Dokpri

Oktober diperingati sebagai bulan bahasa dan sastra Indonesia. Ragam kegiatan lomba diselenggarakan di sekolah yang melibatkan peserta didik. Aneka lomba seperti berpidato, membaca puisi, pentas seni, pagelaran budaya merupakan kesempatan bagi manajemen sekolah untuk meningkatkan kemampuan soft skill siswa di luar kelas. 

Lomba menjadi ajang bagi siswa untuk mengekspresikan diri . Pada akhirnya, kegiatan lomba merupakan salah satu pendekatan untuk mencapai titik keseimbangan antara olah pikir, rasa dan karsa siswa. 

Peringatan bulan bahasa hendaknya diselaraskan dengan slogan “utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah dan kuasai bahasa asing. Karenanya, penting bagi manajemen sekolah untuk memasukan nilai-nilai budaya lokal siswa  dalam ragam kegiatan ekspresi diri siswa.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) tentang konsep merdeka belajar, bahwa guru, dalam proses membimbing dan menuntun siswa wajib menyesuaikan dengan kodrat alam siswa. Kodrat alam, frase ini merujuk pada budaya dan lingkungan tempat tumbuh kembang siswa. 

Bahasa dan sastra lokal adalah salah satu kekayaan yang umumnya melekat dalam diri peserta didik. Bahasa daerah merupakan kekayaan linguistik yang diperoleh (acquired) siswa, sebelum mempelajari ragam pengetahuan di bangku sekolah.  

Sastra lokal yang eksis di tengah masyarakat juga menjadi instrument seni yang dikenal anak, sejak usia dini. Bahasa dan sastra lokal kemudian menjadi simbol identitas,  penguat jati diri anak, peneguh budi pekerti. Dalam bahasa KHD, perangkat budaya lokal seperti ini penting untuk dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari proses belajar anak, agar anak tidak kehilangan arah. 

Anak- anak jaman sekarang lahir dan tumbuh di tengah hegemoni modernitas, yang dicirikan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi cenderung memiliki dua sisi, baik dan buruk. 

Inilah fakta kodrat zaman yang mereka hadapi, dan agar anak-anak tidak hanyut dalam gelombang perkembangan zaman yang negatif, maka  salah satu benteng pelindungnya adalah nilai-nilai budaya lokal.

Sekolah harus menjadi tempat untuk menyemai dan menumbuhkan nilai-nilai budaya siswa.   Mata pelajaran muatan lokal (mulok) adalah pintu masuk yang ideal, selain kegiatan ekstra kurikuler maupun event lomba. 

Pemanfaatan media-media ini menjadi gambaran  posisi sekolah  untuk turut serta dalam upaya pelestarian kekayaan bahasa daerah. Bagi anak-anak kaum urban,  event lomba seperti mendongeng, berpidato, menyanyi, atau pentas seni dalam bahasa daerah memiliki arti penting.

 Anak-anak kaum urban yang lahir dari pasangan orangtua beda bahasa dan budaya, cenderung mengalami kekosongan penguasaan bahasa daerah.  Di Kupang, kita mudah menemukan perkawinan lintas budaya, misalnya ayah dari Soe, ibu dari Sumba. Sehari-hari, keluarga berkomunikasi dalam bahasa Melayu Kupang. Dengan kondisi ini, anak-anak mungkin kekurangan akses untuk mengenal bahasa daerah ayah ibunya. Maka, sekolah bisa menjadi jembatan, mengenalkan anak-anak, bahkan dengan berbagai kekayaan bahasa daerah di NTT, misalnya melalui lomba menyanyi. 

Selain bahasa daerah, kekayaan lokal yang lain adalah sastra. Di banding sastra nasional, posisi sastra lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah kurang mendapat tempat. Salah satu penyebabnya adalah minimnya naskah atau literatur sebagai sumber belajar. Ada pula kekayaan sastra lokal berupa syair atau tutur lisan yang memang eksis  di masyarakat dalam wujud demikian. 

Sebagai contoh, syair yang dilantunkan dalam tarian Sole Oha di Flores Timur dan Lembata. Itu sebenarnya merupakan tradisi bercerita (story telling), misalnya tentang sejarah asal-usul kampung, tokoh, atau relasi antar manusia. Yang membuatnya menarik adalah, irama narasi tuturnya dilantunkan selaras dengan gerak-gerak kaki para penarinya. 

Syair dalam tarian Sole Oha bagi masyarakat Lamaholot adalah sebuah kekayaan budaya tutur, sulit menemukan narasi-narasinya secara tertulis. Hal serupa dapat ditemukan dalam budaya masyarakat suku Dawan di Timor Tengah Selatan dengan ritual tutur Natoni. Natoni biasanya dilafalkan saat menyambut tamu atau ritual adat.  Sama seperti syair Sole Oha, Natoni juga sulit ditemui dalam narasi teks.

Hemat penulis, untuk kebutuhan belajar anak-anak tentang syair Sole Oha dan Natoni di sekolah, akan sangat baik jika dipadukan dengan teks  atau narasi tulis. Dengan begitu, siswa akan lebih mudah memahami kedalaman makna dan konteks cerita syairnya. Untuk tujuan ini, sekolah dapat menjadikannya salah satu kegiatan ekstra kurikuler dengan menggunakan jasa para penutur. 

Jika sekolah membayar mahal para pelatih drum band untuk melatih team drum band sekolah, maka hal yang sama harusnya bisa diterapkan kepada para penutur Sole Oha dan Natoni untuk mengembangkan imajinasi peserta didik. 

Memiliki team drum band yang hebat itu baik, tetapi jauh lebih bahagia menyaksikan anak-anak kita bisa melantunkan syair-syair dalam bahasa daerah yang rumit secara semantik, sejak dini dibangku sekolah. Dengan begitu, sekolah berfungsi tidak hanya sebagai gudang ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat persemaian nilai-nilai budaya lokal siswa.


 

Post a Comment