Dokpri

Profesi guru sebagaimana dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 

Butuh tujuh kata kerja operasional yang disematkan dalam definisi di atas, sebagai tugas pokok seorang guru. Guru, oleh banyak orang dianggap sebagai sebuah profesi yang kompleks.  Kompleksitas tugas dan peran guru kemudian ditopang satu kata kunci, yaitu profesional. Term profesional merujuk pada pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan. Pekerjaan itu memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, dan memerlukan pendidikan profesi. 

Sesuai amanat UU No. 14 tahun 2005, guru berada di garda depan sistem pendidikan,  untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Ini tugas maha berat bagi 3 jutaan guru di Indonesia. 

Pemerintah merespon tugas berat guru dengan intervensi kebijakan jaminan kesejahteraan. Program sertifikasi guru adalah salah satu contohnya. Sejak dilaksanakan pada 2007, sebanyak 1,39 juta telah disertifikasi hingga 2019. Masih ada sekitar 1,62 juta guru yang ditargetkan mengikuti sertifikasi dalam dua tahun terakhir, dan beberapa tahun mendatang (www.bisnis.com, 14/3/2019). 

Guru yang lulus sertifikasi mendapat tunjangan profesi per bulan sebesar satu kali gaji pokok. Fasilitas ini diharapkan menjadi booster, meningkatnya mutu layanan pendidikan. Kompetensi guru berperan besar dalam perbaikan mutu. Tunjangan profesi guru diberikan, salah satu tujuannya agar guru memiliki kecukupan sumber daya finansial, dan akses untuk mengembangkan kompetensi diri. Asumsi sederhananya, jika guru sejahtera, punya laptop, menguasai displin ilmunya, mampu membeli buku, terampil menggunakan TIK, melanjutkan studi S2, itu semua akan berdampak positif pada layanan pembelajaran di kelas. 

Dari sisi kompetensi, sebagai pemimpin pembelajaran, seorang guru tersertifikasi akan tampak kaya strategi, kreatif, inovatif, reflektif dan menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran. Nilai-nilai ini dicapai melalui pengembangan diri, terutama secara mandiri dari aktifitas literasi baik dari sumber cetak maupun digital. Salah satu ciri profesionalisme adalah kemandirian untuk mengembangkan kompetensi diri (self development), agar membawa dampak positif pada kinerja layanan pembelajaran. 

Guru jaman sekarang memiliki kemewahan dalam mengakses ragam sumber bacaan. Guru masa kini juga tidak menunggu panggilan pelatihan dari dinas pendidikan, karena tawaran pelatihan bertebaran setiap menit di internet. Pertanyaan utamanya, apakah guru-guru profesional tersertifikasi tanggap memanfaatkan ruang belajar itu? 

Jangan-jangan, fasilitas tunjangan profesi justru menempatkan banyak guru pada zona nyaman, area stagnan, keengganan untuk belajar. Cara memandang benefit sertifikasi, akhirnya mentok pada sisi finansial belaka, disertai perilaku konsumtif. Di ruang kelas, layanan pembelajaran disajikan dalam irama “seperti biasanya”, berceramah, mengandalkan buku teks, minim kreatifitas, siswa pasif, semuanya monoton. Jika situasi seperti ini terjadi secara berkelanjutan dalam waktu lama, siswalah korbannya. 

Dalam paradigma pembelajaran yang berpihak pada murid, keterlibatan murid dalam proses belajar adalah segalanya. Seorang guru profesional tidak boleh mendominasi pembelajaran dengan ceramah atau orasi, tetapi berperan sebagai fasilitator, mendampingi murid dalam berdiskusi, adu argumen, unjuk kerja dan aktivitas produktif lainnya. 

Bagaimanapun, kualitas pembelajaran yang berlangsung di kelas  adalah fondasi utama, sebelum perdebatan tentang mutu pendidikan bergema di ruang-ruang publik. Kompetensi guru tersertifikasi  sering menjadi obyek kajian, dengan benturan utamanya adalah capaian belajar murid dan kualitas pendidikan secara umum. Pada 2013, Bank Dunia merilis temuan dalam laporan berjudul “Spending More or Spending Better: Improving Education in Indonesia” yang menunjukan bahwa di Indonesia, prestasi guru tersertifikasi dan yang belum ternyata relatif sama meski dana yang dikucurkan dalam nominal fantastis. Juli tahun 2014, Bank Dunia dalam laporan berjudul “Reformasi Guru di Indonesia: Peran Politik dan Bukti Pengambilan Kebijakan” menemukan bahwa sertifikasi guru di Indonesia tidak meningkatkan kompetensi guru, juga tidak mendorong peningkatan hasil belajar murid, (www.batamtoday.com, 9/8/2014).

Ironi lain soal program sertifikasi dan kompetensi guru  terlihat dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada 2015 lalu. UKG tahun 2015 menyertakan 2.699.516 guru di seluruh Indonesia dengan nilai  Kompetensi Capaian Minimal (KCM) yang ditetapkan Kemendikbud adalah 55. Hasil UKG menunjukan rerata capaian guru adalah 56,69, atau hanya lebih tinggi 1,69 poin di atas KCM. Hasil ini menunjukan kompetensi guru di Indonesia masih perlu peningkatan. Jika dipetakan, rerata perolehan di atas KCM diraih guru-guru di pulau Jawa, dan nilai capaian terendah 44,79 diperoleh guru di luar Jawa. Fakta lain yang harus diberi garis tebal adalah, nilai guru yang telah tersertifikasi tidak berbeda dengan guru yang belum tersertifikasi, meski nilai kelompok guru tersertifikasi lebih tinggi, (Wiranto,www.kompasiana.com, 20/3/2019).

Fakta dan hasil kajian tersebut harus menjadi bahan refleksi setiap insan yang menyandang predikat guru profesional, tersertifikasi. Nilai profesionalisme itu harus dapat dikonversi dalam tindakan, yang berdampak langsung pada kualitas layanan pembelajaran.  Proses pembelajaran di kelas adalah titik awal, seorang guru bertindak untuk memunculkan potensi terbaik murid.

Jika ruang kelas dianalogikan sebagai medan tempur, dan pembelajaran merupakan proses pertempuran, maka seorang guru profesional akan tahu, bagaimana mengelola pertempuran tersebut, dengan kemenangan akhir berada di tangan para murid. 


  



Post a Comment