Foto:www.jpnn.com

Sektor pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu terus bergulat dengan satu isu besar, guru honorer. Potret tenaga guru honorer menjadi gambaran, bagaimana tata kelola guru di Indonesia oleh pemerintah, di tingkat pusat sampai daerah.

 Jumlah tenaga guru honorer secara nasional menurut data Kemendkibud pada 2018 sebanyak 728.461 orang. Angka ini tidak termasuk Guru Tidak Tetap (GTT) provinsi sebesar 190.105 dan  kabupaten 14.833 orang. Angka ini kemudian memantik munculnya isu-isu krusial seperti kelayakan pengupahan, tunjangan dan  tanggungan asuransi bagi para guru honorer, dengan tekanan terus berada di pundak pemerintah. 

Maka lahirlah beberapa skema  kebijakan untuk mengakomodir perbaikan kesejahtraan guru-guru honorer. Tercatat, pemerintah pernah melakukan rekrutmen para guru honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan klausul Katagori 1 dan 2, dan skema terbaru melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sayangnya, Skema pengangkatan menjadi ASN belum signifikan menghasilkan angka zero guru honorer, sekaligus  meredam laju pertambahan secara kuantitas. Jumlah guru honorer justru tampak semakin bertambah. 

Di Nusa Tenggara Timur, jika ditelusuri, ada beberapa faktor pemicu meningkatnya jumlah guru honorer. Pertama, tingginya  angka pertambahan sekolah baru. Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten merespon usulan pendirian sekolah oleh masyarakat dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) operasional. Sayang, SK itu tidak didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia tenaga pengajar,  termasuk fasilitas belajar. Sebagai contoh, pada jenjang SMA/SMK terdapat puluhan sekolah baru yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.

  Singkat cerita, sekolah berdiri tanpa tenaga pengajar memadai. Tugas rekrutmen guru lantas menjadi beban kepala sekolah baru itu. Maka kemudian muncullah guru honorer komite, yang diangkat dengan SK kepala sekolah dan sumber penggajian berasal dari iuran komite siswa. Belakangan, guru honorer jenis ini mengundang banyak perdebatan karena keberadaan mereka berdampak pada penerapan kebijakan iuran komite di sekolah. 

Selain sekolah baru, sekolah dengan sistem belajar kelas jauh (filial) juga berkontribusi pada pembengkakan jumlah tenaga honorer. Faktanya, banyak sekolah induk yang menyelenggarakan kelas jauh justru kekurangan tenaga pengajar. Dampaknya, rekrutmen guru honorer menjadi opsi pendukung jalannya kegiatan belajar di kelas jauh. 

Kedua, trend peningkatan jumlah peserta didik  di berbagai jenjang pendidikan juga mendorong pihak sekolah meresponnya dengan penambahan tenaga guru. Otoritas sekolah harus memenuhi kebutuhan ketersediaan tenaga pendidiknya, untuk mengimbangi pertambahan jumlah siswa. Apa lagi jika ada guru ASN pada sekolah bersangkutan memasuki usia pensiun atau meninggal, yang berdampak pada kurangnya tenaga guru. Maka sekali lagi, manajemen sekolah tidak punya pilihan lain kecuali merekrut tenaga guru honorer. Ini tentu saja kontraproduktif dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 48/2005 Jo PP No 43/2007 tentang larangan perekrutan guru honorer baik oleh kepala sekolah maupun otoritas pemerintah di daerah.

Akumulasi dari situasi demikian memantik terjadinya penumpukan tenaga guru honorer yang semakin banyak. Di sisi lain, pemerintah belum punya instrumen kebijakan yang efektif untuk mengantisipasi situasi tersebut. Sementara itu, universitas terus giat mencetak ribuan calon guru.   Tingginya angka produksi calon guru dari kampus sebagai mesinnnya, tidak sebanding dengan tingkat keterserapan di pasar kerja. Dampaknya, banyak tenaga guru yang terpaksa bekerja dengan bayaran jauh di bawah standar upah propinsi (UMP), apalagi nasional. Tingginya stok tenaga guru di tengah permintaan pasar kerja yang minim menempatkan mereka dalam posisi tawar yang lemah. 

Potret pendidikan NTT bisa menjadi gambaran, bagaimana guru-guru bekerja dan dihargai secara tidak manusiawi. Sebagai informasi, berdasarkan data Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, jumlah guru di NTT mencapai 95.579 orang, dengan 44.244 diantaranya adalah PNS, sisanya guru tetap yayasan 6.715, GTT provinsi 858, GTT kabupaten 5.899, guru bantu pusat 128, guru honor sekolah 31.924 dan lainnya 5.811. Di banyak sekolah di NTT, guru honorer komite di gaji pada kisaran Rp.250-750 ribu per bulan, dengan sistem pembayaran rapelan dalam beberapa bulan. Angka ini jauh di bawah UMP NTT 2019 yang mencapai  Rp.1.795.000.  Fakta ini jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  

Sayangnya, pemerintah menutup mata pada diskriminasi ini. Pemerintah tahu dan sadar akan keberadaan guru-guru honorer, kepada mereka diterapkan beban kerja sesuai standar nasional pengelolaan pendidikan, namun mengabaikan hak mereka untuk mendapat upah yang layak sesuai peraturan perundangan.  Di saat bersamaan, tuntutan kualitas pembelajaran terus ditujukan kepada para guru, ini jelas tidak adil. 

Atas perlakuan ini, saya teringat ucapan seorang teman guru komite di pedalaman Timor Barat-NTT. Dengan berkelakar, menurutnya guru honorer mungkin sebaiknya bekerja dengan sistem outsourcing. Dia membayangkan, jika ada perusahan pemasok tenaga kerja yang bersedia menghimpun guru-guru honorer se Indonesia, untuk didistribusikan ke sekolah yang membutuhkan. Dengan begini, sekolah mengambil tenaga honorer dan urusan upah dinegosiasikan dengan pihak ketiga. 

Positifnya, meski cukup setara UMP tetapi gaji dibayar rutin setiap bulan. “Ide gila “ ini saya pikir ada benarnya, dan tampak lebih bermartabat.  Setidaknya pola ini bisa mengubah cara pandang dan perlakuan pemerintah, termasuk para legislator di DPR(D) pada guru honorer. Pemerintah sebagai klien utama pada kenyataannya membutuhkan tenaga guru dalam jumlah yang banyak, tetapi kurang acuh pada aspek kesejahtraan guru non ASN.   Membiarkan guru dibayar dengan sangat murah, itu mencerminkan rapuhnya fondasi bangunan pendidikan kita.

Untuk membantu perbaikan kesejahtraan guru honorer, tekanan kepada pemerintah dan legislatif juga penting datang dari organisasi profesi. Wadah seperti PGRI, IGI, FSGI yang selama ini kerap melakukan advokasi di tingkat pusat, justru tidak menguat di daerah-daerah. Para guru honorer di daerah akhirnya hanya pasrah, tak tahu kepada siapa mereka mengadu. Butuh gerakan masif di daerah, dimana semua guru honorer bersatu, menghimpun diri secara kelembagaan untuk aksi advokasi ke pemerintah. 

  Selebihnya, kembali pada kebijakan pemerintah dan keputusan politik para wakil rakyat di DPR. Skema K1 ,K2 dan rekrutmen umum ASN terbukti bukanlah solusi mengurangi jumlah tenaga guru honorer di Indonesia.  Rasanya kita butuh lembaga khusus yang bekerja mengurus tata kelola guru baik ASN maupun honorer secara nasional, tidak cukup dengan misalnya unit seperti Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan di Kemendikbud. Lembaga itu akan bekerja dengan baseline data yang akurat, untuk merumuskan kebijakan, mengontrol kualitas dan memastikan keseimbangan hak dan kewajiban guru di Indonesia.  Dari lembaga ini pula mungkin kita bisa berharap, lahirnya regulasi di mana sistem pendidikan Indonesia tak lagi mengenal guru dengan status honorer, selain ASN atau PPPK. 

Selain itu, dibutuhkan sinkroniasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Misalnya, setelah ada larangan merekrut guru honorer oleh pemerintah pusat, maka para kepala daerah melalui kepala dinas pendidikan harusnya tidak menerbitkan ijin operasional sekolah baru, yang membuka peluang  penerimaan guru honorer baru. Semangat otonomi daerah tidak boleh menjadi justifikasi lahirnya overlapping kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat.

Mesti diingat, angka investasi negara dibidang pendidikan sangat fantastis. Dalam dua tahun terakhir, anggaran pendidikan di APBN terus meningkat. Porsi anggaran pendidikan dalam APBN 2018 sebesar Rp.444,131 triliun. Angka ini bertambah menjadi Rp.492,555 triliun atau naik Rp.48,4 triliun pada 2019. Plafond anggaran untuk pendidikan naik lagi pada 2020 menjadi Rp.508 triliun. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan anggaran pendidikan terbesar kedua setelah Malaysia. Sayangnya, indeks SDM Indonesia justru berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Itu artinya investasi pemerintah melalui pendidikan belum memberi dampak pada peningkatan kualitas pendidikan secara nasional. 

Jangan lupa, kualitas guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas pendidikan kita.  Memacu peningkatan kualitas pendidikan dengan tata kelola guru yang setengah hati, berapapun nilai investasi anggarannya, itu sulit. Hasilnya, keberadaan guru honorer di Indonesia tetap akan menjadi tragedi pendidikan yang tak berkesudahan. 

Ini menjadi ironi, bahwa pada periode keduanya, fokus Presiden Jokowi justru menyasar pembangunan sumber daya manusia. Empat program prioritas Kemendikbud ditangan Menteri Nadiem Makarim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pun tidak menyediakan solusi masalah guru honorer. Itu artinya, keberadaan tenaga guru honorer tampakanya masih tetap dan akan mewarnai sistem pendidikan Indonesia dalam jangka waktu yang tak tentu. Ini menyedihkan.

Post a Comment