Oleh M. N. Aba Nuen
GP Angkatan 4-Warga Desa Tuafanu


 Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 3 Juli 2020. PPGP merupakan program unggulan Kemendikbudristek, untuk mengembangkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak pada murid dan pengembangan sekolah. 


PPGP didesain dengan menggunakan pendekatan andragogi dan blended learning. Model pelatihannya berbentuk on the job training, yang memungkinkan peserta menerapkan pengetahuan dan keterampilan di sekolah, tanpa meninggalkan tugas pokok mengajar. Selain itu, aktivitas belajar peserta juga melibatkan rekan sejawat, para fasilitator, dan pengajar praktik.


Dalam bahasa program, guru-guru penerima manfaat didorong untuk menggagas prakarsa perubahan dalam bentuk aksi nyata, sebagai upaya transformasi positif di ekosistem sekolah.  Aksi nyata yang dilakukan, dapat berupa program atau praktik baik pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Karakteristik seperti ini menggambarkan tiga variabel penting program, yakni  dapat diukur (measurable) , dapat dicapai (achievable) dan memiliki dampak (impact). 


Hemat saya,  PPGP dirancang sebagai mesin orbit para pemimpin pendidikan. Secara nasional, sampai dengan September 2024, PPGP telah menyelesaikan 9 angkatan dengan jumlah beneficiaries mencapai 92.888 guru penggerak. Saat ini, terdapat dua angkatan yang sedang melangsungkan pendidikan, yakni angkatan 10 dan 11, sementara angkatan 12  akan memulai pendidikan pada awal 2025. 


Data Kemendikbudristek menunjukkan hingga hingga Maret 2024, jumlah guru penggerak dan calon guru penggerak yang telah diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah oleh pemerintah daerah mencapai 11.852 orang. 


Akhir program dan keberlanjutannnya

Memasuki tahun ke-4 pelaksanaan PPGP, ada sejumlah testimoni datang para alumni di berbagai daerah.  Murni S.Pd., lulusan PPGP angkatan 3 yang telah memimpin dua sekolah di Kota Bima NTB. “Menjadi guru penggerak menjadikan hidup saya lebih tertata dan saya menjadi guru yang sesungguhnya”, katanya seperti dirilis www.bgpntb.kemdikbud.go.id, 19/8/2023.


Indri Herdiman, guru SMAN 1 Cisarua, Kabupaten Bandung Barat yang sukses meraih penghargaan tingkat nasional dalam ajang apresiasi GTK tahun 2022 adalah alumni PPGP angkatan 4. “Setelah saya mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh selama PGP, terjadi transformasi yang luar biasa bahwa minat dan bakat yang dimiliki siswa itu berbeda-beda. Kita sebagai pendidik, harus mampu merancang pembelajaran yang dapat memperkuat minat dan bakat siswa,” kata Herdiman seperti dilansir detik.com edisi 8/2/2023. 


Saya sendiri merasakan, PPGP telah mengubah paradigma dan pola pikir saya sebagai pendidik, pasca menjalani pendidikan angkatan 4 tahun 2022. Perubahan signifikan, terjadi pada persepsi saya terhadap siswa dan pendekatan pembelajaran. Sebelum mengikuti PPGP, saya cenderung menganggap semua siswa memiliki kemampuan, kesiapan dan minat belajar yang sama. 


Nyatanya, setiap anak terlahir sebagai individu yang unik, berbeda  minat, bakat dan tentu saja kebutuhan belajar. Keberagaman ini menuntun saya, untuk merancang pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswa. Dalam teori pedagogi, tool yang digunakan untuk mengintervensi keberagaman kebutuhan belajar peserta didik yaitu strategi diferensiasi pembelajaran. 


Selain itu, PPGP juga membentuk pandangan saya tentang pentingnya berjejaring dengan rekan sejawat guru yang lain di sekolah, untuk bergerak bersama melakukan perubahan.   Kolaborasi dengan rekan sejawat guru membuka wawasan saya, tentang manfaat melakukan refleksi, diskusi dan sharing, agar pertumbuhan diri sebagai pendidik tidak terbatas pada perspektif pribadi saya. 


Namun demikian, kisah sukses alumni PPGP bisa jadi taklagi terdengar, seiring  berakhirnya masa kerja Mendikbudristek Nadiem Makarim. Isu hangat soal keberlanjutan PPGP  di masa depan terus membayangi pergantian rezim pemerintah. 


Tanda-tanda PPGP memasuki tahap akhir mulai nampak, jika kita mencermati proses rekrutmen angkatan 12  pada pertengahan 2024. Saya menemukan setidaknya dua ciri, yang menandakan PPGP akan berakhir.


 Pertama, rekrutmen calon guru penggerak (CGP) angkatan 12 tidak  lagi melibatkan guru SMA/SMK sebagai sasaran peserta. Kebijakan ini belum pernah berlaku sejak angkatan 1 hingga 11. Dengan hanya melibatkan guru TK, SD, dan SMP sebagai sasaran program, jelas dari sisi partisipan telah dikurangi secara bertahap. 


Kedua, pengurangan juga dilakukan terhadap jumlah daerah sasaran. Sebagai contoh di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dari 22 kabupaten/kota, rekrutmen CGP angkatan 12 hanya dilakukan di empat kabupaten yakni Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Malaka dan Alor. 


Dua indikator di atas merupakan strategi keluar, (exit strategy) untuk mengakhiri PPGP di bawah kendali Kemendikbudristek.  Untuk memastikan dampak program secara berkelanjutan, maka otoritas pemerintah yang dapat meneruskan PPGP adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. 


Pemprov dan pemkab/pemkot memiliki kepentingan yang besar untuk mereplikasi model pelatihan seperti PPGP, karena merekalah user utama dari output PPGP. Hal ini tercermin dalam mekanisme pengangkatan guru dalam jabatan kepala sekolah, sebagaimana amanat Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.  


Permendikbudristek ini menegaskan bahwa sertifikat guru penggerak, merupakan salah satu persyaratan bagi calon kepala sekolah dan pengawas. Untuk memenuhi kebutuhan kepala sekolah dan pengawas sekolah, tiga hirarki tersebut harus memastikan PPGP akan berlanjut dengan alokasi anggaran di APBD. 


Kemendikbudristek melalui Balai Guru Penggerak (BGP) sebagai unit pelaksana PPGP di daerah, telah meletakan dasar yang kuat, menjalankan PPGP selama empat tahun. Tanpa  mengeluarkan anggaran, pemprov dan pemkab/pemkot kini telah memanen para lulusan PPGP, sebagai agen-agen perubahan pendidikan di daerah. Kini, saatnya pemerintah daerah mengambil alih keberlanjutan program, sekaligus membuktikan komitmen mereka dalam mendukung transformasi pendidikan di Indonesia.  


Tantangan Pemda

Namun demikian, peran pemprov, pemkab dan pemkot untuk meneruskan PPGP, juga bukan sesuatu yang mudah. PPGP adalah model pelatihan multi moda, yang melibatkan banyak aktor pendukung, serta dukungan teknologi digital yang mumpuni.


PPGP melibatkan banyak fasilitator, pengajar praktik, calon guru penggerak dan didukung fungsionalitas software seperti Learning Management System (LMS) milik Kemendikbudristek. Selain itu, satu angkatan PPGP membutuhkan waktu minimal 6 bulan masa pendidikan. Kompleksitas variabel seperti ini, tentu berdampak pada alokasi anggaran yang harus disediakan pemerintah daerah  untuk membiayai program.  


Kecemasan pada ketersediaan  anggaran daerah serta dukungan infrastruktur digital, tampaknya membuat banyak pihak meragukan keseriusan pemerintah daerah, untuk melanjutkan legacy mulia PPGP. Selain itu, semangat otonomi daerah, juga kerap menjadi tameng pemda, untuk tak sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. 


Belum lagi perubahan stuktur Kemendikbudristek, yang kini dipecah menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan, bisa jadi turut mempengaruhi kebijakan pendidikan di daerah. 


Sebagai guru yang kini merasakan dampak PPGP bagi diri dan ekosistem sekolah, saya berharap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, sudi terus menyalakan mercusuar PPGP hingga pelosok-pelosok Indonesia. 

Melimpahkan keberlanjutan PPGP ke pemerintah daerah, sama halnya dengan menempatkannya di ujung tanduk ketidakpastian.  

Post a Comment