Ilustrasi ritual adat di Koke Bale. Foto: fanpage FB bimbingan belajar KODA Adonara

Selain alasan ekonomi sebagai faktor pendorong (push factor), hal penting lain dibalik “eksodus” perantau Adonara ke Malaysia adalah internalisasi nilai-nilai budaya dalam prosesi merantau. Merantau bukan perjalanan biasa, tetapi ada sejumlah aspek budaya yang terlibat di dalamnya. 

Sebagai contoh sebelum seseorang memutuskan untuk merantau, ada proses musyawarah mufakat (marin oneket) yang dilalui di tingkat keluarga untuk memutuskan, misalnya di antara anak-anak dan orangtua, siapa yang diutus untuk pergi merantau. 

Proses tersebut menandakan, bahwa merantau adalah keputusan kolektif, bukan individual. Karena merupakan keputusan kolektif di ranah keluarga, sejumlah tanggungjawab besar akan diemban oleh anggota keluarga yang terpilih untuk diberangkatkan. 

Tanggungjawab secara ekonomi tidak hanya tertuju kepada keluarga, tetapi juga pada tingkat komunitas (klan), atau bahkan lewotanah (kampung halaman). “Pana tai seba sen tou rua taan moripet si uma lango, raine taan tulun tali suku ekan, taan gelekat lewo bale nara.” (Pergi merantau untuk mencari sesen dua sen sebagai penopang hidup, sisanya untuk membantu kekurangan dalam lingkaran kerabat dan membangun kampung halaman.) Bagi setiap perantau Adonara, ungkapan ini merupakan cambuk pelecut semangat dan mampu melipatgandakan etos kerja di tanah rantau. 

Selain itu, sebagai sumber kekuatan dalam kultur merantau, orang Adonara juga berpegang teguh pada eksistensi instrumen lain seperti, Rera Wulan-Tanah Ekan (Tuhan pencipta langit dan bumi), para leluhur, tetua adat, koke bale (rumah adat), dan lewotanah (kampung halaman). Dalam artikelnya, Meningkatkan Taraf Hidup lewat Merantau di Kompas.com 14/12/2012, Kornelis Kewa Ama menggambarkan pentingnya ikatan emosional antara seorang perantau dengan instrumen-instrumen tersebut. 

Bagi seorang perantau Adonara, menempatkan instrumen-instrumen tersebut sebagai kekuatan penyerta dan pelindung tidak terbatas pada level pemahaman, tetapi juga pengamalannya. Doa syukur sebelum keberangkatan, ziarah ke makam leluhur, meminta restu tua adat dan komitmen menjadikan perjalanan merantau sebagai jalan gelekat lewotanah, ini semua adalah bentuk pengamalan yang akan melapangkan jalan dari hambatan, mendatangkan rezeki dan menghindarkan seorang perantau dari hal buruk selama di tanah rantau.

 Secara verbal, kita mengenal beberapa ungkapan sakti yang biasa diucapkan setiap perantau, misalnya ina ama pana molo pepa raran, go gawe dipelelet (para leluhur menuntun jalan, saya melangkah dengan lapang) dan pana kai seba urupia, balik kaan gelekat lewotanah (saya pergi mencari rezeki untuk membangun kampung halaman). Ungkapan seperti ini merupakan sumber kekuatan dan dicirikan dalam karakter berani dan  daya juang tinggi para perantau Adonara. Di manapun seorang perantau Nusa Tadon berada, dia selalu survive.

Kedalaman makna nilai-nilai budaya Lamaholot tersebut, jika dipedomani secara sungguh-sungguh, ia akan menjadi semacam Dewi Fortuna yang selalu melindungi. Ini seperti invisible power (kekuatan tak nampak) yang sulit dipisahkan dalam filosofi merantau orang Adonara. 

Untuk konteks ini di masa lalu hingga kini,   kita jarang mendengar para perantau Adonara menjadi korban aktifitas perdagangan orang (human trafficking), disiksa atau dibunuh majikan di Malaysia, kecuali persoalan dokumen keimigrasian

Baca juga : Meneropong Kultur Merantau Orang Adonara ke Malaysia ( Bagian Pertama)

Studi-studi tentang Adonara dan Lamaholot cenderung mengakui, bahwa faktor ekonomi telah mendominasi alasan banyak orang merantau ke Malaysia, tetapi belum banyak yang mendalami dimensi budaya di balik kultur merantau masyarakat Adonara dan Lamaholot pada umumnya. Keyakinan terhadap kekuatan nilai-nilai budaya di lubuk hati para perantau, ibarat hiden factor yang belum banyak diungkap, apa lagi oleh para peneliti luar. 

Foto udara pusat Kecamatan Witihama, tampak Mesjid Besar At-Taqwa dan Gereja Maria Pembantu Abadi Witihama. Foto: Anselmus Boby LN

Multi Efek Kultur Merantau dalam Perspektif Gelekat

Sebagai gambaran pada skala nasional, laporan Bank Dunia pada 2017 seperti dikutip katadata.co.id, 19/07/2019 menyebutkan pekerja migran Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap kehidupan keluarga dan juga perekonomian nasional. Kontribusi terbesar dalam bentuk remitansi. Remitansi adalah uang yang dikirim oleh para pekerja dari negara tempatnya bekerja kepada keluarga di Indonesia. Sekitar 80% keluarga para perantau memanfaatkan dana remitansi untuk memenuhi kebutuhan pokok, pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan. 

Dalam sejumlah studi tentang Adonara atau komunitas Lamaholot pasca kemerdekaan, hampir sebagian besar menyinggung tentang dampak kultur merantau orang Adonara di Malaysia dalam kehidupan keluarga dan dinamika pembangunan di kampung halaman para perantau. Laporan penelitian Torry Kuswardono dan Oddy Messakh tentang Status Pemenuhan Hak Dasar di Pulau Adonara dan Solor pada 2010, menggambarkan tradisi merantau keluarga di Adonara dan Solor yang umumnya melibatkan kaum pria. Fenomena ini sangat berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga yang digerakan oleh transmisi dana-dana yang dikirim para perantau, (hal.11).

Studi RH. Barnes berjudul A Legendary History in Witihama, Eastern Adonara tahun 2007 juga menyebutkan dalam bagian awal laporannya, “a very important contribution to the economy derives from those who have migrated to other parts of Indonesia and to Malaysia to seek wage labor.” Kontribusi yang sangat penting terhadap ekonomi datang dari mereka yang pergi ke wilayah lain di Indonesia dan Malaysia untuk mencari pekerjaan upahan, (hal 1). 

Multi efek kultur merantau orang Adonara di Malaysia, memiliki dampak penting setidaknya terhadap tiga sektor kehidupan yaitu, ekonomi, pendidikan dan pembangunan sosial kemasyarakatan. Secara kasat mata, indikator dampak dapat diamati dari peningkatan kualitas kehidupan keluarga perantau di Adonara, serta dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam komunitas/kampung para perantau. 

Pertama, dampak yang paling mencolok dirasakan pada sektor ekonomi. Tanggungjawab para perantau terhadap keluarga yang ditinggalkan di kampung ditunjukan secara konsisten melalui kiriman uang yang disisihkan dari upah bulanan. Pada tahun 1980an-1990an, aliran dana atau remitansi para perantau ke Adonara  selain melalui transfer bank, mereka juga menitipkan kiriman uang tunai untuk keluarga di kampung, melalui kerabat atau kenalan yang kembali dari Malaysia.

Suasana pelabuhan Waiwerang. Foto: visitadonara.wordpress.com


Dalam artikelnya di Kompasiana, 23/2/2012 berjudul Sabah, Halaman Belakang Warga Lamaholot, Rahman Sabon Nama membeberkan beberapa fakta menarik tentang nilai simpanan bank para perantau Adonara di beberapa bank. Data bank rakyat Indonesia (BRI) dan bank negara Indonesia (BNI) Waiwerang tercatat pada 2011, nilai tabungan para perantau di kedua bank tersebut mencapai Rp. 30 miliar. Di tahun yang sama, data BRI Unit Waiwadan mencatat akumulasi simpanan para perantau sebesar Rp.7 miliar.  

Nilai remitansi itu belum termasuk transfer melalui bank di Larantuka, kantor pos, kiriman tunai yang dititipkan kepada kerabat atau kenalan, serta biaya pendidikan yang biasanya langsung dikirim kepada anak atau kerabat yang sedang berkuliah di kota-kota di Jawa dan Sulawesi. Remitansi dalam bentuk barang-barang berharga (perhiasan emas, barang elektronik ) yang dibawa dari Malaysia juga memiliki nilai ekonomis yang patut dihitung. 

Untuk skala Flores Timur, pada tahun 1997, menurut Titu Eki yang menggunakan estimasi seorang pejabat Kantor Dinas Tenaga Kerja di Larantuka, menyebutkan “the amount remitted in 1997 was more than four times higher than the local government budget (PAD) of Eastern Flores in 1996/1997 which only Rp.1.036.8 million. Moreover this remittances  were equivalent to 22.3% of total PAD in the province of NTT as the whole in the same year.” (Titu Eki, 2002:257). “Jumlah remitansi pada 1997 empat kali lebih besar dari pendapatan asli daerah Flores Timur yang hanya sebesar Rp. 1,036.8 juta pada 1996/1997. Bahkan nilai remitansi itu setara dengan 22.3% dari total PAD  provinsi NTT dalam tahun yang sama, (Titu Eki, 2002:257).  

Pemanfaatan dana remitansi secara fisik dapat kita lihat, misalnya untuk pembangunan rumah para perantau di Adonara. Secara umum, pada periode 1980an, rata-rata rumah warga di Adonara terbuat dari dinding bambu dan atap ilalang. Transformasi besar mulai tampak pada 1990an, saat di mana banyak rumah permanen dibangun dengan aliran dana dari perantauan. Pada masa itu, di Adonara, ciri khas rumah perantau Malaysia itu ditandai dengan alunan musik slow rock penyanyi melayu diputar dari tape deck atau VCD, yang dibawa langsung dari Malaysia.

Studi lain yang dibuat Colin Barlow dkk (1990), seperti dikutip Titu Eki memaparkan pemanfaatan dana remitansi untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga di kecamatan Ile Boleng . “Water was the major problem for the people of Ile Boleng of East Adonara who inhibit the high slopes of the most recently erupted volcano, Ile Boleng. However, by utilizing the remittances sent from Sabah, some families have already built rainwater catchment tanks to supply their daily water consumption needs”, (Titu Eki, 2002:58). “Air bersih adalah masalah utama bagi masyarakat Ile Boleng Adonara Timur yang mendiami wilayah lereng gunung api Ile Boleng. Akan tetapi, berkat dana kiriman dari Sabah, sejumlah keluarga telah membangun bak penampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Data-data tersebut menunjukan kepada kita, aliran uang tunai (cash flow) dan barang berharga dari para perantau di Malaysia masuk ke Adonara sangat signifikan. Keluarga di kampung menggunakan uang kiriman itu untuk ragam tujuan, misalnya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, pendidikan, investasi, urusan adat dan membangun rumah.

Kedua, dampak dibidang pendidikan. Menurut perspektif penulis, kultur merantau orang Adonara memiliki kontribusi penting, dalam upaya membangun sumber daya manusia (human resource) Adonara dalam jangka panjang. Di Malaysia, sebagian besar perantau kita berstatus pekerja informal. Umumnya mereka bekerja di sektor konstruksi, perkebunan, pertanian, manufaktur, dan rumah tangga. Namun di belakang mereka, terdapat saudara atau kerabat yang sedang berkuliah atau bersekolah dibiayai dari uang kiriman para perantau itu. Inilah investasi yang menurut saya paling berharga, karena ini merupakan salah satu exit strategy untuk memutus mata rantai kemiskinan dalam lingkar keluarga dan masyarakat. 

Kita tahu sejak dulu hingga sekarang, mahasiswa Adonara tersebar di sejumlah kota seperti; Malang, Jogyakarta, Surabaya, Jakarta, Makasar, Kupang dan sebagainya. Banyak di antara mahasiswa ini dibiayai dengan aliran dana dari orangtua atau kerabat yang bekerja di Malaysia. 

Dalam teori perubahan sosial, fenomena ini unik. Eksistensi para perantau informal kemudian berkontribusi pada lahirnya gelombang perantau intelektual dalam diri para mahasiswa ini. Sayangnya, kita tidak punya data akurat tentang jumlah mahasiswa yang dibiayai dari dana remitansi ini. 

Tanpa data, kita seperti lupa bahwa dengan skema pembiayaan seperti ini, orang Adonara  sesungguhnya sedang terlibat dalam sebuah transfomasi besar di sektor ketersediaan sumber daya manusia. Para perantau itu ingin agar anak mereka kelak menjadi sarjana, lalu bekerja di kantor atau menjadi wirausahawan. Perspektif ini dalam bahasa lain berarti Adonara harus punya ketersediaan sumber daya manusia memadai, terutama di bidang pekerja formal. 

Relasi antara kultur merantau orang Adonara dan pembiayaan pendidikan, pernah saya ulas di website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Januari 2019, dengan judul  Pengentasan Kemiskinan dan Buta Huruf Ala Masyarakat Adonara NTT. Tulisan itu memprofilkan sosok seorang ibu single parent di Kecamatan Witihama.    Ina Kidi (54 tahun) punya dua anak, masing-masing seorang laki-laki dan perempuan.

 Sebagai petani lahan kering, tidak pernah terpikir olehnya bahwa kedua anaknya kelak akan bersekolah sampai meraih gelar sarjana. Martina (28) anak pertama adalah lulusan Sekolah Tinggi Pelayaran di Makasar dan kini bekerja di Jakarta dan sang adik Martin (25), alumni Jurusan Kesehatan Lingkungan pada Politeknik Kesehatan Negeri Kupang, saat ini mengabdi di sebuah Puskesmas di Adonara. 

Kisah sukses dalam tulisan itu ingin mempromosikan kiat keluarga di Adonara, dalam membangun skema penggalangan dana untuk pendidikan (fund raising), dengan salah satu anggota keluarga bekerja di Malaysia.  Hasil upah disisihkan dan dikirim ke kampung untuk membiayai anggota keluarga lain yang didorong untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini pula yang terjadi pada keluarga Ina Kidi . Sepeninggal ayahanda, Ina Kidi hidup bersama ibu dan adik perempuannya, Ina Hunu (45). Pada tahun 2000, disepakati, sang adik berangkat merantau ke Malaysia, sementara Ina Kidi tetapi di kampung menemani dan merawat sang mama. Sang adik inilah sponsor utama pembiayaan sekolah hingga kuliah kedua anak Ina Kidi. 

Model sponsorhip seperti ini hampir dilakukan 8 dari 10 keluarga di Adonara, sejak dulu hingga kini. Hasilnya, banyak individu yang bekerja sebagai pegawai negeri, dosen, polisi, tentara, perawat, guru, dan banyak profesi lain, sukses dari jeri payah orangtua atau kerabat yang bekerja di Malaysia. Pada titik ini, perantau Adonara telah ikut berkontribusi mencetak banyak kaum intelektual Adonara. Pada bagian tertentu, di tangan kaum intelektual inilah,   peradaban Adonara dibangun. Sumbangan pikiran (gelekat) setiap individu, yang menulis tentang Adonara dari beragam dispilin ilmu dalam buku ini adalah salah satu bentuk konkritnya. 

Ketiga, dampak kultur merantau terhadap dinamika pembangunan di lewotanah para perantau. Jauh di mata, dekat di hati. Ungkapan ini seperti menancap di kedalaman pikiran dan hati para perantau terhadap kampung halaman. Perasaan itu lantas diwujudkan dengan komitmen gelekat para perantau yang dipersembahkan untuk lewotanah dari tanah rantau. Kontribusi mereka sangat nyata dalam geliat pembangunan fasilitas umum desa maupun bidang kerohanian. 

Pada era 1990an di Kecamatan Witihama, hampir semua desa melibatkan warganya di perantauan, termasuk di Malaysia dalam kegiatan pembangunan desa.  Pembukaan jalan desa, pembangunan kantor balai desa, bak penampung air, semuanya menyertakan sumbangan dana para perantau. Secara kolektif mereka dengan tulus mengirim sumbangan pembangunan ke kampung dalam jumlah yang besar, tanpa paksaan. Saya ingat betul, momentum perayaan tahun baru yang biasanya dirayakan semua warga desa di kantor balai desa. Pada kesempatan itu, kepala desa dalam laporan tahunan, melaporkan daftar penyumbang dan jumlah dana pembangunan desa yang berasal dari Malaysia. 

Pengamalan filosofi gelekat para perantau di Malaysia juga ditunjukan dalam pembangunan rumah ibadah. Sebagai contoh, Mesjid besar At-Taqwa Witihama yang berdiri kokoh di jantung kecamatan Witihama adalah buktinya. Pada era 1980an-1990an, perantau Witihama di Malaysia, baik Islam maupun Katolik bahu membahu ikhlas mengirim sumbangan pembangunan. Dugaan saya, praktek ini juga terjadi di wilayah lain di Adonara.  

 Antara Adonara dan Malaysia, para perantau hebat Nusa Tadon sejak dulu hingga kini, telah membuktikan nilai gelekat mereka setidaknya dalam dua dimensi penting. 

Pertama, para perantau di Malaysia turut hadir menjadi aktor utama melimpahnya ketersediaan sumber daya manusia Adonara, dulu hingga sekarang. Dana remitansi telah menghasilkan ribuan sarjana, master, bahkan doktor anak Adonara.  Tentang arti penting pendidikan, James Fox, etnolog Australia yang banyak menekuni studi tentang NTT menulis “Jika memang ada ciri budaya yang umum di sebagian besar wilayah NTT,  pastilah ciri budaya itu adalah penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan kemauan untuk menggapainya di manapun berada,” demikian Fox dalam artikelnya, Perspectives on Development in NTT  (Laporan SMERU, 32:2009).  

Kedua, kontribusi gelekat secara fisik dalam aktifitas pembangunan, baik di tingkat rumah tangga, urusan pembangunan desa dan rumah ibadah. Rasanya tidak berlebihan, untuk mengatakan wajah Adonara saat ini separuhnya ditentukan oleh jerih payah para perantau di Malaysia. Rumah permanen warga nan indah, jalan desa, dan gedung kantor balai desa yang megah adalah beberapa indikator sederhana. 

Semua kontribusi gelekat para perantau tersebut dilakukakan karena kuatnya ikatan emosional mereka dengan lewotanah, sebagai salah satu instrumen utama yang melandasi keputusan seseorang pergi merantau.  Gelekat lewotanah adalah wujud nyata penghargaan tertinggi seorang perantau kepada “akarnya”, tempat ia berasal. 

oleh M.N. Aba Nuen

Artikel ini pernah tayang di eposdigy.com, edisi 27/7/2020


Post a Comment