Foto: www.pengadaan barang dan jasa.co.id

Namanya Debi Bansole, lahir sebagai putri tunggal dari pasangan petani lahan kering di Timor Barat. Ia adalah anak ke-4 dari 5 bersaudara. Tiga dari empat saudara laki-lakinya sudah berkeluarga, satu adik bungsunya saat ini duduk di kelas VI SD. Debi terlahir difabel sebagai penderita ukuran tubuh yang kerdil (dwarfisme). Semua saudaranya memiliki ukuran tubuh normal. Hingga menapaki usia 15 tahun, tinggi badan Debi mencapai 98 cm dan berat 11 kg. 

Rabu, 22 Juli 2020, Debi tampak bahagia menerima bantuan biaya dari Program Indonesia Pintar (PIP) tahap I sebesar Rp.500 ribu di sekolahnya, SMA Negeri Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan-Nusa Tenggara Timur (NTT). Dana ini sangat berarti, di tengah upaya keluarga mewujudkan mimpi Debi tamat dari jenjang sekolah menengah atas. Mimpi Debi sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarga yang bersekolah hingga jenjang SMA, merupakan antitesis dari kondisi keluarga yang mana kedua orangtuanya hanya tamatan SD, ketiga kakak laki-lakinya justru drop out dari bangku SD. Kondisi seperti Debi dan keluarga sangat masif dialami banyak keluarga kawasan rural di NTT. Jeratan kemiskinan ekonomi memicu trickel down effect pada keterbatasan akses warga terhadap layanan hak-hak dasar, termasuk pendidikan. 

Untuk mengatasi situasi demikian, salah satu sektor yang diyakini mampu menjadi exit strategy  adalah pendidikan. Pendidikan dengan out put sumber daya manusia berdaya saing, akan berdampak pada perubahan pola pikir, pembentukan kompetensi dan karakter manusia. Ketiga aspek terakhir merupakan out come  pendidikan, yang dapat membantu manusia keluar dari lingkar kemisikinan yang dihadapi. 

Korelasi antara upaya pengentasan kemiskinan dan pendidikan sebagai solusi dapat terlihat dari komitmen pemerintah di bidang anggaran. Di tingkat pusat, alokasi anggaran pendidikan di APBN dalam lima tahun terakhir patuh pada mandat  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas  memerintahkan bahwa anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD. 

Porsi anggaran pendidikan di APBN sesuai data Kementerian Keuangan selalu dalam tren meningkat sejak 2016 sebesar Rp.370,8 triliun, 2017 Rp.406,1 triliun, 2018 Rp.431,7 triliun, 2019 Rp.478,4 triliun dan 2020 Rp.508,1 triliun. Tahun 2020, nilai anggaran pendidikan yang bersifat direct flow kepada peserta didik sebagai beneficaries melalui pos kartu Indonesia pintar  (KIP) SD/SMP/SMA sederajat ditargetkan sebesar Rp.11.1 triliun untuk 20,1 juta siswa, (www.kemenkeu.go.id) dan alokasi program keluarga harapan (PKH) sebesar Rp.37,4 triliun untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (www.setkab.go.id).  Selain itu, terdapat dukungan anggaran pendidikan dari pos seperti Bantuan Operasional Sekolah yang ditargetkan mencapai Rp.64,0 triliun untuk 54,8 juta siswa atau 271 ribu sekolah umum/madrasah, pembangunan atau rehabilitasi ruang kelas mencapai Rp.14,5 triliun, serta BOP PAUD mencapai Rp.7,4 triliun (www.kemenkeu.go.id). 

Data ini menunjukan komitmen besar pemerintah pusat dalam memacu peningkatan sumber daya manusia, sebagai bagian dari upaya memerangi kemiskinan melalui pendidikan sebagai pintu masuknya.  Di masa pandemi Covid-19 dan pelambatan ekonomi pada semester pertama 2020, penting untuk menjamin ketersediaan anggaran pemerintah untuk menggerakan sektor-sektor penting seperti pendidikan.  Anggaran bidang pendidikan menjadi salah satu sektor yang tidak mengalam pemotongan dalam upaya besar pemerintah memerangi Covid-19. Sekali lagi, ini bukti komitmen dan konsistensi pemerintah pusat dalam upaya membangun sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas.  

Bagi keluarga miskin seperti Debi Bansole, ketersediaan anggaran pendidikan yang memadai di APBN merupakan  jaring pengaman untuk mencegah anak-anak tidak drop out dari sekolah.  Bulan Maret hingga Mei 2020 adalah periode yang sulit secara ekonomi. Menyekolahkan anak dengan bersandar pada penjualan jagung, ubi kayu, asam dan ternak ayam, babi di pasar mingguan desa yang tutup selama tiga bulan itu, membuat para orangtua tidak memiliki penghasilan yang cukup. Pasar mingguan sebagai akses utama warga pada peredaran uang tunai, ditutup sejak Maret hingga Mei.  Kondisi demikian tentu saja menyulitkan, saat menyambut tahun pelajaran baru dan menyediakan kebutuhan seragam, buku dan biaya transport anak-anak. Pada tahap ini, intervensi program seperti PIP dan PKH untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak sangat dirasakan manfaatnya. 

Harmonisasi APBN dan APBD

Namun demikian, komitmen  pemerintah pusat memajukan sektor pendidikan belum diikuti hirarki di bawahnya.    Tidak semua pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia melaksanakan kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dalam APBD sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pada 2016, secara nasional hanya provinsi DKI yang mengalokasikan APBDnya 22.3% untuk pendidikan. Alokasi APBD  murni untuk pendidikan terendah ada di Papua 1,4%, Jatim 1.7%, Sumsel 2%. Kalimantan Utara 2,2% dan Papua barat 2,3% (www.antaranews.com, 1/4/2017).

Sebagai gambaran, di NTT, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Neraca Pendidikan Daerah (NPD), pada 2016 total APBD provinsi NTT adalah Rp.3.898,6 miliar. Alokasi anggaran pendidikan dalam APBD di luar transfer daerah dan dana BOS adalah Rp.69,95 miliar atau hanya 2,7%, naik tipis dari 2,2% pada 2015.  Jika dikonversikan dalam tanggungan untuk siswa, maka APBD Provinsi NTT 2016 hanya setara dengan Rp.51.800 per siswa per tahun. Sebagai informasi, di tahun yang sama DKI Jakarta mengalokasikan 22.3% atau Rp.12.221,1 miliar APBDnya untuk pendidikan dari total APBD Rp.59.945,5 miliar. Artinya, estimasi tanggungan per siswa per tahun sebesar Rp.7.881.500. Meskipun kemampuan keuangan NTT kalah segalanya dari DKI Jakarta, tetapi harusnya gap alokasi anggaran pendidikan tidak sampai sebesar itu, mengingat NTT harus mengejar ketertinggalan sumber daya manusia, dan investasi dibidang pendidikan sebetulnya menjadi salah satu solusi. 

Di level kabupaten/kota, jika mengambil Kota Kupang sebagai sampel dengan asumsi APBDnya tertinggi dari kabupaten lain, dari total APBD Kota Kupang sebesar Rp.1,01 triliun hanya Rp.17 miliar atau sebesar 1,68% yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan. Sedangkan alokasi dari APBN sebesar Rp. 390 miliar untuk 5.428 guru, 85.037 siswa atau sekitar 75.328 anak usia 7-18 tahun, dan untuk 243 sekolah. NPD Kota Kupang justru berada di bawah Kabupaten baru, Malaka yang mengalokasikan APBD sebesar 23,88%.  Kabupaten Sumba Tengah juga lebih baik karena mengalokasikan 8,43% dibandingkan Kota Kupang sebagai barometer keberhasilan pembangunan di NTT. Kota Kupang juga hanya menganggarkan Rp.200.500 per siswa per tahun. Angka ini kalah dengan kabupaten baru lainnya seperti Sabu Raijua yang mengalokasikan Rp.1.440.300 per siswa per tahun dan Malaka sebesar Rp.2.729.800 per siswa per tahun,( www.zonalinenews.com 8/04/ 2016).

Dalam konteks NTT, menurut etnolog Australia James Fox, NTT membutuhkan investasi besar disemua sektor ekonominya, dan investasi yang akan membuahkan hasil terbesar adalah komitmen semua pihak untuk meningkatkan pendidikan diberbagai jenjang (Laporan SMERU, 32;2009). Fox juga menganjurkan kepada warga NTT yang berada di NTT maupun dalam diaspora untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan mengembalikan budaya pendidikan. "Tidak bisa lain harus melalui pendidikan," ujarnya.

Data yang dirilis BPS NTT pada 2020 menunjukan persentase penduduk miskin di NTT pada Maret 2020 sebesar 20,90, menurun 0,9 persen dibanding kondisi pada Maret 2019. Akan tetapi secara jumlah, penduduk miskin NTT pada Maret 2020 sebesar 1.153,76 ribu orang justru meningkat 7,44 ribu jiwa dibanding kondisi pada Maret 2019 sebanyak 1.146,32 ribu jiwa. Angka ini meningkat 12,21 ribu orang dibanding keadaan pada periode  September 2018. Pada periode September 2018-Maret 2019, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan mencapai 24,91 persen, sementara wilayah perkotaan mencapai 8,84 persen. Dari sisi demografi, sebaran penduduk NTT memang sebagian besar berada di daerah pedesaan. Angka BPS NTT pada 2018 tercatat penduduk di wilayah pedesaan mencapai 78,13 dari jumlah keseluruhan penduduk NTT. 

Masih menurut data BPS, rata-rata lama sekolah di NTT pada 2018 masih berada pada angka 7,3, berada di bawah angka nasional yang mencapai 8,17. Artinya secara rerata, penduduk NTT yang berusia 25 tahun menempuh pendidikan selama 7,3 tahun atau menamatkan kelas VII, (tamat SMP kelas VII), (opini Leonar Do Da Vinci di florest post 12/8/2019). Data ini mencemaskan, untuk generasi dan masa depan NTT. 

Statistik tersebut harus menjadi bacaan penting pemkab/pemkot dan kalangan legislatif daerah. Data ini dapat menjadi dasar kedua otoritas itu mengambil langkah harmonisasi anggaran pendidikan daerah, agar selaras dengan komitmen pemerintah pusat dalam pos anggaran pendidikan 20% di APBN. Nilai alokasi anggaran yang pro pendidikan baik dalam APBN maupun APBD, di tengah ikhtiar pemulihan ekonomi nasional, mengandung beberapa pesan positif berikut.

Pertama, platform anggaran pendidikan 20% yang sinkron antara APBN dan APBD  sebagaimana amanat undang-undang, akan membantu upaya akselerasi pemerataan kualitas pendidikan secara nasional. Untuk wilayah seperti NTT, kecukupan anggaran secara kuantitatif, disertai pemanfaatannya dengan intervensi program pendidikan yang tepat guna, komitmen itu akan memangkas disparitas kesenjangan kualitas pendidikan NTT dengan wilayah di pulau Jawa.     Kedua, dari perspektif pendidikan berbasis hak anak, ketersediaan anggaran pendidikan yang memadai di APBN akan menumbuhkan optimisme kaum difabel seperti Debi Bansole, agar bisa menggapai pendidikan setinggi-tingginya, sejajar dengan anak-anak normal lainnya. Sepanjang periode bencana non alam virus Corona sejak awal 2020, jaminan anggaran pendidikan di APBN merupakan perangkat mitigasi yang ampuh untuk mencegah banyak anak Indonesia putus dari bangku sekolah. Ketiga, meski kondisi ekonomi nasional sedang lesuh akibat pandemi, intervensi pemerintah melalui anggaran pendidikan yang cukup adalah bukti kehadiran negara dalam menjamin hak setiap warga negara, untuk mendapat pendidikan yang layak sesuai amanat pasal 31 UUD 1945. Keempat, kecukupan anggaran pendidikan secara nasional maupun daerah akan menjamin keberlanjutan upaya menyiapkan sumber daya manusia Indonesia unggul di era revolusi industri 4.0. 

Post a Comment