Oleh Febryanti E. Sonlay, S.Pd., Gr. Guru bahasa Indonesia SMAN Kualin. Alumnus Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Undana Kupang. |
Kesantunan merupakan tata krama atau budi pekerti baik yang wajib dimiliki oleh setiap insan. Kesantunan tidak hanya dilihat dari tindakan seseorang, melainkan juga dari tutur kata orang tersebut.
Dewasa ini, kita hidup di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Akses yang mudah pada teknologi digital menjadi tawaran paling menarik bagi semua kalangan masyarakat, tidak terkecuali peserta didik. Semua orang dapat dengan mudah mengakses internet untuk berkomunikasi lewat beragam platform media sosial.
Dalam konteks pendidikan, aplikasi media sosial (medsos) dapat digunakan untuk berkomunikasi dan menyebarkan atau mencari informasi-informasi penting misalnya materi pembelajaran. Namun, realitanya ada pelajar yang menggunakan medsos untuk menuangkan isi hati dan pikiran yang mestinya tidak pantas untuk dibagikan kepada khalayak umum.
Aktivitas pemanfaatan media sosial para pelajar, memang takjarang sering lepas dari kontrol orang tua. Implikasinya, penggunaannya menjadi lebih bebas sehingga dapat berpengaruh negatif pada tindakan atau tutur kata mereka.
Fenomena ini menjadi isu penting di dunia pendidikan saat ini. Bagaimana tidak? Seorang peserta didik dapat dengan bebas mengakses semua informasi dan bebas menyebarkan informasi tanpa ada ikatan kesantunan.
Peserta didik pun dapat dengan mudah melakukan hal tersebut kepada orang-orang di sekitar mereka. Mereka cenderung bebas membuat postingan dengan isi cibiran, perundungan, bahkan informasi hoax tanpa memerhatikan kaidah, kesantunan dan siapa lawan bicaranya.
Penting untuk diketahui, bahwa peserta didik adalah orang-orang terpelajar, sehingga sangat disayangkan ketika mereka menunjukkan perilaku tidak santun dalam menggunakan media sosial.
Kasus Cyberbullying adalah salah satu contoh dampak yang paling sering muncul, akibat penggunaan bahasa yang tidak santun saat membagikan postingan di sosial media. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan bersama, agar semakin banyak orang paham dengan kesantunan dalam berbahasa di media sosial.
Pada titik ini, para pendidik memiliki peran penting dalam perkembangan peserta didik. Dalam kasus perundungan yang dilakukan di media sosial, tidak menutup kemungkinan untuk juga dapat terjadi di sekolah. Karenanya, program-program sekolah yang bertema anti bullying diharapkan dapat mengarahkan siswa untuk lebih bijak dalan menyampaikan pendapat atau perasaan di media sosial.
Satu tantangan yang dihadapi, dalam meminimalisir perilaku berbahasa yang tidak santun dari peserta didik. Diantaranya, kurangnya pemahaman mereka tentang cyberbullying dan dampaknya. Rendahnya pemahaman membuat mereka leluasa mengirim postingan yang tidak santun, tanpa memahami isi yang dibagikan.
Sebagai contoh, upaya yang dilakukan sekolah melalui kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) bertema bangunlah jiwa dan raganya cukup efektif untuk meminimalisir perundungan yang terjadi di kalangan peserta didik. Melalui program ini, peserta didik mengenal ragam tindakan perundungan, termasuk ragam kejahatan yang sering terjadi di kalangan pelajar.
Pada akhir program atau projek ini, peserta didik mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang kampanye anti bullying di lingkungan sekolah, dengan cara mendesain poster dan bermain peran.
Pelajaran yang diperoleh dari program ini adalah peserta didik mengenali dengan benar faktor-faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan di kalangan pelajar. Peserta didik juga dapat memahami etika dalam berkomunikasi dan berperilaku. Pada akhirnya, peserta didik diharapkan dapat menjadi promotor, untuk menentang segala bentuk tindak kekerasan verbal maupun fisik di lingkungan sekolah ataupun di media sosial.
Posting Komentar