Catatan Budaya MN Aba Nuen
Guru SMAN Kualin-Warga Desa Tuafanu


Di dalam 

Bukit-bukit karang membujur gundul

Rumput-rumput kering kuning

Berkarat


Ternak-ternak kurus menulang

Dikunyah angin kering kemarau

Terkapal di padang karat 

 

Penggalan di atas merupakan kutipan bait puisi Untukmu Lagu Cinta dari Pulau Timor, karangan Harijadi S. Hartowardoyo. Pilihan frasa karang gundul, rumput kering, ternak kurus, angin kering kemarau, memang terasa khas dengan gambaran Pulau Timor.  


Pulau Timor pada zaman kolonialisme, terbagi menjadi dua bagian yaitu Timor Timur dan Timor Barat. Wilayah Timur merupakan bekas kolonial Portugis  yang kini menjadi Negara Republik Demokratik Timor Leste. Sedangkan di bagian Barat adalah wilayah bekas pendudukan Belanda. 


Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan satu dari enam kabupaten yang ada di wilayah Timor Barat. Lima daerah otonom lainnya adalah Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), Belu dan Malaka. 


Etnis yang mendiami wilayah TTS disebut suku Dawan. Bahasa yang dipakai masyarakat sehari-hari adalah bahasa Dawan dan Melayu Kupang. Masyarakat Dawan, atau dalam bahasa lokal disebut Atoin Meto, memiliki beberapa ciri kultural yang khas.


Dua ciri khas utama yang mudah dikenali dari masyarakat Dawan, dalam interaksi sosial adalah kebiasaan mengenakan kain tenun daerah berupa selempang atau selimut, dan kebiasaan mengunyah campuran biji pinang (Areca Catechu), buah atau daun sirih (Piper Betle) dan bubuk kapur. 


Dalam bahasa Dawan, buah sirih disebut (Manus), biji pinang (Puah) dan kapur (Aoh). Kebiasaan mengunyah sirih pinang dinamakan Mamat. Pinang bisa dikunyah buah segarnya, juga irisan buah yang dikeringkan. Campurannya bisa buah sirih, atau daun segarnya plus kapur.


Tempat untuk menyimpan dan menyajikan cemilan ini bernama Oko Mamat. Umumnya Oko Mamat terbuat dari anyaman daun lontar yang diberi pewarna. Di dalam Oko Mamat, ada juga Kalat, tempat mengisi bubuk kapur. Kalat biasanya terbuat dari potongan bambu seukuran 1 dim, panjangnya sekitar 20 cm. 


Di TTS, kebiasaan mengunyah sirih pinang dilakukan para orangtua, remaja bahkan anak-anak. Sangat masif. Untuk keperluan saat mobilitas, setiap orang memiliki Alu Mama, tas kecil yang digantung di badan saat bepergian.


Selain untuk konsumsi sendiri, Oko Mamat portabel ini berguna ketika pemiliknya pergi bertamu atau berpapasan dengan kenalan, sanak keluarga, maka sambutan paling pertama adalah saling berbagi sirih pinang, kemudian mengunyah bersama.


Jika ada pihak yang kekurangan salah satu bahan, sirih, pinang atau kapur, maka akan dilengkapi dengan kepunyaan pihak lain saat pertemuan itu. Seketika, bibir mereka berubah merah merekah. Campuran sirih, pinang dan kapur setelah dikunyah memang menghasilkan residu berwarna merah pekat.


Perekat Relasi Sosial

Kebiasaan masyarakat Dawan mengunyah sirih pinang, menarik untuk dikaji dari perspektif social relationship. Sirih pinang memiliki nilai luhur dalam relasi sosial Suku Dawan, karena menjadi alat perekat dalam praktik take and give yang tulus dan tumbuh subur di kalangan akar rumput. Nilai saling memberi dan menerima dalam konteks ini mendapat kredit besar di tengah mencoloknya paham individualisme masyarakat modern. 


Sayf M. Alaydrus, Myrtati D. Artaria dan Chen Yao-Fong dalam riset mereka yang terbit di jurnal Universitas Airlangga (Unair) menyebutkan sirih pinang merupakan suatu tradisi yang merepresentasikan nilai-nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial yang berdasarkan nilai kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal seperti ini merupakan modal sosial, perekat relasi warga, dengan sirih pinang sebagai instrumen pentingnya.


Di tingkat komunitas, makna kebiasaan mengunyah sirih pinang jauh lebih besar. Ketika bertamu ke rumah orang misalnya, suguhan pembuka dari tuan rumah sebelum teh atau kopi adalah sirih pinang.


Di acara hajatan, pesta, kedukaan, jamuan pertama menyambut para tamu undangan, pastilah sirih pinang. Setelah jamuan makan, tanda pamit pun pun kembali dengan mengunyah sirih pinang.


Erna Suminar (2020) dalam kajiannya tentang simbol dan makna sirih pinang pada Suku Atoni Pah Meto di Timor Tengah Utara menulis, sirih pinang adalah pembuka komunikasi, dan sopan santun budaya. Suatu pertemuan tidak memiliki makna tanpa sirih pinang. Rasa malu dan perasaan bersalah akan dirasakan jika tidak tersedia sirih pinang dalam rumah, terutama jika ada tamu atau keluarga datang berkunjung.


 Selain sebagai pembuka komunikasi, sirih pinang menjadi bahasa simbol dalam setiap upacara-upacara adat dan juga memiliki sebagai simbol dalam komunikasi religius.


Dari perspektif komunikasi, sirih pinang memiliki peranan sebagai alat bantu dalam komunikasi untuk mengatasi konflik (memecah ketegangan dan kecemasan), juga komunikasi politik. Tanpa sirih pinang, komunikasi dengan pendekatan kultural dalam Suku Atoni Pah Meto akan mengalami kegagalan, ketersinggungan dan penolakan. Situasi yang tidak nyaman akan dihadapi para pemberi pesan dan penerima pesan dalam komunikasi saat mengabaikan ataupun tidak memahami simbol sirih pinang dalam komunikasi dengan pendekatan kultural pada Suku Atoni Pah Meto. 


Nilai sirih pinang sebagai simbol komunikasi perlu diketahui setiap orang atau komunitas yang akan menjalin kontak sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan dengan suku ini.


Fungsi sosial sirih pinang dalam kehidupan bermasyarakat kaum Atoin Meto, sangat nampak ketika warga menggelar hajatan seperti pesta pernikahan. Sebelum benar-benar sampai pada tahap pernikahan, keluarga kedua calon mempelai biasanya terlibat dalam satu pertemuan yang disebut Makan Sirih Pinang. Tujuan acara ini yaitu saling mengenal dan mengakrabkan sanak keluarga laki-laki dan perempuan.


Ketika hari pernikahan digelar, cara tuan pesta mengundang para tamu juga unik, yakni dengan mengirim paket sirih pinang kepada setiap calon undangan. Jika calon undangan menerima paket tersebut, maka undangan itu dianggap sah dan si penerima berkewajiban menghadiri pesta pernikahan. 

Pada konteks ini, masyarakat TTS meyakini, bentuk penghargaan terhadap sesama manusia lebih bernilai dengan perantara sirih pinang, bukan dengan undangan yang dicetak dengan kertas. 


Mengamati kebiasaan mengunyah sirih pinang oleh komunitas tempat tinggal saya di TTS, memberikan perspektif unik, bahwa tatanan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat kadang terbentuk oleh instrumen yang sulit dijelaskan secara ilmiah. 


Arti penting mengunyah biji pinang, sirih dan kapur bagi kaum Atoin Meto, tidak sekedar pemerah bibir, tapi bahan-bahan itu merupakan perekat hubungan sosial, yang membuat orang merasa sebagai satu kesatuan (unity), saling memberi dan menerima sebagai makhluk sosial. 


Alam Pulau Timor yang berkarang dan kering sebagaimana dilukiskan Harijadi S. Hartowardoyo di awal tulisan ini, sepertinya ditakdirkan untuk ditempati oleh orang-orang murah hati. Kebiasaan berbagi dan mengunyah sirih pinang yang tampak biasa saja di tengah masyarakat Dawan, sebetulnya mengandung nilai-nilai perekat relasi sosial antar warga.


 Solidaritas, empati, saling menghargai dan berbagi adalah contoh nilai yang justru semakin sulit diraih di era modern. Orang Timor beruntung, masih memiliki nilai-nilai tersebut dengan perantara sirih pinang. 


Referensi

Erna  Suminar, Simbol Dan Makna Sirih Pinang Pada Suku Atoni Pah Meto di Timor Tengah Utara, Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie 2020

https://unair.ac.id/konsumsi-sirih-pinang-di-indonesiamemperkuat-atau-membahayakan-kesehatan-gigi. Diakses pada 7 Agustus 2024.

https://www.kompasiana.com/madabanuen/ Diakses 8 Agustus 2024

Post a Comment