Bagi saya, mengajar dan menulis adalah dua anugerah yang paripurna. Dulu, saat kuliah, saya begitu jatuh hati pada pekerjaan jurnalis. Setelah lulus, saya justru tersesat dalam dunia pemberdayaan masyarakat. Belakangan, takdir membawa ke ruang kelas sekolah, tempat murid-muridku menyulam masa depan, dengan bekal ilmu pengetahuan dan budi pekerti. 

Penting untuk melihat ke belakang terhadap dua anugerah itu,  pada apa yang telah dikerjakan, untuk menilai pencapaian hari ini, lalu menetapakan arah masa depan. 

Kilas Balik Pembelajaran

Bagi para pendidik dan murid, tahun 2020 dan 2021 adalah periode yang aneh.  Makna proses pembelajaran jadi lebih dinamis, tak lagi kaku. Ruang kelas bergeser ke ruang virtual. Tatap muka berubah menjadi tatap maya. Pembelajaran tak lagi identik sebatas buku, papan tulis, guru, ruang kelas dan lain-lain.

Pada 2020, 2021 muncul gelombang baru dalam pembelajaran dengan internet, smartphone, media sosial, dan ragam aplikasi mobile sebagai instrumen utamanya. Sebagai guru, awalnya saya menganggap fenomena ini adalah disrupsi, karena sulit untuk menjalin interaksi dengan murid yang minim akses ke perangkat digital. 

Satu senjata penting bagi guru dan murid menghadapi disrupsi tersebut adalah adaptasi.  Guru yang awalnya kikuk mengajar live di Zoom, Goggle Meet, Youtube, lama kelamaan akhirnya terbiasa juga. Sebelum pandemi, banyak guru terpaku pada buku teks saat mengajar, kini membuat video pembelajaran, mengelaborasi materi ajar kepada murid melalui media sosial adalah hal biasa. 

Di sisi lain, tantangan bagi murid juga tak kalah hebat. Sebelum pandemi, dari ratusan siswa saya, hanya belasan diantaranya yang memiliki smartphone. Kini, mereka malah lebih cekatan utak-atik smartphone, termasuk mengedit video belajar. 

Bagi guru, bagian penting dari proses adaptasi adalah kemauan untuk belajar, terutama secara mandiri. Nilai pembelajaran mandiri, memungkinkan seorang guru untuk survive dalam menjaga interaksi belajar dengan murid, sekaligus mencegah peluang learning loss. Belajar sambil  bekerja, itu prinsipnya. Tidak mungkin menunggu panggilan dari dinas pendidikan untuk dilatih bikin video pembelajaran, itu pola lama. Sebab keterampilan itu bisa dipelajari dari Youtube, Google, asal punya kemauan. 

Di masa pandemi, frekwensi mengakses internet bagi guru meningkat tajam. Ini bagus dalam semangat literasi digital. Yah itu tadi, semangat belajar mandiri dari sumber maya yang tanpa batas. Semangat ini pula yang mendorong saya melamar program Guru Penggerak (GP) dari Kemdikbud. 

GP merupakan program dengan struktur pelatihan yang sangat keren. Peserta dilatih selama sembilan bulan, (saya belum pernah terlibat dalam pelatihan dengan durasi waktu selama ini). Porsi pelatihan kira-kira 90%  secara online, sisanya tatap muka. 

GP menurut saya, adalah program yang disesain untuk mendorong lahirnya insan pendidik, yang punya daya dorong kuat melakukan perubahan positif pada ekosistem pendidikan. Program GP memberikan kesempatan para pesertanya belajar banyak ilmu mahal, melalui training gratis. Negara sungguh berbaik hati dalam konteks ini.

Sayang, tidak banyak guru yang mau menimba ilmu berharga secara cuma-cuma ini. Sebagai contoh, program GP angkatan 4 untuk kabupaten Timor Tengah Selatan hanya menyertakan 24 guru, dari kuota seharusnya, yakni 60an calon guru penggerak.

Sekali lagi sayang, karena program GP merupakan gerbang transformasi pola kepemimpinan  bidang pendidikan di Indonesia. Belum terlambat untuk mengejar, masih ada quota tersedia di setiap kabupaten. Rekan-rekan guru se-NTT, mari merespon kesempatan emas ini, menjadi bagian dari transformasi pendidikan terutama di daerah kita. 

Flashback Menulis

Gairah menulis, terlanjur menempati sebagian ruang hati yang terdalam. Untuk alasan ini, bagi saya menulis selalu menggairahkan. Ia ibarat  candu, dan tak ada alasan untuk berhenti melakukannya. 

Pada 2019 dan 2020, antusiasme banyak tercurah untuk menulis di koran dan platform blog Kompasiana milik Gramedia group. Ide tak henti diproduksi di sana.

Tahun 2021 memberi warna baru. Mimpi punya laboratorium digital sendiri terwujud. Laboratorium menulis pribadi itu kuberi nama labmenulis.com. Ini lompatan baik, tak lagi numpang pada blog gratisan.  Dalam ilmu marketing, katanya bagus untuk membangun personal brand sebagai penulis. Entahlah, namanya teori,  bisa benar, bisa juga keliru. Yang terpenting, di lab sendiri, kapanpun dan di manapun, ketika ada ide,  tulisan selalu lahir dengan gembira.

Di www.labmenulis.com, saya begitu merdeka menulis. Apa arti diksi merdeka? Saya bebas memilih isu, genre, diksi, gaya menulis dan lain-lain. Labmenulis.com adalah milik bersama, saya dan pembaca. Para pembaca adalah klien utama,  karenanya mereka juga mesti bebas menikmati keasyikan membaca, tanpa diganggu tampilan iklan sana-sini. 

Satu lagi, pada awal 2021, saya punya resolusi kecil, menulis satu artikel opini isu pendidikan di koran setiap bulan. Target itu belum tercapai, karena hanya dapat sebelas opini dari target 12. Desember benar-benar menguras tenaga dan waktu, angan-angan tak kesampaian di bulan ini. 

Tak apa, sebelas opini setahun di harian Victory News, bukan capaian buruk. Imbalannya, sebuah opini diantaranya menjadi salah satu pemenang dalam Lomba Menulis Opini dan Puisi yang digelar Media Pendidikan Cakrawala NTT memperingati HUT provinsi NTT pada Desember 2021. 

Tahun 2022, semoga layanan pembelajaran jauh lebih inovatif, bisa membuat banyak murid tertarik dan suka belajar bahasa Inggris. Terakhir tentang menulis, berharap untuk pertama, tetap konsisten dan produktif menulis di koran dan labmenulis.com. Kedua, saatnya menularkan kegemaran menulis kepada murid-muridku. 



2 Komentar

Posting Komentar