Foto: istimewa

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ( Kemendikbudristek), pada Jumat,11 Februari 2022  meluncurkan  kebijakan merdeka belajar episode ke-15 tentang muatan Kurikulum Merdeka.

Meskipun secara substansi, kurikulum merdeka merupakan pengembangan dari K-13, namun ada sejumlah nilai kebaruan yang tak ditemukan pada K-13. Kurikulum merdeka memiliki setidaknya tujuh poin baru yang perlu dipahami, terutama para guru sebagai fasilitator pembelajaran di kelas.   

Pertama, konstruksi kurikulum merdeka menjadikan profil pelajar Pancasila sebagai acuan dalam pengembangan standar isi, standar proses dan standar penilaian. Pada konteks ini, guru didorong untuk mengembangkan konten belajar, melaksanakan proses pembelajaran dan evaluasi, yang berorientasi pada pemenuhan enam dimensi profil pelajar Pancasila, yakni para pelajar yang  beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, gotong royong, berkebhinekaan global, bernalar kritis dan kreatif.  

Untuk mewujudkan murid yang memiliki nilai-nilai demikian, kurikulum merdeka berfokus pada konten belajar esensial yang dibutuhkan siswa, didukung pendekatan belajar berbasis project (procect based learning), diskusi, kerja kelompok,  agar guru memiliki banyak waktu untuk mengembangkan karakter siswa. Itulah alasan, kurikulum merdeka mengalokasikan 20%-30% jam pembelajaran untuk pengembangan karakter profil pelajar Pancasila.

Kedua, rumusan Kompetensi Inti/KI dan Kompetensi Dasar/KD di K-13, dalam kurikulum merdeka diganti menjadi Capaian Pembelajaran/CP. CP merupakan perangkat pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai satu kesatuan aspek dalam pengembangan kompetensi siswa. Ditiadakannya rumusan KD memungkinkan sekolah untuk memilih materi pembelajaran sesuai minat dan konteks lokal siswa. Dengan demikian, guru tidak lagi terbebani oleh cakupan dan target materi pembelajaran yang padat. Inilah salah satu sifat kurikulum merdeka  yang fleksibel. 

Ketiga, model pembelajaran tematik yang dalam K-13 diterapkan pada jenjang SD kelas 4,5,6, kini dalam kurikulum merdeka vbisa diterapkan di jenjang SMP SMA.  Sebaliknya, pada jenjang SD juga menggunakan pembelajaran berbasis mata pelajaran, selain tematik. Pendekatan ini memungkinkan siswa terlibat dalam pembelajaran lintas disiplin illmu dengan pengalaman belajar yang variatif.

Keempat, muatan K-13 menggunakan jumlah jam pelajaran per minggu. Dalam kurikulum merdeka, jumlah jam pelajaran justru ditetapkan selama satu tahun. Sekali lagi, kurikulum merdeka memungkinkan sekolah memiliki fleksibilitas dalam mengatur pelaksanaan pembelajaran. Satu mata pelajaran dapat hanya diajarkan di semester ganjil, genap, atau keduanya, selama bukan merupakan mata pelajaran wajib.

Kelima, kurikulum merdeka menekankan pembelajaran kolaboratif  guru lintas mata pelajaran, maupun antara guru dengan siswa. Pembelajaran berbasis project adalah salah satu jembatan untuk mengembangkan profil pelajar pancasila. Melalui pendekatan project, siswa mendapatkan pengalaman belajar (experiental learning) dan pengalaman pembelajaran lintas dispilin ilmu. Pendekatan project juga memungkinkan guru mengembangkan soft skill dan karakter siswa sesuai tuntutan zaman. Dalam pembelajaran project, sekolah berwenang menentukan model asessmen untuk mata pelajaran atau lintas mata pelajaran dalam penilaian sumatif.

 Sebagai guru, akan sangat menyenangkan, misalnya melihat siswa yang akan tamat dari suatu jenjang sekolah, mempertahankan pendapat mereka tentang hasil laporan project, atau karya tulis ilmiah dalam semacam ujian meja. Kurikulum merdeka mensyaratkan penilaian sumatif jenjang SD dilakukan dua kali setahun dan SMP/SMA tiga kali setahun.

Keenam, mata pelajaran TIK  kembali masuk dalam muatan kurikulum merdeka,  dengan nama informatika dan dipelajari mulai jenjang SMP. Selama penerapan K-13, TIK hanya bersifat bimbingan, bukan mata pelajaran wajib. Ini tentu saja kontraproduktif dengan program digitalisasi sekolah yang dicirikan dengan penggunaan perangkat IT secara masif baik dalam pembelajaran maupun evaluasi. Bahkan, harusnya informatika dapat diperkenalkan sejak SD, mengingat banyak siswa SD di pelosok desa menghadapi kendala besar saat  mengikuti asesmen nasional berbasis komputer. 

Ketujuh, dalam kurikulum merdeka, dilakukan pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS yang selama ini diajarkan terpisah di SD kelas 4,5,6 menjadi satu mata pelajaran terpadu bernama IPAS. Fokus penggabungan ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan literasi dan numerasi siswa. Di tingkat SMA, tak ada lagi penjurusan IPA, IPS dan bahasa. Artinya, tak  ada lagi  siswa yang berminat pada seni dan olah raga tetapi terjebak di tiga jurusan tersebut yang tidak relevan dengan minat dan bakat mereka. Siswa kelas X hanya menyiapkan diri untuk menentukan pilihan mata pelajaran di kelas XI dan XII sesuai minat dan bakat mereka. 

Tantangan guru

Tantangan terbesar implementasi kurikulum baru adalah kesiapan guru menerjemahkan isi kurikulum dalam pembelajaran. K-13 yang diluncurkan pada tahun 2013, butuh waktu lebih dari lima tahun untuk dapat diterapkan secara penuh di sekolah. Kemampuan pemerintah mengubah kebijakan kurikulum dan mendorong implementasinya, cenderung lebih cepat dibanding kesiapan melatih guru-guru.

Kurikulum merdeka  sangat tipikal dengan kreatifitas dan inovasi pembelajaran. Metode ceramah dan penggunaan buku teks misalnya, ini adalah pendekatan lama yang tak lagi relevan. Kebutuhan belajar dan minat setiap murid berbeda, karenanya guru harus mengintervensi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan belajar murid, bukan berdasarkan gaya mengajar guru. Diferensiasi konten, proses dan produk  pembelajaran adalah contoh kreatifitas yang diperlukan dalam menjalankan kurikulum merdeka.

Selain itu, pembelajaran berbasis project sebagai ciri khas kurikulum merdeka memerlukan keterampilan tambahan bagi guru, seperti kemampuan terkait aktifitas riset sederhana. Guru harus mampu mengidentifikasi masalah di lingkungan siswa, merancang pertanyaan pemantik, merencanakan pelaksanaan project, termasuk keterampilan menulis hasil riset atau laporan.  

Untuk mengatasi rentetan tantangan ini, sulit untuk bersandar pada kerja pemerintah. Guru perlu bersikap adaptif, dengan belajar secara mandiri, sharing dengan rekan sejawat untuk mengurangi faktor penghambat implementasi kurikulum paradigma baru di sekolah. 

 

 

Post a Comment