Frans Lebu Raya, Gubernur NTT 2008-2018

Oleh: Buyung Tokan

Senin 20 Desember 2010, Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM), sebuah program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa (community empowerment) diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bertepatan dengan acara peringatan HUT Provinsi NTT ke 52 di Kupang. Dalam uraiannya, gubernur Frans Lebu Raya (FLR) mengatakan, bujet untuk DeMAM pada tahun pertama 2011 dialokasikan Rp. 81.2 Milyar untuk 287 desa penerima manfaat (beneficiaries) dari total jumlah 2.837 desa di NTT. Setiap desa mendapat jatah Rp. 250 juta. 

Alokasi bujet DeMAM bukan untuk peningkatan infrastruktur desa semisal pembangunan jembatan, posyandu, gedung sekolah, pengerasan jalan, dan lain-lain. Dana DeMAM semata-mata didesain untuk memacu peningkatan kemampuan ekonomi dan daya saing desa sesuai basis keunggulan dan pemerataan keadilan. Masing-masing desa beneficiaries didampingi seorang fasilitator yang tinggal dan bekerja mendampingi masyarakat di desa. 

Mekanisme suntikan dana menggunakan pendekatan kelompok masyarakat (community base group). Masyarakat menghimpun diri dalam kelompok-kelompok usaha, yang memiliki struktur organisasi sederhana. Dalam kelompok, ada pertemuan-pertemuan rutin yang prosesnya dinotulenkan. Pertemuan dapat membahas rencana-rencana, apa dan bagaimana sebuah program dilaksanakan, system monitoring dan evaluasi terhadap usaha (program) yang akan dikembangkan kelompok. 

Lewat pertemuan kelompok, peran pendampingan seorang fasilitator dimulai dari sini. Hasil kesepakatan kelompok pada akhirnya nanti menjadi program kelompok yang siap menerima intervensi berupa bujet dan pendampingan. 

Pada saat pertama kali bergulir, DeMAM menghadapi sejumlah besar tantangan di 287 desa beneficaries. Ada beberapa persoalan klasik yang juga dihadapi banyak lembaga pemberdayaan misalnya pertama, kesiapan masyarakat baik secara kelembagaan maupun resources. Rata-rata masyarakat desa belum terbiasa mengorganisir diri dalam suatu kolompok usaha kolektif karena keterbatasan sumber daya manusia. Maka yang terjadi adalah masyarakat hanya melaksanakan rencana-rencana para desainer program tanpa inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri. Kondisi ini memicu arah program cenderung top down, dan bukan buttom up

Kedua, pola pikir masyarakat. Ini berkaitan dengan cara pandang terhadap kehadiran program, dimana umumnya masyarakat cenderung mengasosiasikan program dengan bantuan cash fund. Boleh jadi hal ini tak lepas dari program-program karitatif pemerintah seperti Program Keluarga Haraparn (PKH) dan PIP. Konsekwensinya adalah timbul mentalitas ketergantungan yang mematikan etos kerja dan usaha masyarakat. 

Melalui program DeMAM, FLR ingin menjadikannya sebagai stimulus bagi pertumbuhan ekonomi desa dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif. Ini merupakan sebuah terobosan inovatif bagi perkembangan micro entrepreneurship di NTT kala itu. Program ini mulia, karena sasarannya adalah masyarakat miskin pedesaan. 

Pada tataran yang lebih luas, program DeMAM mengingatkan kita pada strategi pemerintah China menghadapi krisis keuangan global ketika krisis moneter mengguncang dunia. China mengambil langkah tak biasa, dengan melegalkan keberadaan para rentenir untuk memudahkan akses masyarakat mendapat dana segar.

Tujuannya cuma satu, untuk memacu pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) sekaligus menggerakan sektor riil yang mati suri dihantam badai krisis moneter. Pada konteks ini, melalui DeMAM, FLR membuka akses pendanaan bagi warga untuk menumbuhkan iklim usaha di desa. DeMAM menjadi jawaban atas sulitnya akses warga miskin pada sumber pendanaan seperti perbankan. 

Dalam dunia pemberdayaan, beberapa lembaga pemberdayaan masyarakat juga mulai memasukan micro entrepreneurship sebagai salah satu domain kerja mereka. Tujuannya pun tak lain untuk membudayakan jiwa wirausaha dan mengangkat derajat kehidupan masyarakat secara ekonomi. 

Sebagai dana stimulus, bujet program DeMAM Rp.250 juta kala itu, tidak menjamin kemandirian masyarakat desa. Asumsi yang dibangun adalah bagaimana mengefektifkan dana itu agar mampu; pertama, menggerakan inisiatif dan budaya wirausaha masyarakat desa untuk secara kolektif mengembangkan perekonomian mereka sebagai satu solusi mengatasi isu kemiskinan yang dihadapi. 

Kedua, impact DeMAM diharapkan bisa membawa perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat, untuk menjadikan sumber-sumber potensi (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, kerajinan rumah tangga) bernilai produktif ekonomis bagi kesejahtraan hidup.

Visi ini cukup relevan dengan hakekat fungsi bujet DeMAM yakni menjadi dana abadi yang bergulir di desa dan menjadi daya dorong petumbuhan ekonomi desa. Sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat, DeMAM mencerminkan nilai keberpihakan pada warga desa dari seorang FLR. 

Dari sisi waktu dan momentum, terobosan FLR ini seperti sebuah cetak biru lahirnya program serupa, seperti program dana desa dari pemerintah pusat.  FLR pada masanya, memiliki peta konsep pembangunan NTT berbasis ekonomi kerakyatan yang jernih dan DeMAM adalah salah satu evidensnya. Terlepas dari ragam kritik terhadap implementasi DeMAM, terutama soal kontaminasi politik, program ini tetap memberikan banyak pelajaran berharga, dari sudut pandang pendekatan pemberdayaan sebagai salah satu alternatif model pembangunan di NTT. 

Sebagai pemimpin, melalui DeMAM, FLR menunjukan sisi keberpihakannya pada masyarakat kecil di desa sebagai entitas utama. DeMAM telah menjadi ladang pembelajaran banyak warga desa, misalnya soal tata kelola aset dan potensi desa. 

Peternakan merupakan salah satu sektor usaha unggulan.  Banyak kelompok usaha membudidayakan sapi lokal. DeMAM akhirnya berkontruibusi dalam menjaga dan meningkatkan populasi sapi lokal, komoditas ternak yang dimiliki warga turun temurun.  

DeMAM tidak terobsesi pada spesis sapi premium, apalagi melibatkan korporasi bahkan mengokupasi lahan rakyat atas nama budidaya sapi varian unggul. Sekali lagi ini bukti, FLR pro rakyat, bukan kapitalis.  

Minggu, 19 Desember 2021, tepat sehari sebelum HUT ke-63 provinsi NTT, Frans Lebu Raya, arsitek progam DeMAM berpulang memenuhi panggilan sang Ilahi. FLR dan raganya telah pergi, tetapi karya dan pemikirannya hidup dan berkembang di berbagai tempat di NTT.

2 تعليقات

  1. Sebenarnya DEMAM konsepnya sederhana, berusaha bersama sama dental support modal dari Pemerintah. Selagi manusia masih membutuhkan barang untuk memenuhi kenituhan hidupnya, maka DEMAM berjalan mulus.





    ردحذف
    الردود
    1. Betul, tantangannya adalah masyarakat pedesaan belum terbiasa mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok usaha..ini bedanya, karena DeMAM menggunakan basis kelompok bukan keluarga sebagai pintu masuk intervensi..Peran pendamping penting di sana🙏

      حذف

إرسال تعليق