Dokpri
Guru adalah salah satu profesi strategis dengan populasi pekerja yang besar di Indonesia. Profesi guru memainkan peran mulia dalam membangun sumber daya manusia dan memajukan peradaban bangsa. 

Akan tetapi, dalam melaksanakan tugas dan fungsi layanan pembelajaran, guru rentan menjadi korban kekerasan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, potensi kerentanan itu mencakup tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminasi, ketidakadilan dan intimidasi yang melibatkan pihak terkait seperti peserta didik, orangtua siswa, birokrasi dan masyarakat.   

Sebagai contoh, di NTT, pada pada Oktober 2018, Makrina Bika, guru pada SMAN 4 Kupang, mendapat serangan fisik dari oknum orang tua siswa persis di ruang kelas, di saksikan siswa (pos kupang, 19/10/2018). 

Masyarakat juga dikagetkan dengan kematian Ahmad Budi Cahyono, guru di SMAN 1 Torjun, Sampang-Madura yang diduga menjadi korban kekerasan  siswanya sendiri pada Februari 2018 (voaindonesia.com, 11/02/2019). 

Tragedi terbaru terjadi di Nangaroro, kabupaten Nagekeo pada Selasa, 8 Juni 2021 ketika kepala sekolah SDI Ndora ditikam orang tua siswa  di ruang guru (www.ekorantt.com, 8/6/2021). 

Tragisnya, penikaman ini terjadi saat sekolah sedang melaksanakan ujian sekolah. Pemicunya diduga terkait tunggakan iuran komite.   

Perlindungan di atas kertas?

Rentetan kekerasan tersebut, terjadi justru di atas tumpukan naskah peraturan perlindungan hukum profesi guru. Secara de jure,  perlindungan profesi guru diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PasaL 39 ayat (1), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. 

Produk turunan lainnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Tenaga Pendidkdan Kependidikan. Permendikbud ini memuat empat jenis perlindungan yakni, perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan hak atas Kekayaan intelektual. 

Dalam implementasinya, perlindungan terhadap guru melibatkan pemerintah pusat dan daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi dan masyarakat sesuai kewenangan masing-masing. 

Namun demikian, di Indonesia, secara de facto, guru mengalami beragam tindak kekerasan. Sangat disayangkan, tindakan kekerasan terhadap guru bahkan terjadi di sekolah, dilihat langsung oleh siswa. 

Kasus penikaman guru di Nangaroro harus menjadi bahan renungan, tentang bagaimana peran para pihak terkait dalam upaya perlindungan terhadap para guru. Juga, mesti ada refleksi tentang fungsi naskah-naskah piranti hukum yang ada, sebagai sistem perlindungan profesi guru.

Upaya melindungi profesi guru tidak boleh terlihat indah di atas kertas, sistem ini harus bekerja nyata di ruang-ruang kelas, ruang guru, halaman dan lingkungan sekolah, untuk memproteksi guru dari ancaman kekerasan. 

Relasi sekolah dan orang tua

Dalam kasus penikaman di Nangaroro, variabel pemicu utama adalah tunggakan iuran komite siswa. Manajemen sekolah kemudian memberi sanksi, tidak menyertakan sang murid dalam ujian kenaikan kelas. Orang tua merespon sanksi sekolah dengan serangan fisik terhadap kepala sekolah. 

Dalam peristiwa ini, ada dua bacaan penting yang perlu dicermati. Pertama, tentang variabel pungutan iuran komite terutama di sekolah-sekolah negeri.

Iuran komite merupakan salah satu bentuk partisipasi orang tua dalam urusan pendanaan di sekolah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah. 

 Sejauh ini, perdebatan publik tentang pungutan komite terletak pada aspek legalitas, besaran pungutan, transparansi dan tata kelolanya.   

Sepanjang pengamatan saya sebagai guru, pungutan iuran komite dialokasikan untuk kebutuhan honor guru-guru non PNS, staf tata usaha, security dan cleaning service. Mereka ini bekerja di instansi negara, tetapi sulit digaji dari anggaran negara. 

Manajemen sekolah, dengan penuh risiko kemudian mengambil kebijakan untuk memenuhi kebutuhan gaji mereka, iuran komite adalah contohnya. 

Partisipasi orang tua melalui iuran komite, merupakan bentuk dukungan warga negara terhadap keterbatasan daya dukung pemerintah di bidang anggaran untuk memenuhi hak dasar warga di sektor pendidikan.  

Kedua, sebagai bentuk pertanggungjawaban, maka manajemen sekolah wajib membuka ruang komunikasi dan koordinasi seluas-luasnya bagi orang tua terkait tata kelola iuran komite.

 Manajemen sekolah harus menempatkan orang tua sebagai mitra, patner kerjasama termasuk dalam merencanakan kebutuhan alokasi anggaran yang bersumber dari iuran komite siswa. Setiap tahun, manajemen wajib memaparkan kebutuhan belanja anggaran iuran komite kepada orang tua, termasuk konsekwensi yang dikenakan kepada siswa yang terlambat membayar.

 Pada titik ini, sanksi pemulangan siswa saat ujian di SDI Ndora-Nangaroro bukan langkah yang bijak. Manajemen sekolah harusnya sudah memastikan progres pembayaran sebelum pelaksanaan ujian.

Guru bisa menempuh langkah persuasif kepada orang tua yang belum melunasi iuran anaknya. Dengan begitu, psikologi siswa tidak dibebani dengan tagihan iuran komite ketika ia bersiap untuk mengikuti ujian di ruang kelas. 

Manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel dengan dukungan komunikasi dan koordinasi yang baik dengan orang tua dan masyarakat akan melahirkan sinergi yang kuat. 

Inilah kekuatan tripusat pendidikan, yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara untuk  memajukan pendidikan bangsa. Bersatu padunya tiga kekuatan itu untuk bekerjasama, saling mendukung, bukan saling menyerang apalagi membunuh di hadapan anak-anak, siswa-siswi. 

Peristiwa di Nangaroro mungkin tidak terjadi, jika relasi antara sekolah dan orang tua terjalin penuh keterbukaan, saling menghargai.  Kita mungkin kekurangan ilmu pengetahuan, tetapi kita masih punya cukup adab.

Pelaku penikaman di Nangaroro harus siap menerima konsekwensi hukum atas perbuatannya. Di sisi lain, manajemen sekolah juga perlu membenahi tata kelola pemungutan iuran komite untuk mencegah hal buruk kembali terjadi di masa depan.                





  

Post a Comment