Foto: Yayasan Epu Orin

Kemajuan yang dicapai di pulau Adonara saat ini, tidak lepas dari dampak sebuah tradisi turun-temurun sepanjang hampir seratus tahun, yakni merantau. Bagi masyarakat Adonara dan entitas Lamaholot lain  di Flores bagian timur, Solor dan Lembata, merantau adalah sebuah kultur yang melekat pada lintas generasi

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, terminologi merantau diartikan sebagai bepergian ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu dan sebagainya. Orang yang melakukan perjalanan itu disebut perantau. Makna ini sangat relevan dengan fenomena massif, sebaran orang Adonara yang menetap di berbagai tempat, baik di wilayah nusantara, maupun di luar negeri. Secara kasat mata, umumnya kondisi tersebut dipicu oleh dua faktor, bekerja dan menuntut ilmu. 

Artikel ini ingin meneropong kultur merantau orang Adonara, yang memilih negeri melayu, Malaysia sebagai tujuan mengais pundi-pundi Ringgit. 

 Persisnya, kajian ini hendak membidik, pertama, sejarah singkat dan bagaimana para perantau Adonara menjadikan nilai-nilai budaya lokal Lamaholot sebagai basis pilihan untuk merantau. Kedua, menggali multi efek budaya merantau itu dari perspektif gelekat lewotanah (membangun kampung halaman), terhadap dimensi ekonomi dengan dampak turunan pada taraf hidup dan kesejahtraan, pendidikan, serta sosial kemasyarakatan. 

Dalam bahasa sederhana, tulisan ini akan menggambarkan, seperti apa cara para perantau Adonara mengaplikasikan filosofi gelekat lewotanah  dalam lubuk hati mereka, dari tanah rantau. 

Para perantau Adonara sejak dulu tersebar di berbagai belahan bumi, misalnya Malaysia, Jawa, Batam, Kalimantan, Papua dan sebagainya. Penulis sengaja memilih Malaysia, terutama karena negeri ini merupakan idola para perantau dalam jumlah yang besar secara kuantitas, dan dijadikan tempat mengais rezeki selama berpuluh-puluh tahun.   

Tidak banyak literatur yang dapat menjelaskan angka pasti jumlah perantau Adonara di Malaysia dari dulu hingga kini, dan sejak kapan persisnya tradisi ini dimulai. Tetapi dari sejarah lisan, konon orang Adonara dan Lamaholot pada umumnya sudah merantau ke Sabah--Malaysia Timur sejak puluhan tahun silam, ketika di Malaysia masih mengenal zaman British

Hal ini dibuktikan dengan istilah ‘teken British” (merantau di zaman British). Term ini populer di era 1980-an untuk mengacu pada generasi tua, yang merantau berpuluh tahun sebelumnya dan sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia hingga kini.   

Baca juga: Falsafah Gelekat, Nilai Budaya dan Multi Efek Kultur Merantau Orang Adonara (Bagian Kedua)

Sementara itu secara tertulis, salah satu sumber  yang bisa mengkonfirmasi kultur ini dapat ditemukan dalam disertasi doktoral Ayub Titu Eki, International Labour Emigration From Eastern Flores Indonesia to Sabah Malaysia: A Study of Patterns, Causes and Qonsequences  di Universitas Adelaide-Australia tahun 2002. 

Untuk menjelaskan gambaran umum migrasi pekerja suku Lamaholot ke Malaysia, Titu Eki mengutip Graeme Hugo (1998) yang menyebutkan “the particular emigration may have originated with the retreating Japanese forces in the second World War, taking some men from East Flores to Sabah where they were stranded after the war. These men gained work and served as anchors for subsequent chain migrant from East Flores to Sabah.

 “Migrasi tertentu dimulai saat kekalahan pasukan Jepang pada perang dunia kedua, dan membawa sejumlah orang dari Flores Timur ke Sabah, di mana mereka akhirnya tertahan di sana. Orang-orang ini lalu bekerja, dan menjadi perantara rantai migrasi berikutnya dari Flores Timur ke Sabah.”

Mengacu pada afiliasi Jepang dengan blok poros dalam Perang Dunia II dan kekalahan masif pasukan Jepang pada periode 1944-1945, maka dapat diasumsikan kultur merantau orang Adonara dan etnis Lamaholot lain hampir sama umur dengan kemerdekaan Republik Indonesia. 

Masih menurut Hugo, pakar Geografi Australia itu kemudian membagi gelombang migrasi perantau Flores Timur ke Sabah dalam tiga tahap, pertama; migrasi kaum pria dalam jumlah terbatas pada periode 1940an-1960an. Kedua, periode 1970an--awal 1980an sebagai tahap perluasan, yang mana migrasi kaum pria mulai mengikutsertakan para perempuan (istri/kerabat) dan kaum perempuan ini mulai turut bekerja. Tahap ketiga (1980an-1990an), inilah puncak kejayaan para perantau, yang ditandai dengan pertumbuhan jumlah perantau pria dan wanita secara signifikan, karena dukungan akses lapangan kerja yang besar dan relatif kondusif di Malaysia saat itu (Titu Eki, 2002:45).

Jika dirunut ke belakang, klasifikasi Graeme Hugo tersebut benar adanya. Periode 1980an sampai dengan awal 2000an itu merupakan puncak kejayaan para perantau yang bekerja di Malaysia, terutama di Kota Kinabalu dan kawasan sekitarnya. 

Saat itu, mobilitas warga Adonara ke Malaysia dan sebaliknya setiap dua minggu menggunakan layanan kapal Pelni adalah pemandangan biasa. Semua tampak gampang dan mudah, meski faktanya, ini adalah migrasi lintas negara. Situasi berubah pada tahun 2002, saat pemerintah Malaysia memperketat rekrutmen tenaga kerja asing yang berdampak pada deportase massal, termasuk kepada banyak perantau Adonara. (bersambung..)


Artikel ini pernah tayang di portal eposdigy.com, 20/7/2020

Post a Comment