Dokpri |
Pola rekrutmen jabatan kepala sekolah semua jenjang pendidikan di bawah naungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memasuki era baru. Indikatornya adalah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, yang diundangkan tanggal 27 Desember 2021.
Permendikbudristek ini menggantikan Peraturan Menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 yang dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan pengelolaan pendidikan saat ini.
Salah satu perbedaan signifikan antara Permendikbud 6 No. 6 tahun 2018 dan Permendikbudristek No. 40 tahun 2021 adalah berlakunya sertifikat guru penggerak sebagai salah satu syarat wajib calon kepala sekolah. Dalam Permendikbud No. 6 tahun 2018, syarat ini belum berlaku.
Menurut saya, Permendikbudristek No. 40 tahun 2022 merupakan support system yang didesain Kemendikbudristek, untuk mendukung keberlanjutan salah satu kebijakan seri merdeka belajar, yakni Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP). PPGP merupakan pendidikan kepemimpinan bagi guru, untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang berpusat pada murid dan menggerakan ekosistem pendidikan. Program ini berlangsung selama sembilan bulan, mencakup pelatihan online, lokakarya, konferensi dan pendampingan.
Sebagai sebuah pelatihan on the job training, para partisipan PPGP tetap mengajar sambil menerapkan pengetahuan dan praktik baik yang diperoleh selama pelatihan. Muatan materi PPGP meliputi tiga tema utama, yaitu Paradigma dan Visi Guru Penggerak, Praktik Pembelajaran yang Berpusat pada Murid serta Pemimpin Pembelajaran dalam Pengembangan Sekolah.
Ketiga tema ini kemudian dijabarkan dalam sepuluh modul pembelajaran, yang dalam prosesnya difasilitasi oleh para instruktur, fasilitator dan pengajar praktik. Pada akhir masa pelatihan, setiap calon guru penggerak wajib menyajikan portofolio berupa karya, program kerja atau praktik baik yang telah diterapkan di sekolah maupun komunitas praktisi.
Dari alur proses, muatan materi, model pelatihan, serta kompetensi para fasilitator, instruktur dan pengajar praktik, saya berpikir PPGP merupakan sebuah training yang sangat menekankan kualitas pada tiga point penting, yakni proses, output dan outcome.
Pertama, tentang proses pelatihan. Pada sesi pembelajaran online berbasis Learning Management System, para peserta mempelajari modul secara mandiri lalu wajib menyelesaikan tugas setiap hari, kecuali Minggu, termasuk tiga kali video conference untuk presentasi atau elaborasi materi setiap minggu.
Selain pembelajaran online, terdapat lokakarya tatap muka setiap satu atau dua bulan, serta sesi pendampingan di sekolah oleh pengajar praktik. Proses ini mendorong para peserta untuk mengatur waktu secara ketat antara kepentingan pelatihan dan tugas pokok harian di sekolah. Tantangan serius lain adalah kendala keterbatasan jaringan internet bagi guru-guru yang bertugas di wilayah pelosok.
Kedua, terkait output pelatihan. Model pelatihan on the job training mewajibkan para calon guru penggerak untuk merancang aksi nyata atau menerapkan praktik baik di sekolah, terhadap pengetahuan yang telah dipelajari dari setiap modul. Rancangan aksi nyata atau implementasi praktik baik tersebut dikemas dalam video, foto, info grafis, atau poster dan disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial.
Akumulasi ragam kegiatan inilah yang akan masuk menjadi portofolio karya seorang calon guru penggerak. Jadi, secara output PPGP sangat terukur dan applicable.
Ketiga, outcome yang ingin disasar PPGP adalah adanya perubahan-perubahan positif yang digerakkan oleh seorang guru penggerak di sekolah dalam jangka panjang. Perubahan tersebut berkaitan dengan kualitas pembelajaran, penumbuhan budaya positif, terciptanya ruang kolaborasi antar guru, mendorong kepemimpinan murid serta pengembangan sekolah.
Dengan dampak seperti ini, PPGP merupakan bentuk upaya pemerintah mendorong transformasi bidang pendidikan di Indonesia dan guru-guru lulusan PPGP merupakan katalisator perubahan itu.
Sayang sekali, sejak diluncurkan pada pertengahan tahun 2020, animo guru-guru untuk melamar PPGP tampak masih kurang. Sebagai contoh, di kabupaten Timor Tengah Selatan yang masuk daerah sasaran pada rekrutmen angkatan ke 4 tahun 2021, dari 60-an quota yang tersedia, hanya 24 guru yang lolos seleksi menjadi calon guru penggerak. Hal yang sama terjadi di kabupaten Lembata, yang hanya menyertakan sembilan calon guru penggerak.
Patut diduga, kurangnya pelamar bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan informasi tentang manfaat PPGP bagi pengembangan karir seorang guru. Namun demikian, pasca terbitnya Permendikbudristek No. 40 tahun 2021 sebagai aturan rujukan, bisa dipastikan jumlah pelamar akan meningkat tajam. Akan tetapi, tentu saja para pelamar harus bersaing ketat merebut kuota yang telah ditetapkan Kemendikbudristek di setiap kabupaten/kota.
Program guru penggerak, kini menjadi salah satu pusaran orbit para pemimpin sekolah, dan pemimpin di bidang pendidikan secara umum. Pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek, telah membiayai mekanisme persiapan para calon kepala sekolah melalui PPGP, didukung perangkat hukum rujukannya.
Artinya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, tak perlu mengeluarkan anggaran untuk proses ini. Yang diperlukan dari otoritas pemprov/pemkab adalah kepatuhan dan komitmen untuk melaksanakan Permendikbudristek No. 40 tahun 2021 tersebut.
Intervensi politik para kepala daerah, serta subyektifitas para pengambil keputusan dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah, adalah momok yang terus membayangi. Fakta lapangan selama ini menunjukan, banyak kepala sekolah diangkat dengan mengabaikan peraturan rujukan, yakni Permendikbud No. 6 tahun 2018.
Contoh, sejumlah kepala sekolah yang sedang menjabat justru belum memiliki sertifikat pendidik sebagai salah satu syarat wajib. Realita ini tentu saja kontraproduktif dengan semangat transformasi pendidikan yang sedang dibangun Kemendikbudristek. Ini sebuah ironi, karena tantangan itu justru datang dari internal, para pihak terkait dalam ekosistem pendidikan.
Posting Komentar