MN Aba Nuen

Sinar fajar pagi belum menyinari bumi pada Kamis, 22 Juni 2023. Udara pesisir yang panas di siang hari dan dingin pada malamnya, terasa hingga pukul 06.00 WITA pagi, saat kendaraan saya mulai melaju menapaki jalan bebatuan pada ruas Kiufatu-Kuanfatu. Perjalanan di atas hamparan kerikil sejauh 23 km, saya tempuh dengan semangat dan cemas di pagi buta. Rute Kiufatu di kecamatan Kualin menuju kecamatan Kuanfatu terakhir saya lalui 13 tahun lalu, tepatnya pada 2010.  Kondisi jalan saat itu dipenuhi batu lepas. 


Bayang-bayang 13 tahun lalu itu terus menghantui, dan itu benar-benar terasa pada laju mobil  10km/jam, sangat pelan. Selepas dari wilayah Nunusunu di kecamatan Kualin yang penuh bebatuan, jalan hotmix sedikit membuat lega begitu memasuki desa Kele di kecamatan Kuanfatu.  Meskipun, setelah desa Kele, medan berbatu kembali menyambut sebelum akhirnya mencapai jantung kecamatan Kuanfatu.  


Kuanfatu, dua suku kata dari bahasa Dawan (kuan;kampung) dan (fatu;batu). Melintas di Kuanfatu serasa seperti menari di lereng-lereng bukit, dengan rumah-rumah warga berjejer  di tepian. Hawa dingin pegunungan menyengat, dengan pemandangan bebukitan yang subur dipenuhi barisan pohon-pohon. Di sepanjang jalan sejak dari desa Kele, mudah menemui mata air di pinggir jalan, termasuk sejumlah Kali dengan air jernih mengalir bebas. Saya bergumam dalam hati, kampung ini adem dan subur, tapi kalah akses jalannya.  


Pukul 07.20, saya tiba di kawasan pasar Kuanfatu, persis di depan kantor Polsek, dan memutuskan untuk mengambil  waktu beristirahat. Di google map, saya tahu jarak dari sini ke titik tujuan di sebuah SD cukup dekat, kurang dari 1 km.  Setelah beristirahat 40 menit, kendaraan saya bergerak menuju SD Inpres Naimetan. Di sana merupakan titik kumpul bagi 140 guru dari 28 SD se-kecamatan Kuanfatu. Selama tiga hari, pada 22-24 Juni 2023, saya ditugaskan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten TTS menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). 


Tepat pukul 08.15, saya tiba di SD Inpres Naimetan, letaknya persis di sisi Timur SMA Negeri Kuanfatu. Senyum kepala sekolah, hangat menyambut saya di depan ruangannya. Di run down kegiatan, workshop akan dimulai pada pukul 09.00. Dalam perbincangan, baru saya tahu kepala SD ini adalah sosok penting di balik pelaksanaan kegiatan ini. Namanya Ohad Albinus Lopo, selain menjabat kepala sekolah, beliau juga merupakan Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) kecamatan Kuanfatu yang mengorganisir kegiatan workshop.


Di areal sekolah, tampak guru-guru peserta mulai berdatangan. Kegiatan workshop dipusatkan di ruang aula sekolah yang cukup representatif, mampu menampung ratusan peserta. Ruangan diseting dengan apik, kursi peserta tersusun rapi,  ada spanduk kegiatan lengkap  dengan perangkat LCD  dan sound system yang memadai. Asumsi saya, kegiatan ini disiapkan dengan sangat baik. 


Akan tetapi disaat bersamaan, muncul pertanyaan di benak saya, haruskah kegiatan Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka digelar untuk guru-guru? Bukankah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah menyiapkan support system melalui Platform Merdeka Mengajar  (PMM) sebagai tempat belajar para guru? Saya tentu berharap jawaban atas pertanyaan tersebut bisa didapatkan dalam tiga hari kegiatan ini.  


Sekitar pukul 10.15, kegiatan dimulai. Para fasilitator adalah satu orang pengawas SD dan tiga orang guru dari Komunitas Guru Penggerak kabupaten TTS. Durasi tiga hari memang tidak cukup untuk memahami muatan kurikulum merdeka secara komprehensif. Materi konseptual seperti Kebijakan Kurikulum Merdeka, Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Budaya Positif kami tempatkan sebagai sajian pembuka hari pertama. Di hari kedua, prioritas materi berfokus pada aspek keterampilan Memahami Capaian Pembelajaran dan Menyusun Tujuan Pembelajaran, Alur Tujuan Pembelajaran dan Membuat Modul Ajar.  Hari ketiga ditutup dengan materi Merancang Modul Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan Asesmen. 


Kurikulum  Merdeka dibangun di atas prinsip konstruktivisme, yang menekankan pengalaman belajar yang bermakna, karenanya alur workshop kami desain dengan memberikan ruang yang lapang pada aktivitas melakukan, bukan menyimak. Guru-guru peserta  didorong untuk sharing, berdiskusi, memaparkan hasil diskusi, membuka ruang dialog, merancang produk, menjelaskan rancangan produk dan melakukan refleksi.  


Rangkaian proses tersebut seperti potongan-potongan puzzle, yang dapat diformulasikan menjadi jawaban atas pertanyaan, apa urgensinya melaksanakan pelatihan IKM. Misalnya, ketika mendengar sharing seorang kepala sekolah yang menyisakan  5 tahun masa kerja. Ia, yang generasi 1960-an, bercerita tentang jatuh bangun upayanya belajar mengetik di laptop dan mengakses internet. Ia sadar, dunia pendidikan kini sangat dinamis, perubahan terus terjadi. Digitalisasi pendidikan telah memacunya untuk terus belajar, tetapi Ia akui faktor usia membuatnya lebih lambat untuk memahami hal-hal baru berbau teknologi. 


Pada sesi lainnya, pendapat berbeda datang dari dua guru muda. Usia keduanya baru menginjak 30 tahun, bertugas di daerah pelosok dengan jaringan internet yang buruk. Rutinitas menjalankan tugas pokok mengajar, plus tugas tambahan lainnya seperti operator sekolah, bendahara, ini membuat mereka larut dalam kenyamanan dan  mengabaikan kebutuhan pengembangan diri. 


Saya mencoba menemukan satu titik temu dari dua cerita di atas, dan menyimpulkan bahwa upaya mendorong satuan pendidikan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka, belum cukup efektif dengan mengandalkan PMM sebagai satu-satunya sumber rujukan. Kendala yang ada di lapangan tidak selalu menemukan  solusinya dengan perangkat teknologi. Ini hanya asumsi saya, bisa jadi keliru. 


Namun demikian, boleh jadi, asumsi tersebut relevan dengan terobosan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten TTS melalui Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka di jenjang SD dan SMP, bermitra dengan Komunitas Guru Penggerak. Strategi ini bisa menjadi melting point, untuk memenuhi kebutuhan guru-guru yang kesulitan mengakses perangkat teknologi, mengatasi keterbatasan jaringan internet  di satuan pendidikan, termasuk membantu beban guru-guru non ASN yang mungkin kesulitan membeli pulsa data untuk mengakses PMM. 


Jadi, perjalanan ke Kuanfatu dan tiga hari berada di sana, bagi saya merupakan kesempatan emas untuk belajar,  berbagi dan tumbuh bersama sebagai sesama rekan pendidik. Keterlibatan dalam kegiatan Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka, juga merupakan sebuah proses hearing, karena di situ, ada banyak cerita menarik dari para pendidik hebat di pelosok-pelosok kampung, yang selama ini lenyap begitu saja karena keterbatasan ruang dan waktu. 

Perubahan kurikulum belum tentu langsung berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi guru yang berkualitas berpeluang besar meningkatkan mutu pendidikan.  

Post a Comment