Foto ilustrasi diambil dari www.mommiesdaily.com

Laju penyebaran pandemi Covid-19 memasuki tahun kedua. Virus Corona terus menular secara global, di tengah kabar baik hadirnya vaksin, yang mengiringi munculnya virus varian baru di Inggris. 

Di Indonesia, penambahan kasus harian yang dirilis Satgas penanganan Covid-19 membukukan rekor baru selama tiga hari beruntun pada 6-8 Januari. Rinciannya, pada 6 Januari kasus covid-19 di Indonesia berada di 8.854 kasus, 7 Januari bertambah menjadi 9.321 kasus, dan 8 Januari mencapai 10.617 kasus dalam sehari. 

Sampai dengan 9 Januari 2020, tercatat 818.386 orang terpapar virus Corona dan  23.947 orang meninggal di Indonesia. Tingginya angka kematian, seperti mengubah peristiwa itu tak lagi sebagai tragedi, tetapi statistik semata. 

Dari sudut pandang teologi, kematian adalah takdir Tuhan yang telah disabdakan dalam kitab suci. Setiap yang bernyawa akan mengalaminya. Setiap insan beriman menerimanya, itu merupakan wujud taqwa kepada sang Ilahi. 

Dalam sejarah epidemi, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, mencontohkan wabah bakteri kutu  Yersinia pestis yang menyerang Asia, Eropa dan Afrika Utara pada 1330 dan menewaskan setidaknya 75-200 juta orang, wabah Cacar di Meksiko pada 1520 yang merenggut 8 juta warga, ganasnya Flu Spanyol pada 1918 yang membunuh setidaknya 50-100 juta orang dalam waktu kurang dari setahun, dan petaka HIV/AIDS sebagai misteri dunia kedokteran hingga kini, merupakan rentetan bencana serangan kuman penyakit yang sulit dihentikan manusia. (Harari:2015:7-9).

Pasca rentetan epidemi dasyat tersebut, Harari meyakini bahwa perlombaan senjata antara para dokter dan kuman, dokter berlari lebih cepat. Dengan kata lain, pengalaman melewati epidemi besar di masa lalu membuat manusia lebih siap menghadapi serangan wabah lainnya. 

Dari perspektif sains,  Harari mempersepsikan kematian sebagai suatu kesalahan teknis. Gagal ginjal, serangan jantung, diabetes, itulah sebagian pemicu. Pada simpul inilah, Ia banyak mengulas urgensi sains untuk misalnya mencegah penyakit, mengatasi wabah sebagai penyebab kematian manusia. 

Baca juga : 2020, Tahun Internet

Kembali ke fenomena Covid-19, bagaimana peran sains mengentikan pandemi ini? 12 bulan adalah waktu yang sibuk bagi otoritas kesehatan global. Para ilmuwan dunia menghabiskan hari-hari mereka di laboratorium. Menghasilkan obat dan vaksin adalah fokus utamanya. 

Di USA, ada vaksin AstraZeneca,  Pfizer Inc and BioNTech serta Moderna, China punya Sinovac dan Sinopharm, Indonesia mengembangkan vaksin Merah Putih. Hampir setiap negara berupaya mengembangkan vaksin. Prosesnya panjang dan rumit. Inilah kerja sains yang hasilnya sangat dinanti seluruh warga dunia. 

Di tanah air, selain vaksin dan obat, inovasi para ilmuwan terus tumbuh dari ruang-ruang penelitian, eksperimen dan laboratorium. Otoritas kampus mengambil peran. GeNose, alat deteksi Covid-19 hasil pengembangan para peneliti UGM adalah contohnya.

Dikutip dari www.ugm.ac.id, 12/9/2020, peneliti GeNose, Dian Kesumapramudya Nurputra, memaparkan GeNose bekerja mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi Covid-19 yang keluar bersama nafas melalui embusan nafas ke dalam kantong khusus. Selanjutnya diidentifikasi melalui sensor-sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence

Alat ini memiliki kemampuan mendeteksi virus corona baru dalam tubuh manusia dalam waktu cepat. Tidak kurang dari 2 menit hasil tes sudah dapat diketahui apakah positif atau negatif Covid-19.

Selain kecepatan deteksi dan akurasi tinggi, penggunaan alat ini jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan tes usap PCR. Satu unit GeNose yang diperkirakan seharga Rp40 juta dapat digunakan untuk 100 ribu pemeriksaan.

GeNose telah melalui uji profiling  dengan menggunakan 600 sampel data valid di Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid Bambanglipuro di Yogyakarta hasilnya menunjukkan tingkat akurasi tinggi, yaitu 97 persen. 

Di Nusa Tenggara Timur, pada medio 2020 lahir ide menghadirkan lab qPCR di NTT. Inisiatornya adalah Forum Academia NTT (FAN). Di FAN, berkumpul banyak anak NTT lintas profesi yang rutin berdiskusi, sharing gagasan, ilmu dan pengalaman sebagai bentuk kontribusi dalam pembangunan di NTT. 

Selama masa work from home akibat pandemi, hampir setiap minggu FAN memfasilitasi panel online dengan banyak narasumber, untuk mengkaji penyebaran covid-19 dan dampaknya dari berbagai perspektif.

Dalam dunia ilmu pengetahuan (science), kolaborasi seperti ini merupakan sebuah kekuatan dasyat. Artikel Dicky Pelupessy di www.theconversation.com pada 14/09/2017 menulis urgensi kolaborasi pengetahuan menghadapi abad 21. 

Menurutnya, dunia ilmu abad 21 adalah era untuk bekerja dengan peneliti lain dari disiplin yang berbeda, bahkan dengan pemangku kepentingan publik lain. Kaitannya dengan upaya penanganan penyebaran Covid-19, pendekatan kolaboratif seperti ini adalah modal penting, karena mustahil membebankan semuanya kepada para ahli dan praktisi kesehatan.  

Selain FAN, sosok penting dibalik ide membangun laboratorium qPCR di NTT, adalah seorang perempuan--namanya Fima Inabuy. Ia asli Kupang, belajar di Institut Teknologi Bandung, lalu meraih PhD bidang biomolekuler di Washington State University, USA. Fima memimpin Tim Pool Test dengan 12 orang sejawat. Mereka berasal dari ragam profesi dan dispilin ilmu. Semuanya bekerja secara voluntary dengan penuh keterbatasan. 

Bekerja dalam kolaborasi lintas dispilin ilmu, melibatkan lembaga perguruan tinggi dan instansi terkait lain, Fima dan timnya telah mengangkat moral warga NTT untuk menghadapi gelombang penyebaran baru, seiring kampanye new normal yang  menurunkan tingkat kewaspadaan masyarakat. 

Sebagai guru pelosok, mengikuti tahap demi tahap upaya yang dikerjakan FAN dan para inisiator Pool Test qPCR, saya menemukan keluhuran nilai ilmu pengetahuan, saat ia didedikasikan untuk kepentingan jutaan manusia, tanpa pamrih. Inilah perspektif pendidikan yang penting untuk ditanamkan dalam benak siswa-siswi Indonesia, sejak dini. 

Sains memang belum mampu menghentikan dengan sempurna laju  Covid-19, tetapi dengannya manusia belajar bagaimana bertahan dari serangan  virus, dengan upaya bersama-gotong royong secara global. 

Sekali lagi, sebagai guru pelosok, menceritakan inspirasi dan value ilmu pengetahuan seperti ini kepada siswa, adalah vitamin untuk membakar semangat dan kecintaan anak-anak pada ilmu pengetahuan serta manfaatnya untuk kemanusiaan.


Post a Comment