Dokpri
Senin, 29 Agustus 2022 pukul 17.06 WITA, ruang virtual itu belum penuh orang saat saya masuk. Tiga atau empat orang sudah standbye di sana. Harusnya ada belasan orang di ruang ini. 

Masih dini, mungkin beberapa saat lagi akan hadir juga, saya pikir begitu. Setelah say hello dengan beberapa wajah baru di layar, fokus saya beralih ke satu sosok. Uban di rambutnya sama sekali tidak bikin saya kesulitan mengenalnya, terutama gaya bicara, intonasi dan aura cendekiawannya yang khas.

Senin sore itu merupakan agenda workshop pertama program Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN) wilayah NTT, untuk lima belas penulis NTT dengan naskah terbaik. ILPN adalah program penumbuhan budaya literasi, kerjasama Perpustakaan Nasional dengan Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT.  

Dengan tagline “Dari Daerah untuk Indonesia”, ILPN melibatkan para penulis terbaik NTT melalui event lomba menulis esei bertema mengakarkan literasi, memerdekakan generasi. Empat puluh penulis yang mengirim naskah, dikurasi oleh panitia dan memilih lima belas tulisan terbaik. Naskah dari ke lima belas penulis ini selanjutnya akan dibukukan oleh perpustakaan nasional, setelah melewati proses workshop secara daring selama tiga hari.

Nah, di workshop inilah hadir sebagai narasumber utama pada Senin sore itu, seorang yang istimewa. Saya begitu mengidolakannya, terutama pada gaya menulisnya.

Di bangku kuliah, Ia sangat cool dan humble sebagai dosen. Sebagai penulis, Ia sangat lugas,logis dan efektif dalam tulisannya. Jika ingin bukti, temukan sendiri opininya yang bertebaran di Kompas dan Pos Kupang. 

Profesor Feliks Tans, sore itu saya begitu bahagia bertemunya di lini maya. Saya menyapanya berulang. Dua puluhan tahun lalu, saya berhutang ilmu bahasa Inggris darinya di Program Studi bahasa Inggris Undana, sore itu saya kembali merasa berhutang ilmu yang lain darinya, menulis.

 Bertemu dengannya kali ini sebagai sesama penulis, Ia tetap teduh berbagi ilmu menulisnya yang sangat berisi. Writing is an act of courage, Prof. Feliks mengulang kutipan ini untuk membakar semangat para penulis, bahwa menulis itu merupakan tindakan keberanian. 

Semasa kuliah, saya merasakan sendiri bagaimana Prof. Feliks menantang mahasiswanya  untuk terjun ke dunia menulis. Ia bercerita pada Senin sore itu, bagaimana Ia harus memberi saya nilai A untuk mata kuliah Writing yang Ia asuh, ketika naskah opini pertama saya merebut satu slot ruang opini di Pos Kupang tahun 2001. 

Sejujur-jujurnya, opini mahasiswa semester dua di Pos Kupang kala itu, seperti mujisat. Betapa tidak, kolom opini Pos Kupang itu seperti ‘kavling” milik nama-nama beken seperti Paul Budi Kleden, Eben Nuban Timo, Feliks Tans, Alo Liliweri, Mery Kolimon, dan penulis akademisi lainnya.

Jadi, saya pikir tantangan Prof. Feliks di masa lalu itu, impactnya masih saya nikmati hingga detik ini. Mengajar dan menulis adalah dua gairah, yang terlanjur mengalir bersama dalam darah. They’re my cup of tea. 

Mengajar di kelas ibarat menulis di ruang pikiran para murid, sebaliknya menulis di koran seperti mengajar di bilik-bilik labirin para pembaca. 

Dari mengajar dan menulis, saya memiliki kesempatan untuk menanam berlian di hati para murid dan pembaca. Thanks Prof, I made you my teacher of writing

Post a Comment