Dokpri saat menjalani tes rapid antigen

Kamis, 21 Januari 2021. Hari yang akan diingat sepanjang hidup, saat kecemasan pada pandemi sedang memuncak. 

Hari itu, pada pukul 10.00 WITA, kabar datang dari kerabat yang baru selesai rapid tes antigen. Dari enam orang yang dites rapid antigen, hasilnya 3 orang positif dan tiga lainnya negatif. Kontak erat antar kami terjadi satu minggu sebelum tes ini dilakukan. 

Itu artinya giliran saya, istri dan si bungsu yang berumur 2 tahun harus segera menjalani rapid tes. Putri pertama saya sudah lebih dulu dites rapid antibodi dengan hasil non reaktif. Itu sangat melegakan. Kami memang tinggal terpisah dengan si sulung. 

Sore harinya, setelah menempuh perjalanan 2 jam dari tempat kerja ke Soe, pukul 17.00 saya dan istri tiba di sebuah klinik yang melayani pemeriksaan rapid tes antigen dan antibodi. Datang dengan perasaan cemas, dan menyaksikan klinik begitu ramai antrian pengunjung menunggu hasil pemeriksaan sepanjang hari. 

Ada banyak tatapan cemas pengantri dari balik masker. Pemandangan itu masuk akal, mengingat pasien positif Covid-19 di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), terus mencetak kurva menanjak, dibayangi sejumlah kematian pasien probabel. 

Saat bertemu petugas periksa, baru kami tahu kalau hari itu klinik melayani pengunjung yang menjalani rapid test dalam jumlah sangat banyak. Jam 17.23 petugas periksa menerima kami dan dia tampak sangat kelelahan. Dari pada hasil pemeriksaan tidak akurat, kami diminta datang lagi pada esok harinya. 

Perasaan galau dan risau semakin memuncak, tidak jadi periksa. Kami berusaha setenang-tenangnya, mencari alternatif klinik lain. Pukul 18.00 sampailah kami di klinik kedua. Ramai. Saya bertemu petugas, menyampaikan niat untuk pemeriksaan. Sayangnya, jawabannya sama, saat itu antrian sudah penuh. Ini klinik terakhir di kota Soe.

Hari mulai malam. Kami bertiga butuh tes rapid, agar bisa tahu status virus dalam tubuh. Hasil pemeriksaan akan menentukan nasib kami malam itu, menjalani isolasi jika positif atau tetap berkumpul bersama kalau hasilnya negatif. Tapi mau bagaimana, hari itu niat kami tak kesampaian. 

Dalam perjalanan pulang dari klinik, kami kebingungan. Kerabat di rumah sudah terpetakan dalan dua titik kumpul berbeda, yang rapid antigennnya positif di satu titik isolasi, dan yang negatif di tempat lainnya. Dilema. Kami berniat berkumpul dengan kelompok negatif, tapi belum menjalani pemeriksaan. Bagaimana jika ternyata hasil rapidnya nanti positif? 

Setelah menimbang bersama, kami diarahkan menuju ke kelompok negatif. Syaratnya, wajib jaga jarak, karantina bertiga dan tak boleh lepas masker malam itu.  Di sana ada putri sulung, anak 6 tahun yang belum paham benar arti protokol kesehatan Covid. Dia agak rewel dilarang dekat dengan adik dan orangtuanya. 

Malam itu perasaan saya biasa saja, berbeda dengan istri yang agak cemas, meski ia sendiri tenaga kesehatan. Jika memang rapid antigen positif hasilnya, yah jalani isolasi mandiri, lalu menempuh tes konfirmasi PCR. Menghadapi Covid memang butuh pikiran dan psikologi positif.

Keesokan harinya, Jumat, 22 Januari, pagi sekali kami ke klinik. Mendaftar sejak jam 08.00, antrian tetap padat. Dua jam lebih mengantri, pukul 10.30 baru mendapat giliran diperiksa. Ini adalah pengalaman pertama menjalani tes C-19, nerveous.

Petugasnya cekatan,menurut saya ia terampil mengambil sampel dalam rongga hidung. Prosesnya mungkin 3-4 menit. Singkat. Sensasi nyeri memang sedikit terasa di rongga hidung, tapi tak lama. 

Setelah periksa, hasilnya sebenarnya bisa diketahui beberapa menit kemudian. Tapi hari itu petugas hanya satu, kerjanya rangkap memeriksa pasien hingga mengetik, dan print hasil pemeriksaan. Jadi kami diminta mengambil hasil pemeriksaan dua jam kemudian. 

Lagi- lagi menunggu dalam kegalauan, ini yang sulit. Jam 12.30, kami akhirnya bernafas lega saat tahu tes rapid antigen saya, istri dan anak bungsu hasilnya negatif. Memang, hasil negatif pada rapid antigen sama sekali tidak menjamin seseorang aman dari paparan C-19. Tetapi skrining itu bisa menenangkan seseorang secara psikologis. 

Pada pertengahan Februari, kondisi tiga orang kerabat yang menjalani isolasi mandiri juga berangsur pulih, setelah melewati masa-masa berat, batuk, anosmia, kelelahan dan sesak nafas. Mendengar cerita pengalaman terpapar C-19 dari orang terdekat memang mengerikan. 

Pengalaman sesak nafas dan anosmia adalah yang paling getir. Apalagi itu semua dihadapi sendiri, tanpa hiburan atau dukungan keluarga lain. Sebagai seorang ibu, bagaimana rasanya berpisah dari anak usia satu tahun selama 2-3 minggu, itu sungguh berat. 

Jalan terbaik mencegah tetap dengan ketaatan pada protokol kesehatan. Menggunakan masker memang tidak nyaman, tetapi lebih menyakitkan saat sakit sendirian, terpisah dari keluarga dan kerabat. Apalagi jika sampai meninggal dan dikubur dengan protokol Covid, perasaan sedih dan trauma keluarga yang ditinggalkan sangat berkepanjangan. 

Post a Comment