Ilustrasi:www.daily-sun.com

Kota Soe, pada Jumat 15 Januari 2021 petang. Di jalan Timor Raya yang membelah pulau Timor dari Kupang hingga Dili, meluncur satu ambulans pembawa jenazah. Ambulans itu keluar dari RSUD Soe, menuju pemakaman pasien yang suspek atau positif Covid-19 di luar kota. 

Di atas trotoar depan rumah, keluarga menatap sayu penuh air mata, pada ambulans yang lewat. Di atas ambulans itulah, jenazah orang tercinta berbaring, diantar menuju pemakaman. Hanya doa dan lambaian tangan mengiringi kepergian almarhum, sangat menyayat hati. 

Sosiolog NTT Elcid Li menulis di lekontt.com pada 11 Januari 2021, "Salah satu sisi gelap dari pandemi COVID-19 adalah ketika korban meninggal dan dikuburkan dalam kesunyian. Jangankan 40 hari masa perkabungan, bahkan satu hari pun sang korban tidak mendapatkan ‘sentuhan sakral’. Pasien yang meninggal tidak dilayani dengan ritus kematian yang pernah mereka kenal.

Ia yang pergi tentu tidak lagi sedih, tetapi mereka yang ditinggalkan selamanya hidup dalam trauma yang tidak akan pernah selesai karena ada satu ritus hidup yang hilang. Mereka tidak pernah disiapkan untuk menerima kehilangan orang terdekat, yang pergi dalam wujud ‘sebongkah virus’, dan dianggap berbahaya. Proses pemakaman dilakukan se-klinis mungkin dan berlangsung dalam sepi."

Kematian demi kematian yang dituai saat ini, mungkin bisa dicegah, seandainya pemerintah kita tidak menurunkan level kesiagaan, seperti saat pertama kali menyambut kedatangan virus pada awal 2020. 

Maret-Mei 2020 adalah periode terbaik kita menghalau virus. Dengan desinfektan, semua disemprot. Orang, oto, motor semua dapat siram cairan. Dari Soe ke Kupang, bisa dapat semprot berkali-kali, sepanjang jalan ada pos semprot. 

Di laut, kapal mau sandar di pelabuhan di cegah. Penumpang turun di tengah laut. Moda udara lebih displin, petugas screening siaga penuh di bandara. Darat, laut, udara, saat itu kita all out. Lepas itu, semua kendor, los. Santuy, anak alay bilang begitu. 

Medio hingga akhir 2020, hidup seperti acuh tak acuh pada virus. Rencana bikin laboratorium biomolekular untuk tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di lebih banyak daerah tinggal rencana. Para bupati dan walikota nyaman bergantung pada lab di RSU W.Z. Johanes Kupang. Lupa kalau provinsi ini terbentuk oleh pulau-pulau. Saat laut tak bisa dilalui kapal, pesawat tak terbang, spesimen tertahan, yang lain menumpuk di lab satu-satunya, orang tanpa gejala (OTG) membludak di banyak daerah. 

Di kampung-kampung, dana desa untuk menangani Covid cair meleleh. Posko Covid bertebaran. Saya suka di sana, bapak-bapak linmas stand by seragam lengkap. Tapi ada juga petugas posko desa pakai jas hujan, pada hal di anggaran harusnya beli pakaian APD standar. 

Tahun 2021 dibuka dengan panen raya kasus. Virus tak lagi terkendali. Kematian meningkat tajam. Di NTT, sampai dengan 16 Januari 2020, sudah 86 orang meninggal akibat COVID-19 berasal dari 14 kabupaten/kota di NTT. Kasus kematian tertinggi terjadi di kota Kupang. 

Entah kita mau belajar atau tidak, pelajaran pentingnya adalah hilangnya konsistensi. Kita kehilangan itu, justru disaat virus mengganas. Kita terlalu bernafsu di awal, lalu kelelahan dan akhirnya terkulai. Itulah inkonsistensi. Milik kita yang tersisa saat ini adalah ketakutan, karena dengan itu kita mungkin lebih waspada dan taat aturan kesehatan. 

Dan satu lagi, dari awal cara kita menghadapi virus dengan uang dan proyek. Itu fatal saat uang mulai habis, mengiringi hilangnya ratusan posko yang dulu penuh semangat. Ini cara terburuk menggunakan uang untuk melawan virus oleh otoritas pemerintah kita. 

Sedari awal, kita mengabaikan cara gratisan, menggunakan nalar dan kesadaran kita untuk melawan virus.  Inilah perbedaan besar ras kita dengan ras-ras lain di muka bumi.

Baca juga : Peran Sains di Pusaran Pandemi Covid-19

Post a Comment