Dokpri

Sebuah Catatan Penutup Tahun Pelajaran 2020 /2021


Sejarahwan, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, menggambarkan fungsionalitas algoritma untuk kehidupan manusia dengan satu ilustrasi apik. Narasinya demikian,  "seekor Babun melihat pisang menggantung di pohon, dan di dekatnya seeokor Singa sedang mengintai. Mungkinkah Babun mempertaruhkan nyawanya untuk pisang-pisang itu?" 

Jika jawabannya bersandar pada kemungkinan si Babun sedang lapar  hebat dan sangat membutuhkan pisang itu untuk bertahan hidup, maka Babun harus punya kemampuan analitis tentang sejumlah data penting. Sang Babun butuh makan, tetapi pisang dihadapannya bisa membuatnya sangat dekat dengan kematian. Untuk mencegah kematiannya, maka Babun perlu menganalisa, seberapa jauh jaraknya dari Singa? Seberapa cepat Ia berlari dibanding si raja hutan? Apakah Singa dalam posisi tidur atau duduk? Apakah Singa itu tampak kenyang atau lapar? Berapa banyak pisang yang ada? Buah pisang itu kecil atau besar, ranum atau hijau? 

Data penting lainnya berkaitan dengan kondisi tubuhnya sendiri. Jika sedang lapar sekalipun, seberapa masuk akal Babun mempertaruhkan segalanya untuk pisang-pisang itu? Sebaliknya, jika Ia baru makan, dan pisang itu ternyata masih hijau, mengapa harus mengambil risiko? (Harari, 2019:98).

Daya analisis seperti kasus Babun, dan Singa tersebut, adalah tipikal kemampuan yang diperlukan para pembelajar milenial saat ini. Dalam bahasa ilmiah, siswa saat ini diharapkan memiliki setidaknya empat kecakapan khas abad 21 yang mencakup;  kecakapan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kecakapan berkomunikasi, kecakapan kreatifitas dan Inovasi, serta  kemampuan berkolaborasi. 

Suport sistem yang dibangun pemerintah untuk membantu guru dan siswa adalah melakukan transformasi  alat evaluasi pada satuan pendidikan (sekolah). Ragam bentuk evaluasi di tingkat sekolah, terutama Ujian Nasional  bermigrasi ke format baru yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). 

Di kalangan guru dan siswa, AKM berbasis komputer telah diperkenalkan pada sesi gladi UNBK pertengahan Februari 2020 lalu. Sayangnya, disurpsi pandemi Covid-19 menghambat implementasi AKM di sekolah dalam dua tahun ini.  Secara format, pemerintah tampaknya berupaya merancang AKM mendekati model tes PISA.

 Analisa Gufran A. Ibrahim dalam artikelnya di kompas.com, 30/04/2017 cukup relevan sebagai pembuktian. Menurutnya, PISA menerapkan multiteks yang canggih dan menarik dalam sajian. Gufran benar, sebagai sebuah tes, AKM sangat atraktif dalam tampilan. Bentuk soal yang berbasis teks, gambar, grafik, diagram, tabel, data, disajikan dalam variasi warna yang menarik. Pengalaman tes digital seperti ini tentu berbeda dengan ujian berbasis kertas yang monoton dengan warna hitam putih. 

Kerja Kognisi

AKM adalah sebuah format yang segar, analitis dan  kontekstual. Ia dirancang untuk mengukur dua aspek utama siswa, yaitu kemampuan literasi membaca dan numerasi yang dipadukan dengan survey karakter siswa. Literasi baca dan numerasi berfokus pada penguatan keterampilan berpikir logis-sistematis, kemampuan menalar, menggunakan konsep serta pengetahuan yang dipelajari, serta keterampilan memilah serta mengolah informasi. AKM menyajikan contoh kasus dengan beragam konteks, dan fenomena kekinian. Menurut saya, AKM adalah sebuah tes yang menguras energi pesertanya untuk berpikir. Ia memaksa kognisi untuk bekerja maksimal. 

Kembali pada ilustrasi Harari dan kaitannya dengan fokus AKM,  poin-poin penting seperti kalkulasi probabilitas, analisis situasi, risiko, tantangan, peluang sampai pada pengambilan keputusan, semuanya dihasilkan dengan menggunakan metode tertentu dan data sebagai basisnya. Ini pelajaran penting dari transformasi instrumen evaluasi yang disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Dalam AKM, ragam genre wacana dengan perpaduan kata, paragraf, tabel, grafik, peta, dibentuk dalam tautan lintas teks. Setidaknya butuh dua kecakapan penting untuk masuk ke  kedalaman makna bentuk soal seperti ini. Pertama, terampil menangkap makna dalam paragraf; kedua, kecepatan mengemas tautan makna antar teks, antar teks dengan grafik dan simbol serta relasi makna antar grafik. Dasar utama memahami semua ini adalah kemampuan penguasaan kosa kata dan konteks.

Tipikal soal AKM merupakan perpaduan antara literasi baca dan hitung, dikemas dalam pokok soal seperti teks, info grafis, tabel, diagram, contoh kasus dan data  yang menuntut kecermatan dan pemahaman siswa sebelum menjawab. Kemampuan membaca narasi, mendeskripsikan tabel, menganalisa angka dan data adalah kemampuan khas yang wajib dimiliki generasi abad 21.  Model soal semacam ini, cocok untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menganalisis situasi, memecahkan masalah dan mengambil keputusan.

Tantangan

Boleh jadi,  AKM akan menjadi jawaban atas kegalauan banyak pihak terkait jauhnya gap antara kompetensi lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja. Tantangan terbesar penerapan AKM dalam beberapa tahun kedepan adalah, pertama, situasi pandemi Corona Virus yang menghentikan aktifitas belajar di kelas. Pola belajar jarak jauh dengan control guru yang minim berdampak besar pada kemampuan literasi siswa. Kedua, AKM adalah format baru, maka pertanyaan pentingnya adalah bagaimana memastikan guru-guru memiliki kemampuan mengeksekusinya dalam pembelajaran. Kemampuan meramu materi pelajaran dan sinkronisasinya dengan pokok soal berbasis instrumen visual seperti diagram, info grafis, tabel angka dan data wajib dikuasai guru. 

 Faktanya, sebanyak 50 persen guru mengatakan hanya sebagian kecil materi pelajaran yang sesuai dengan soal AKM, terutama untuk mata pelajaran selain Bahasa Indonesia dan Matematika. Temuan ini disampaikan Meni Handayani, peneliti dari Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud ketika Merilis hasil penelitiannya yang berjudul “Kesiapan Sekolah Menghadapi Asesmen Kompetensi Minimal”.

Meni juga menjelaskan terdapat persepsi yang cenderung berbeda antara guru dan siswa mengenai kesesuaian soal AKM dengan praktik pembelajaran di sekolah dan tingkat kesulitan soal. “Guru cenderung melihat soal AKM kurang sesuai dengan pembelajaran di sekolah, sedangkan siswa memandang sebaliknya. (www.kemdikbud.go.id, 8/12/2020). 

Karena itu, tugas pemerintah adalah memfasilitasi kegiatan sosialisasi dan pelatihan kepada guru, untuk sinkronisasi  pembelajaran dan penilaian dengan tipe soal AKM. Sebagai guru, bahagia rasanya menjadi bagian dari transfomasi bersejarah ini. 

Post a Comment