Foto ilustrasi:kompas.com

Pulau Timor semasa penjajahan terbelah menjadi dua bagian utama, yaitu Timor Timur dan Timor Barat. Bagian Timur mencakup wilayah yang kini menjadi Negara Republik Demokratik Timor Leste. Sewaktu menjadi bagian dari Indonesia, namanya Timor-Timur. Ini adalah wilayah kolonialisme Portugis. 

Di sisi lain, Timor bagian Barat adalah wilayah bekas pendudukan Belanda.  Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan satu dari enam Kabupaten yang ada di wilayah Timor Barat. Lima daerah otonom lainnya adalah Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), Belu dan Malaka. 

Sebagai seorang Flores, ini adalah tahun ke-12 saya tinggal dan bekerja di TTS. Waktu yang lumayan untuk mengenal masyarakat, tradisi dan alam TTS serta Timor Barat secara umum.

Pusat pemerintahan Kabupaten TTS ada di Kota Soe. Berada di ketinggian 900 meter dari permukaan laut, Soe oleh banyak orang dijuluki kota dingin. Dengan udara yang sejuk, dulu, Soe adalah penghasil Apel terkenal di NTT. Kini, apel Soe tinggal nama, yang tersisa hanyalah jeruk Keprok Soe dan Alpukad.

Mayoriitas etnis di TTS dan Timor Barat pada umumnya disebut suku Dawan. Bahasa yang dipakai masyarakat sehari-hari adalah Bahasa Dawan dan Melayu Kupang. Etnis Dawan yang juga populer dengan sebutan Atoin Meto sangat tipikal. 

Dua ciri khas utama yang mudah dikenali dari masyarakat Dawan, dalam interaksi sosial adalah kebiasaan mengenakan kain tenun  daerah berupa selempang atau selimut, serta tradisi mengunyah campuran buah Pinang (Areca Catechu), buah/daun Sirih (Piper Betle) dan bubuk kapur. 

Dalam bahasa Dawan, buah/daun sirih disebut (Manus), pinang (Puah) dan kapur (Aoh)  Kebiasaan makan sirih pinang dinamakan Mamat. Pinang bisa dimakan buah mudanya, juga irisan buah yang dikeringkan. Campurannya bisa buah sirih, atau daun segarnya.  

Tempat untuk menyimpan dan menyajikan cemilan ini namanya Oko Mama, umumnyanya terbuat dari anyaman daun lontar yang diberi pewarna. Di dalam Oko Mama, ada juga kalat, tempat mengisi bubuk kapur. Kalat biasanya terbuat dari potongan bambu seukuran 1 dim, panjangnya sekira 20cm.  

Di TTS, anak-anak, remaja, orangtua, laki-laki, perempuan, semuanya  makan sirih pinang, sangat masif. Untuk keperluan saat mobilitas, setiap orang memiliki alu mama, tas kecil yang digantung di badan saat bepergian. Selain untuk konsumsi sendiri, Oko Mama portabel ini berguna ketika si pemilik berapapasan dengan kenalan, sanak keluarga di jalan, maka sambutan paling pertama adalah saling berbagi dan bertukaran sirih pinang, kemudian memakannya bersama. 

Jika ada pihak yang kekurangan salah satu bahan, sirih, pinang atau kapur, maka akan dilengkapi dengan kepunyaan pihak lain saat pertemuan itu. Seketika, bibir mereka berubah merah merekah. Campuran sirih, pinang dan kapur setelah dikunyah memang menghasilkan residu berwarna merah pekat. 

Foto:elangmutis.blogspot.com

Instrumen Sosial

Bagi saya pemandangan seperti itu menarik, dari kajian social relationship, ada value besar di situ. Praktek take and give yang tulus, tumbuh subur di kalangan akar rumput. 

Nilai saling memberi dan menerima dalam konteks ini mendapat kredit besar di tengah mencoloknya paham individualisme masyarakat modern.  Bentuk kearifan lokal seperti ini merupakan modal sosial, perekat relasi warga, dengan puah manus/ sirih pinang sebagai instrumen penting didalamnya.

Di level komunitas, makna kebiasaan mengunyah sirih pinang jauh lebih besar. Ketika bertamu ke rumah orang misalnya, suguhan paling pertama dari tuan rumah sebelum teh atau kopi adalah sirih pinang. 

Di acara-acara hajatan, pesta, kedukaan, suguhan pertama kepada para tamu undangan, pastilah sirih pinang. Setelah jamuan makan, suguhan penutup pun kembali dengan makan sirih pinang.

Fungi sosial sirih pinang dalam kehidupan bermasyarakat kaum Atoin Meto, sangat nampak ketika warga menggelar hajatan seperti pesta pernikahan. Sebelum benar-benar sampai pada tahap pernikahan, keluarga kedua calon mempelai biasanya terlibat dalam satu pertemuan yang disebut “Makan Sirih Pinang”. 

Tujuan acara ini yaitu saling mengenalkan dan mengakrabkan sanak keluarga laki-laki dan perempuan. Ketika hari pernikahan digelar, cara tuan pesta mengundang para tamu juga unik, yakni dengan mengirim paket sirih pinang kepada setiap calon undangan. 

Jika calon undangan menerima paket tersebut, maka undangan itu dianggap sah dan si penerima berkewajiban menghadiri pesta pernikahan. Dalam konteks ini, masyarakat TTS meyakini, bentuk penghargaan tehadap sesama  manusia lebih bernilai dengan perantara sirih pinang, bukan dengan undangan yang dicetak dikertas.      

Pada konteks lain, cara pandang orang TTS dan Timor Barat secara umumnya pada fungsionalitas sirih pinang, menurut saya levelnya sejajar dengan bahan makanan pokok, sangat penting. Jika rata-rata frekwensi makan sirih pinang orang TTS  paling kurang lima kali dalam sehari.  Jumlah itu bisa menghabiskan minimal Rp.15 ribu untuk segenggam pinang kering, 5 buah sirih plus kapurnya. 

Dengan kalkulasi kasar seperti ini, artinya dalam sebulan  setiap orang menghabiskan Rp.450.000 untuk kebutuhan sirih pinang, diluar kebutuhan dasar harian lain. Nilai ekonomi ini sekali lagi membuktiikan, sirih pinang bagi orang Timor Barat boleh jadi adalah kebutuhan primer. 

Lalu seperti apa rasanya mengunyah campuran bahan-bahan itu, sehingga membuat orang tak bisa lepas darinya? Pengalaman saya, antara buah/daun sirih dan pinang, keduanya tak ada yang enak di lidah. Apa lagi mencicipi bubuk kapur kosong, tidak mungkin.  Rasa sirih di lidah itu cenderung pahit, sedangkan pinang terasa sepat. 

Namun, ketika sirih, pinang dan kapur dikunyah bersamaan dengan takaran yang pas, sensasi yang dirasakan adalah tubuh jadi lebih segar. Untuk pemula, biasanya ada efek pusing, berkeringat dan raut muka memerah. Dalam beberapa situs kesehatan, diuraikan bahwa biji pinang dan daun sirih mengandung zat psikoaktif yang mirip dengan nikotin, alkohol dan kafein. Tubuh orang yang mengkonsumsinya akan menghasilkan hormon adrenalin yang memberi sensasi segar dan berernergi. 

Kondisi ini relevan dengan pengakuan banyak rekan saya yang rutin mengunyah sirih pinang. Kata mereka, makan sirih pinang membuat mereka semangat dan bertenaga dalam bekerja. Akan tetapi,  butuh riset untuk menguatkan apa yang dirasakan dari konsumsi sirih pinang seperti testimoni itu.  

Terlepas dari efeknya bagi tubuh secara kesehatan, mengamati kebiasaan makan sirih pinang oleh orang-orang dikomunitas tempat tinggal saya memberikan perspektif unik, bahwa tatanan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat kadang terbentuk oleh instrumen yang sulit dijelaskan secara ilmiah. 

Arti penting mengunyah daging buah pinang, sirih dan kapur bagi Atoin Meto, tidak sekedar pemerah bibir, tapi bahan-bahan itu merupakan perekat hubungan sosial, yang membuat orang merasa sebagai satu kesatuan, saling memberi dan menerima, dan terutama saling menghargai.

2 Komentar

  1. Itulah budaya kita, kebiasaan Atoni Meto dalam kehidupan sehari-hari...
    Terima kasih pak,
    Semakin sukses n kreatif dalam menulis...

    BalasHapus

Posting Komentar