Ilustrasi-shutterstock.com

Perkembangan teknologi digital dan penetrasi koneksi internet, menjadi satu paket yang disruptif, berpengaruh pada perkembangan media massa, baik cetak maupun elektronik.  

Disrupsi hebat dialami kalangan praktisi media cetak. Sejumlah koran besar mengalami penurunan oplah dari tahun ke tahun. Data Serikat Penerbit Surat Kabar Indonesia tercatat, oplah media harian pada 2008 menunjukan tren kenaikan hingga 2014. Diawali pada 2008, oplah media harian sebesar 7.49 juta, terus meningkat hingga mencapai 9.65 juta pada 2014. Tren penurunan mulai terjadi pada 2015 sebesar 8,79. (sumber:tirto.id). 

Seiring penurunan oplah, satu persatu  media cetak skala nasional rontok. Pada awal 2017 misalnya, Koran Sindo menutup biro-biro daerahnya setelah 11 tahun beroperasi. Ada juga koran tertua, Sinar Harapan, harian bertiras besar- Bernas di Jogja, majalah HAI, harian Bola milik Kompas Gramedia Group. 

Kisah sedih penutupan juga terjadi pada Tabloid Bola, yang terbit sejak Jumat 1 April 1988, lalu berakhir dengan edisi penutup pada Jumat 26 Oktober 2018.  Harian berbahasa Inggris, Globe dan Indonesia Finance Today. Terbaru, harian Suara Pembaruan juga berhenti cetak per 1 Februari 2021. 

Fenomena ini mengingatkan kita pada ramalan Philip Meyer, penulis The Vanishing Newspaper. Menurut Meyer, nadi media cetak akan benar-benar berhenti pada  2040.

Opini  Douglas McLennan dan Jack Mile A once unimaginable scenario: No more newspapers di washingtonpost.com, 21 Maret 2018 membeberkan, bagaimana media cetak Amerika dan Canada mengalami kemerosotan di berbagai lini bisnis. Sirkulasi dan oplah koran yang menurun tajam, penghasilan iklan yang menipis, ditambah munculnya media sosial yang menyedot kecenderungan atensi pembaca media konvensional. Akankah koran benar-benar hilang dari peredaran di ryang publik?  Ini pertanyaan yang mencemaskan.

Sebenarnya, eksistensi dan nama besar deretan koran yang tutup itu tidak benar-benar hilang di kancah publik. Karena sebagian besar bermetamorfosis menjadi platform digital. Migrasi dari versi cetak ke digital merupakan pilihan penting. 

Namun, dengan platform online, bukan berarti media-media mapan bebas dari tantangan dan persaingan. Banyak media online (portal berita) lahir bak cendawan dimusim hujan. 

Selain portal berita online, media sosial menjadi variabel disruptif di sisi lain. Dan satu lagi,  platform blog yang memungkinkan setiap orang menulis dan menyebarkan informasi. 

Sulit membuktikan tutupnya media cetak itu, sepenuhnya dipengaruhi lahirnya media online yang masif.  Perilaku pengguna internet di Indonesia pada 2016, bisa menjadi gambaran. Seperti dirilis kompas.com, pada 2016 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 129,2 juta orang. 

Jumlah pengakses terbanyak didominasi oleh pengguna media sosial yaitu sebesar  97,4%, hiburan 96,8%, dan membaca berita sejumlah 96,4%, sisanya 93,8% untuk membaca konten pendidikan, 93,1% kepentingan komersial dan 91,6% mengakses layanan publik. Jumlah ini bisa saja meningkat pada 2017, dengan jumlah pengguna internet mencapai 145 juta di Indonesia. Di Indonesia hingga kuartal II/2020, jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta atau 73,7 persen dari populasi. Jumlah ini bertambah sekitar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun 2019.

Melihat data pengguna internet di Indonesia, itu harusnya bisa menjadi proyeksi kebutuhan informasi warga. Sayangnya, perilaku menggunakan internet justru menggambarkan kecenderungan lain. 

Saya teringat Tom Nichols dan bukunya, The Death of Expertise:The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. Tom dalam buku itu diantaranya menulis kecemasannya pada pengetahuan dasar rata-rata warga AS yang rendah. Pada 2014, Washington Post melakukan survey pada warga AS, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer setelah Rusia menginvasi Ukraina.

Mayoritas warga AS setuju dengan intervensi, tetapi hanya 1 dari 6 warga yang tahu, dimana letak negara Ukraina berada. Di zaman Internet tak ada lagi otoritas yang mengendalikan pengetahuan. The Death of Expertise menganalisis secara tajam, sisi buram internet, termasuk informasi yang berkembang liar di media sosial.

Hal yang mirip terjadi di Indonesia ketika detik.com mengutip berita dari BBC tentang perjuangan anak-anak Mindanao di Filipina, untuk pergi ke sekolah ditanggapi secara keliru oleh para netizen Indonesia dengan mengkritik pemerintah Indonesia.  

Contoh kasus ini, menggambarkan perilaku lain para pengguna internet di Indonesia yang mispersepsi, cenderung kurang memverifikasi informasi di sumber online. Pada titik ini, eksistensi media cetak tetap selalu dirindukan, karena dengannya seperti ada jaminan soal akurasi dan validitas informasi yang disajikan.

Media elektronik juga mengalami disrupsi besar. Banyak pemirsa televisi  mulai nyaman beralih ke konten layanan Youtube. Secara global, penelitian yang dilakukan Comscore menemukan bahwa kaum milenial yang berusia 18-35 tahun lebih suka menonton Youtube ketimbang konten TV. 

Riset lain seperti dilakukan Millward Brown menunjukan bahwa pengguna smartphone di tanah air mencapai 30% dari populasi, lebih banyak menonton konten video dari perangkat seperti tablet, smartphone, ponsel, laptop, komputer ketimbang TV. 

Apakah konten tayangan TV juga akan mengalami nasib serupa dengan media bermedium tinta dan kertas seperti sekarang? Cepat atau lambat, waktu yang akan menjawab. Selamat Hari Pers Nasional untuk semua insan media. Tetaplah menjadi salah satu pilar demokrasi, pengawal persatuan dan kesatuan NKRI.

Baca juga: Opini Pertama di Pos Kupang yang Penuh Berkah



Post a Comment