Ilustrasi www.vibe.ng |
Tak menunggu lama, dua hari kemudian setelah soft file artikel opini diantar ke redaksi Pos Kupang-dekat pasar Inpres Naikoten, kabar baik akhirnya datang.
Artikel dengan judul "Pilgub NTT, Sebuah Renungan untuk Kaum Hawa NTT", terbit di kolom opini Pos Kupang edisi Sabtu, bulan Februari 2001, saya lupa tanggalnya. Itu adalah opini seorang mahasiswa semester dua, yang baru belajar menulis menggunakan komputer.
Saya ingat betul, opini itu ditulis dengan meminjam komputer di kantor berita Antara Biro Kupang, di Jalan Veteran Kelapa Lima. Di jaman itu, akses menggunakan komputer dikalangan mahasiswa masih terbatas pada rental komputer. Itupun kalau punya keterampilan mengetik dan tentu saja uang.
Paska terbitnya artikel tersebut, senang rasanya. Semangat menulis mulai berlipat ganda. Di kampus, ada beberapa teman yang ikut membaca. Rupanya mereka juga turut happy. Oh yah, satu lagi, ternyata opini itu dibayar oleh Pos Kupang. Honor per artikel waktu itu kalau tidak salah sekitar Rp.50 ribu.
Jaman itu, jumlah sebegitu lumayan untuk kantung mahasiswa. Sebagai perbandingan, tarif angkutan bemo untuk pelajar/mahasiswa saat itu hanya Rp.150. Honor itu dipakai jajan dengan beberapa teman. Saya baru tahu, menulis juga dapat duit. Bukan nilai uangnya, tetapi ada hal baru yang saya dapat di jalur kerja jurnalistik.
Sebagai penulis pemula, menembus persaingan di kolom opini Pos Kupang, itu merupakan modal awal yang bagus. Sebab kabarnya, rubrik itu sangat kompetitif. Banyak kolumnis doktor, magister dari praktisi kampus, aktivis sosial, mereka semua pesaing.
Dari opini pertama itu, saya belajar satu hal penting untuk menaklukan hati para redaktur, yakni nilai aktualitas isu yang ditulis. Sebagus apapun tulisan, jika isunya sedang tidak hangat di ranah publik, kecil kemungkinan dipilih untuk naik cetak.
Tulisan pertama itu ternyata membawa berkah berlanjut. Di program studi saya, ada mata kuliah menulis (writing) yang diasuh Prof. Feliks Tans. Mata kuliah ini berjenjang, ada writing 1 di semester 1 dan seterusnya sampai academic writing di semester 4.
Dosen pengasuhnya sama setiap semester, dan beliau punya challange yang unik untuk mahasiswanya kala itu. Bagi mahasiswa yang bisa menulis artikel di Pos Kupang atau Timex, kepadanya dijamin mendapat nilai A. Saya tersenyum, karena sudah punya 1 stok opini, tinggal saya bawa dan tunjukan kepada pak dosen. Dan benar, Prof. Feliks menepati janjinya. Mata kuliah writing bagi saya benar-benar enteng selama tiga semester.
Kegemaran menulis opini di koran meski tak rutin, tetapi tetap digeluti hingga memasuki dunia kerja. Kondisi mati suri dari aktivitas menulis baru saya alami saat bekerja dengan Plan International, sebuah NGO pemberdayaan anak pada periode 2007-2010. Tingginya volume kerja menyita banyak waktu untuk menulis.
Menulis sebagai proses kreatif, melatih kerja kognisi, perpaduan emosi dan perasaan, terlanjur saya suka. Hobi itu kembali digeluti ketika memenuhi panggilan menjadi guru pada 2010.
Sejak menjadi guru, intensitas menulis cenderung naik. Opini tentang isu pendidikan cukup sering menghiasi rubrik opini Timor Express dan Pos Kupang, beberapa portal online NTT, termasuk platform blog Kompasiana milik group Kompas Gramedia. 30 opini pendidikan yang tersebar di sejumlah media akhirnya saya bukukan pada April 2020, dengan buku berjudul "Pendidikan di Mata Guru Pelosok" terbitan Guepedia Publisher.
Untuk meningkatkan daya saing tulisan, beberapa opini disertakan dalam lomba menulis. Pada 2017, satu opini yang terbit di harian Timor Express diikutkan dalam lomba menulis artikel pendidikan di Kemendikbud. Tak disangka, opini berjudul"Bahasa Inggris, Nasionalisme dan Kurikulum Pendidikan Kita" sukses menjadi pemenang ke-3 dari 700-an artikel opini guru se-Indonesia. Yang bikin terharu, opini sebanyak 1.200 karakter atau dua halaman itu dihargai Rp.10 juta, tiket pesawat Kupang-Jakarta PP, akomodasi dan fasilitas lain.
Di tahun yang sama, berkah lain datang dari sebuah opini di Pos Kupang berjudul "Pernyataan Mendikbud, Haruskah Kita Tersinggung?" Tulisan tersebut mengantar saya menemani Rektor Unika Kupang, Ketua Sinode GMIT, Kadis Dikbud Provinsi NTT dan seorang Profesor dari Charles Darwin University Australia, berbicara dalam seminar nasional memperingati HUT Provinsi NTT di Aula Utama El Tari. Inilah berkah sosial, memiliki jejaring dan akses sosial dengan banyak orang penting, dengan tulisan sebagai batu loncatan.
Pada 2018, opini lain juga menembus nomine lomba jurnalistik pendidikan keluarga Kemendikbud. Dari 130-an opini yang masuk ke panitia, opini yang terbit di Timor Express berjudul "Meneropong Partisipasi Masyarakat dan Keluarga dalam Pengembangan Pendidikan di NTT" masuk 20 besar. Lagi-lagi dapat tiket PP Kupang-Jakarta, akomodasi gratis, dan jalan-jalan gratis.
Sampai di sini saya akhirnya menyadari, menulis ternyata mendatangkan banyak berkah tidak hanya finansial tetapi berkah sosial, mengenal banyak orang, membangun jejaring dengan banyak kalangan, belajar banyak hal dari orang lain dan tentu saja jalan-jalan gratis mengunjungi banyak tempat. Hobby can make money. Melakukan hobi yang dibayar, siapa yang tak mau? Hal yang tidak saya duga sejak awal menulis.(habis).
Baca juga: Literasi Dinding Rumah dan Anugerah Menulis
50rb Waktu itu saya pinjam 10 ribu belum kasih kembali sampai sekarang,😀😀
BalasHapus👍👍👍 Lanjut bro...🙏🙏🙏
Posting Komentar