komunitas. 

Langkah sederhana dalam bentuk gemohin, saling membantu antar masyarakat bisa menjadi jawaban atas keterbatasan kapasitas rumah sakit, kekurangan tenaga medis, ketersediaan tabung oksigen yang minim, serta tentu saja mencegah kematian secara masif, di tengah ketiadaan lahan khusus jenazah C-19. 

Bagaimanapun, kematian akibat C-19 adalah kematian dalam kesendirian yang traumatis. Proses pemakaman dengan protokol kesehatan tanpa ritual keagamaan,  membuat kematian tak lagi sakral. Kita tidak ingin orangtua yang kita sayangi, amaket lake belek, inaket wae belek di Adonara mengalami kematian dengan cara demikian. Karenanya, tugas kita semua bahu membahu memutus rantai penularan Covid-19 di Nusa Tadon.

Baca juga : Peran Sains di Pusaran Covid-19






Post a Comment