Foto dokpri

 "Ini adalah sedekah sosial bapak ibu sekalian”, kata Yahya Ado dalam nada guyonan di hadapan puluhan penulis dalam ruang aula Cendana II, Hotel Neo Kupang. Yahya, direktur Yayasan Rumah Solusi Beta Indonesia (RSBI) dan perintis sekolah alam Manusak di Kabupaten Kupang berbicara dalam sesi penjelasan teknis pada pertemuan tim editor Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA) NTT bersama calon penulis buku refleksi spiritual tentang perlindungan anak. 

PKTA adalah sebuah wadah gotong royong, gabungan dari 28 organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat yang konsen mengadvokasi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di NTT. 

Salah satu agenda kerja PKTA adalah, upaya edukasi perlindungan anak dengan melibatkan peran tokoh dan lembaga keagamaan. “Tokoh-tokoh dan lembaga keagamaan dianggap memiliki power  dalam upaya perlindungan anak”, ujar Beny Leu, Ketua Presidium PKTA. Karenanya, PKTA ingin mendokumentasikan ragam perspektif dan peran tokoh dan lembaga lintas agama di NTT, dalam bentuk sebuah buku. 

Banyak penulis dari berbagai latar belakang dikumpulkan di Kupang pada Selasa, 25 Mei 2021. Ada tokoh agama, dosen, jurnalis, penulis buku, pegiat sosial dan aktivis LSM. Saya satu-satunya guru di antara beberapa nama besar seperti Dr. Marsel Robot,  wartawan Media Indonesia Palce Amalo, ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT, Veronika Ata dan Nina Saingo, penulis buku cerita anak. Ini adalah “kopi darat” pertama saya dengan sosok-sosok ini. Selama ini, jembatan utama mengenal mereka adalah tulisan. Hari itu, bahagia rasanya, duduk semeja dengan Pak Marsel yang selalu menggetarkan dengan artikel opininya di harian Pos Kupang dan Timor Ekspres.

PKTA ingin dari tangan para penulis ini, lahir sebanyak mungkin karangan khas atau feature dalam bahasa jurnalistik. Isu-isu yang bisa digarap antara lain kerukunan hidup dalam keluarga, manajemen rumah ibadah yang ramah anak, serta praktik baik kerja sama lintas agama dalam upaya perlindungan anak.

Perpaduan antara kekuatan tulisan feature pada gaya bercerita (story telling), mengupas perihal kehidupan manusia secara detail berdasarkan fakta, biasanya menghasilkan gelombang empati dari para pembaca. Empati inilah yang diharapkan bisa membangkitkan kesadaran khalayak, agar terlibat dalam upaya perlindungan anak. Itulah mengapa, feature dipilih sebagai konten buku antologi refleksi spiritual perlindungan anak. 

Sebagai guru dengan gairah mengajar dan menulis, merupakan sebuah kehormatan bisa terlibat dalam project mulia ini. Ini adalah project ilahiya yang ’disponsori’ oleh Tuhan Yang Maha Esa, mempertemukan para penulis dari beragam latar belakang, lalu melebur dalam satu semangat. Menulis isu perlindungan anak dari sisi spiritual, ini adalah tantangan baru bagi saya. Jika Kak Yahya menyebutnya sebagai sedekah sosial, saya melihatnya sebagai tabungan akhirat.    

Di luar dunia menulis, pada Selasa itu, secara pribadi saya merasa seperti berada dalam ruang reuni, dengan sejumlah figur. Ini seperti reuni mini mantan staf Plan International. Iya, ada Yahya Ado, ex manajer Plan Nagekeo dan saat ini mengabdi di Unicef NTT. Lalu Yos Molan Tapun, mantan staf Plan Lembata yang baru merampungkan studi magister di Melbourne Australia, dan kini berkarir di Save the Children NTT. Dulu, kami adalah kolega, semasa saya bergabung dengan Plan Soe pada 2017-2010.    

Momentum itu juga mempertemukan saya dengan Ibu Veronika Ata. Sosok Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT ini memberikan saya kejutan dengan ucapan terimakasihnya, karena ada namanya dalam opini pertama saya yang terbit di Pos Kupang, Maret 2002. Saya begitu terkejut dengan daya ingatnya, pada sebuah tulisan 18 tahun lalu oleh seorang mahasiswa semester tiga. Memang surprise, karena opini itu mengulas isu gender equality di medan politik NTT. Kemudian ada Nina Saingo, seorang penulis buku cerita anak di Kupang.  Dengan Kak Nina, kami pernah terlibat sebagai juri lomba menulis yang diselenggarakan RSBI NTT tahun 2020 lalu. Meski demikian, ini adalah pertemuan tatap muka pertama kami, selain interaksi di dunia maya setahun terakhir.  Ada juga Syaidati Hajar, sang pujanggga dari UMK. Dengannya, kami sering sharing dalam komunitas Kompasianer Kupang.

Saya akhirnya paham dengan satu ungkapan klasik, ‘jika tulisan belum mampu mengubah dunia, ia masih cukup manis untuk membawa anda ke mana saja, dan bertemu banyak orang baik’. 


2 Komentar

Posting Komentar