Oleh Dessy M. Natty, S.Pd., Gr. 
Guru bahasa Inggris SMAN Kualin
Alumnus Undana Kupang


Istilah guru zaman now, ternyata bukan hanya sekedar untuk berkelakar saja. Tetapi, makna yang terkandung dalam tiga kata ini sangatlah dalam. Saat ini, guru bukan hanya bisa mengajar saja, namun bisa terus beradaptasi untuk mengikuti perkembangan zaman. Karena itulah, pengembangan kompetensi guru sangat diperlukan untuk meng-upgrade diri menjadi guru yang semakin berisi.


Salah satu kegiatan pengembangan kompetensi guru adalah mengasah keterampilan menulis. Di zaman Artificial Intelligence (AI) yang kini mulai merambat dunia pendidikan, orisinalitas pikiran dari guru sangatlah diperlukan. Bukan hanya untuk kepentingan guru itu sendiri, namun bisa berguna untuk orang-orang di dunia pendidikan. Melalui menulis, guru bisa menyampaikan apa yang dirasakan dan dialami yang terjadi di lapangan. Secara spesifik, guru dapat berbagi praktik baik pembelajaran melalui bahasa tulis. 


Menulis, juga bisa sebagai wadah untuk saling mengkritisi dan memberikan solusi, tentang apa yang sebaiknya dilakukan sesama pendidik untuk kemajuan di dunia pendidikan. Selain itu, tulisan merupakan pengingat yang mengikat penulisnya untuk berperilaku positif sesuai dengan apa yang ditulis.


Lalu, apakah menulis itu sulit? Menurut kebanyakan orang, menulis adalah hal yang mudah. Sayangnya, bagi saya ini adalah hal tersulit. Jika harus memilih, saya lebih tertarik mengerjakan tiga pekerjaan berat dibanding menulis. Ketika berhadapan dengan laptop, tidak ada ide yang bisa diketik. 


Apa yang harus ditulis? Bagaimana saya mengembangkan ide saya agar bisa menjadi sebuah paragraf yang baik? Bagaimana saya menautkan satu paragraf dengan paragraf yang lainnya sehingga bisa menjadi satu teks yang layak dibaca?


Selain banyak pertanyaan yang sering muncul di kepala, dan membuat tangan ini enggan menulis, menjadi guru bahasa yang jarang menulis adalah suatu beban tersendiri. Bagaimana anda mengajar tentang cara menyusun teks kepada peserta didik, namun kamu sendiri tidak bisa menuangkan idemu dalam tulisan? Sampai pada titik ini, saya meyakini bahwa menulis memang penting. 


Mengutip pernyataan dari Pramoedya Ananta Toer, aku menulis maka aku ada.

Menulislah, maka kita ada meski esok tiada. Menulislah, maka orang akan mengingatmu. Menulislah, maka kegelisahanmu yang terpendam selama ini bisa tersampaikan. Menulislah, maka kamu bukan saja berteori di depan kelas, namun bisa memberi contoh kepada anak didikmu. Menulislah, maka kamu membuktikan pada dirimu bahwa kamu bisa.


Tentang menulis, saya teringat pada kata-kata Thomas A. Sogen, mantan Ketua Asosiasi Guru Penulis (Agupena) wilayah NTT. Menurutnya,  ada tiga rumus untuk menghasilkan sebuah tulisan, yakni menulis, menulis dan menulis. Mulailah terlebih dahulu, apa yang muncul di kepala, tuangkan itu sebelum ide itu lenyap. Entah akan nyambung atau tidak, tidak masalah. Menurut beliau, menulis adalah menuangkan bahasa lisan ke dalam tulisan. Apa yang sering kita bahas, tertawakan, risaukan, itulah yang kita tuangkan ke dalam bahasa tulis.


Menulis adalah keterampilan yang harus dibiasakan. Layaknya sebuah pisau, Ia harus selalu diasah agar selalu tajam, menulispun demikian. Saya yakin, semua penulis hebat juga mengalami kegelisahan yang sama, ketika pertama kali menulis. Namun, berjalannya waktu, semakin sering menulis, semakin tahu bagaimana berbahasa yang baik dan  menuangkan ide agar layak dibaca. 


Frekwensi menulis, juga mempengaruhi kepekaan penulisnya tentang apa yang harus diperbaiki dalam tulisan, dan  apa yang menjadi kekuatan dalam tulisannya.  Semakin sering menulis, akan semakin menajamkan keterampilan kita.


Sebagai penulis pemula, jangan bersembunyi di balik batu besar bernama ketakutan. Tantang dirimu untuk bisa menaklukan ketakutan dan kegelisahan tentang menulis. Berpikirlah bahwa kamu bisa. Jangan membebani pikiran untuk menghasilkan tulisan yang wow.  Mulailah menulis hal sederhana. Tuangkan kekhawatiranmu selama ini dalam naskah tulisan. Tulislah apa saja yang muncul di pikiranmu. Kelilingi dirimu dengan orang – orang hebat yang saling memberi dukungan positif, untuk menumbuhkan motivasi menulis. Jika kamu merasa tidak ada sosok yang bisa dijadikan contoh, be the one!


Saya bersyukur dan merasa diberkati, berada di antara rekan-rekan hebat di tempat saya mengajar. Saya dimotivasi untuk terus berbenah menjadi guru yang lebih baik. Bahkan, diwadahi untuk terus mengembangkan diri bersama. Meng-upgrade diri bukan untuk kepentingan diri sendiri,  tetapi bisa menjadi guru dengan versi terbaik untuk anak didik.


Sebagai pendidik, mari kita terus beradaptasi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ayo, taklukan ketakutan kita dengan cara melahirkan naskah-naskah tulisan, karena dengan begitu, kita punya kesempatan menanam berlian di hati para pembaca kita.

Selamat menulis.

Post a Comment