![]() |
Catatan MN Aba Nuen Warga Desa Tuafanu, Kec. Kualin Mengajar bahasa Inggris di SMAN Kualin |
Writing after all is nothing but speaking on the paper. Speaking is nothing but thinking out loud. Thinking is nothing but silent speech.
Menulis, itu ibarat berbicara di atas kertas. Ketika berbicara, seseorang sebenarnya sedang berpikir keras. Berpikir, sesungguhnya adalah berpidato secara diam-diam. Narasi ini menggambarkan, bagaimana otak manusia bekerja aktif, ketika sedang terlibat dalam aktivitas komunikasi menulis dan berbicara.
“Menulis itu, adalah berpikir.” Demikian kata Prof. Stella Christie, ketika ditanya apa pentingnya menulis oleh Andy F. Noya dalam Program Kick Andy di Metro TV edisi 5 Januari 2025. Prof. Stella, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, bercerita tentang pentingnya keterampilan menulis di Harvard University. Di Harvard, satu-satunya kelas yang wajib diikuti semua mahasiswa semester satu, yaitu kelas menulis.
Saya penasaran, kemudian menelusuri laman Harvard University. Benar, kampus top di Amerika ini mewajibkan para mahasiswa baru, untuk mengambil kelas menulis selama satu atau dua semester disesuaikan dengan kemampuan awal mahasiswa. Di kelas tersebut, setiap mahasiswa didampingi seorang instruktur, untuk membantu memantapkan kompetensi menulis.
Lantas, apa pentingnya menulis? Di era digital yang menuntut kecepatan dan kecermatan, menulis adalah keunggulan yang tak terbantahkan. Menulis dapat menjadi sayap, yang membawa seseorang terbang jauh ke relung hati para pembaca. Menulis, merupakan upaya memahami jiwa dan membangun fondasi intelektual yang kokoh.
Menulis dapat membuka jalan bagi komunikasi yang jernih dan mendalam. Menulis, juga membantu kita menata pikiran, menyampaikan ide, dan berbicara melalui kata-kata yang penuh makna. Menulis merupakan gerbang bagi setiap insan yang mendambakan kesuksesan.
Untuk alasan-alasan tersebut, sepanjang 2024 saya berkelana mengunjungi beberapa sekolah dan komunitas guru di Timor Tengah Selatan (TTS), untuk berbagi ilmu menulis. Perjalanan pertama ditempuh dari pesisir Selatan yang panas menuju wilayah dingin di Utara pada 21 Juni 2024.
Undangan SMA Negeri Tobu saya penuhi, untuk berbagi dalam sesi In House Training bertajuk peningkatan kapasitas literasi untuk guru-guru. Sesi berlangsung sehari penuh, dengan porsi materi teoritis 30%, sisanya diisi dengan praktik menulis oleh guru-guru. Fokus utama saya adalah menyentuh kepekaan para peserta, untuk menulis sebagai seorang guru. Maka lahirlah artikel-artikel praktik baik pembelajaran dan artikel popular bertema pendidikan.
Dari Tobu, saya lalu pulang untuk memoles keterampilan menulis rekan-rekan sejawat dalam ‘rumah’ di SMAN Kualin. Pada 27-29 Agustus, tim kami bekerja sangat serius untuk menggelar satu mahakarya di bidang kepenulisan. Persembahan tersebut saya namakan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah bagi guru dan tenaga kependidikan di SMAN Kualin.
Bersama dua fasilitator dari Kantor Bahasa Provinsi NTT dan Asosiasi Guru Penulis NTT, giat tiga hari itu adalah proses yang mahal. “ Saya beruntung, berada dalam circle kerja bersama orang-orang hebat, yang tulus berbagi bahkan mewadahi giat ilmiah untuk mengasah kemampuan menulis” tulis Dessy Natty dalam artikelnya Haruskah Guru Menulis?
Undangan berikut datang dari satu sekolah besar di Kota Soe. Pada 18 Desember 2024, saya menuju SMA Negeri 2 Mollo Selatan. Di sana, mereka merancang kegiatan Penguatan Kemampuan Literasi guru-guru selama dua hari. Seperti biasa, saya gunakan sejam untuk berbagi pengalaman menulis dan beberapa aspek teoritis, sisa waktu adalah milik para peserta untuk merasakan proses kreatif menulis.
Pintu sharing berikutnya dibuka oleh komunitas guru Biologi SMA di TTS. Ini keren sekali. Asumsi saya ketika menerima permintaan pengurus, ini tipikal guru pembelajar. Mereka tidak menutup diri pada fanatisme disiplin ilmu, tetapi mau mempelajari hal-hal baru yang mendukung profesi.
Memang benar, setiap bidang ilmu tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait. Yang menantang adalah, bagaimana membuat mereka saling terkoneksi. MGMP Biologi SMA TTS menyadarkan saya, tentang hakekat prinsip open mind bagi seorang guru di era, dimana seorang generalis cenderung lebih survive ketimbang spesialis.
Kesempatan lain datang menjemput di akhir Desember. Saya mengunci tahun dengan giat bersama guru-guru di SMK Negeri Pollen pada 28 Desember 2024. Saya mengisi satu dari dua hari kegiatan Peningkatan Kapasitas Literasi Guru-Guru. Saya suka atmosfir sekolah ini, terutama pada kuatnya semangat mereka untuk menulis.
Sang kepala sekolah menutup sesi itu dengan sebuah artikel yang menawan. Judulnya, Guru Penggerak, Terbangkan Saya ke Kota Malang. Ini adalah sebuah testimoni otentik, kisah perjalanan menempuh pendidikan guru penggerak yang mendatangkan banyak benefit.
Gerakan yang Berdampak
Rangkaian perjalanan berbagi ke beberapa sekolah di TTS, bagi saya adalah misi untuk menularkan keterampilan menulis kepada rekan-rekan guru. Misi tersebut hanya akan tercapai, jika dampaknya terukur. Apa ukurannya? Kemampuan menulis guru-guru. Sesederhana itu? Tidak juga. Butuh strategi dan sedikit pengorbanan.
Saya tidak pergi untuk berbicara di hadapan guru-guru. Saya hanya berusaha meyakinkan, bahwa mereka mampu menulis. Untuk itu, perlu saya siapkan wadah untuk menampung naskah tulisan mereka. Karenanya, dalam lima kesempatan sharing, saya panen naskah-naskah artikel karya para peserta.
Ke mana naskah-naskah itu akan berakhir? Puluhan tulisan praktik baik pembelajaran dan artikel pendidikan rekan-rekan guru, kini bisa dibaca di platform blog www.labmenulis.com. Piranti ini saya siapkan sebagai support system, laboratorium publikasi bagi rekan-rekan guru di TTS.
Seseorang disebut penulis, jika tulisannya dibaca oleh publik. Secara psikologi, penulis yang naskahnya terbit dan dibaca para pembaca, itu akan meningkatkan semangat dan motivasi menulis. Media publikasi, adalah sayap yang membawa ide-ide penulis ke pangkuan para pembaca.
Itulah mengapa, meski dengan media publikasi sesederhana blog pribadi, perangkat tersebut merupakan bagian vital dalam setiap gerakan berbagi yang saya lakoni. Ia menjadi alat edukasi,yang menurut saya mampu mengubah perilaku orang, yang tadinya tidak berminat menulis, akhirnya tertarik karena melihat tulisannya bertebaran di dunia maya.
Pada titik ini, saya agak getir melihat banyak sekolah mengundang praktisi yang datang ‘berpidato’ sepanjang hari, dan pulang senyum-senyum dengan honor dari sekolah. Ini bukan gerakan yang berdampak, karena tidak mengubah apapun.
Melatih orang menulis, mesti dengan cara menulis, bukan dengan berbicara. Jika caranya seperti ini, menulis akan tetap menjadi jalan sunyi, yang tidak banyak diminati. Pada hal, murid-murid membutuhkan keteladanan dan inspirasi dari guru-guru mereka.
Posting Komentar