Dokpri

Stunting adalah kondisi kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan ukuran tubuh pendek pada anak. Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta rendah prodiktivitas. Tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi suatu negara.

Di Indonesia, menurut laporan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018 mencatat setidaknya dari 23,8 juta jiwa populasi anak balita, 3,2 juta di antaranya mengalami gizi kurang dan 928 ribu jiwa dengan gizi buruk. Itu artinya secara nasional, terdapat 13,8% anak balita menderita gizi kurang dan 3,9% gizi buruk. NTT, NTB, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan adalah provinsi dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di atas rata-rata nasional. (www.theconverstion.com, 22/1/2019).

Pada Maret 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka prevalensi bayi balita stunting mencapai 27,7%. Laporan itu menyebutkan 28 dari 100 balita memiliki tubuh pendek. Presentasi itu masih di atas patokan WHO sebesar 20%. Pemerintah menargetkan persentase prevalensi stunting di Indonesia di angka 19% pada tahun 2024 yang telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.

Dalam banyak literatur kesehatan, stunting berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Selain fisik, stunting juga menyebabkan perkembangan kognitif dan psikomotorik anak tidak proporsional. Efek domino perkembangan kognisi dan intelektual anak yang tidak proporsional adalah, kurangnya kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu disebabkan anak tidak memiliki daya analisis dan penalaran yang baik. Hambatan tumbuh kembang fisik dan kognisi akhirnya berdampak pada peluang anak berprestasi, baik secara akademik maupun di bidang olahraga. 

Pada sisi lain, anak yang menderita stunting lebih rentan pada penyakit  seiring bertambahnya usia. Hidup dengan penyakit  saat usia dewasa menyebabkan hilangnya produktivitas. Kondisi demikian menjadi defisit demografi,   kontraproduktif dengan bonus demografi Indonesia pada tahun  2030-2040 yang kita banggakan.   Itu adalah kerugian terbesar di bidang sumber daya manusia, dan dampak turunan pada sektor ekonomi bangsa. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi positif yang didukung tingginya struktur penduduk usia kerja tidak tercapai, karena disrupsi stunting.

Sekolah sebagai lokus

Dampak seperti uraian di atas adalah belenggu dalam dunia pendidikan. Kurikulum yang unggul, guru yang hebat, gedung sekolah dengan fasilitas belajar memadai, itu semua sia-sia jika para pembelajar tidak kompetitif. Investasi pendidikan yang bernilai triliunan rupiah dari tahun ke tahun tidak menghasilkan out put yang berkualitas.  

Sebagai salah satu entitas utama, mesin produksi sumber daya manusia, sekolah  punya kewajiban moril, terlibat dalam perang melawan belenggu pendidikan bernama stunting.  The Southeast  Asian Ministers of  Education (SEAMEO) atau Organisasi Menteri Pendidikan se-Asia Tenggara melalui program Nutrition Goes to School atau Gizi untuk Prestasi pada 2018 pernah menginisiasi program pengentasan masalah gizi lintas sektor berbasis sekolah.  Program itu menempatkan sekolah sebagai pusat promosi dan mitigasi terjadinya masalah gizi pada siswa. Selaras dengan program tersebut, beberapa pendekatan berikut ini dapat diterapkan sebagai alternatif pengendalian kasus gizi kurang dan gizi buruk pada siswa dengan sekolah sebagai lokus. 

Pertama, pada  jenjang PAUD/TK,SD,SMP, bekerjasama dengan puskesmas setempat, sekolah dapat memiliki instrument semacam checklist untuk mendeteksi siswa denga ciri fisik penderita stunting. Berdasarkan ciri tersebut, guru bisa menempatkan sang anak dalam checklist untuk selanjutnya dilakukan asesmen oleh tenaga medis. Anak yang teridentifikasi stunting akan segera mendapat perawatan di healing center misalnya. Melalui pendekatan ini, sekolah berfungsi sebagai filter selain posyandu untuk mendeteksi anak-anak usia sekolah yang menderita gizi kurang  dan gizi buruk. 

Kedua, pada situasi tertentu, pemerintah dapat mengintervensi kebutuhan asupan gizi siswa, dengan regulasi yang memungkinkan  manajemen sekolah memperluas cakupan program seperti Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS) melalui alokasi dana BOS. Evaluasi Program PMT-AS yang dilakukan Balitbang Kemendikbud tahun 2013 menunjukan secara kuantitatif, rata-rata kehadiran siswa meningkat di sembilan kabupaten peserta program. Hasil kajian juga menemukan semangat siswa untuk masuk sekolah lebih teratur dan lebih memperhatikan pelajaran.  Di luar itu, edukasi dan promosi tentang pentingnya makanan bergizi juga bisa diterapkan kepada para suplier makanan di lingkungan sekolah, seperti kantin sekolah dan penjaja makanan di sekitar lingkungan sekolah. 

Ketiga, kerjasama guru dan tenaga medis dalam upaya promosi dan edukasi tentang pengetahuan gizi perlu diintensifkan, terutama kepada siswa jenjang SMA/SMK/MA. Studi yang dilakukan Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (APPeK) Kupang pada 2019 menunjukan fakta mencemaskan. Riset yang melibatkan 300 responden siswa SMA di Kabupaten Kupang-NTT menemukan,  56% anak remaja bertubuh kurus, dan 44% memiliki tubuh dengan katagori pendek. Kondisi itu dipicu oleh kurangnya pengetahuan anak dan keluarga tentang konsumsi pangan. 

Anak tidak punya pilihan lain selain makan yang penting kenyang, tidak peduli kandungan gizi makanan yang dikonsumsi. Secara kuantitas, anak makan dalam porsi besar tetapi hanya sedikit asupan gizi yang berguna untuk pertumbuhan tubuh. Selain itu,faktor ekonomi keluarga dan ketersediaan pangan juga berpengaruh. Sebelum ke sekolah, anak ingin makan, tetapi  makanan tidak tersedia di meja makan. Hal ini memicu 76% anak memilih tidak makan pagi sebelum berangkat ke sekolah. (www.pos kupang.com, 20/2/2020).

Keempat, edukasi kepada siswa jenjang SMA sederajat juga penting, untuk mencegah terjadinya perknikahan usia anak. Di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kedua angka pernikahan anak tertinggi. Pada 2018, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, tercatat pernikahan anak mencapai 1,2 juta kasus. Kasus pernikahan anak perempuan di bawah 17 tahun  mencapai 4,8%, di bawah 16 tahun 1,8% dan kurang dari 15 tahun 0,6% . 

Pernikahan anak dicegah, karena sejumlah efek negatifnya seperti  resiko putus sekolah, gangguan kesehatan, ketidaksiapan mental berumah tangga dan pola asuh anak. Pola asuh anak dengan asupan gizi yang kurang adalah akar tumbuhnya kasus stunting. Stunting adalah problem ranah kesehatan, tetapi implikasi buruknya merasuk jauh ke sektor pendidikan. Karenanya, pola kemitraan lintas sektor penting  untuk mengurangi jumlah anak yang menderitanya. Sekolah dan manajemennya dapat memainkan peran krusial, dalam upaya mencetak generasi cerdas, sehat dan berkarakter.

Versi cetak artikel ini telah dimuat di Harian Victory News, edisi Minggu 14 Februari 2021.

Post a Comment