Istimewa

 Sektor pendidikan berkembang sangat dinamis. Kebijakan, kurikulum, system evaluasi dan rekrutmen guru terus berubah sesuai tuntutan zaman. Soal akses, fasilitas belajar masa kini jauh lebih mudah dijangkau, ketimbang masa lalu. Sekolah-sekolah SD, SMP, SMA/SMK bertebaran di pelosok-pelosok kampung. Pada era tahun 80-90-an, SMA/SMK umumnya  berada di kota kabupaten, tetapi kini hampir semua kecamatan memilkinya.

Kondisi ini tak lepas dari partisipasi masyarakat dalam menginisiasi pembukaan sekolah baru. Andil masyarakat dalam menyiapkan lahan dan membuat usulan ke pemerintah harus diapresiasi. Sebagai contoh, di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), pada periode 2017-2018 saat peralihan kewenangan dan tanggungjawab dari pemerintah daerah ke pemerintah provinsi, jumlah SMA/SMK/SLB masih di angka 40-50-an. Saat ini, angka itu bertambah mencapai 90 sekolah. Ini belum termasuk SD, SMP yang baru. 

 Anak-anak pelosok yang dulu harus merantau ke kota untuk melanjutkan jenjang pendidikan menengah,   kini bisa bersekolah di kampung sendiri. Inilah dampak nyata dari upaya mulia masyarakat, dalam mendekatkan akses layanan pendidikan untuk anak-anak mereka. 

Akan tetapi, urusan pendidikan tidak hanya cukup dengan ketersediaan akses. Butuh variabel lain yang menentukan, bagaimana nantinya sekolah itu berjalan setelah didirikan. Ketersediaan tenaga pendidik dan sarana prasarana pendukung kegiatan belajar adalah contohnya.  Dua faktor ini secara langsung berimplikasi pada mutu layanan pembelajaran.

 Selama seminggu berada di sebuah SMA Negeri  yang baru di wilayah Kolbano, saya menyaksikan perjuangan berat kepala sekolah menata sekolah ini dalam situasi penuh keterbatasan. Ia satu-satunya guru PNS, memimpin tim kecilnya, guru-guru muda fresh graduate. Beberapa mata pelajaran masih kekosongan guru. Proses pembelajaran biasanya berlangsung dalam empat ruang kelas berdinding bilah-bilah bambu dan berlantai tanah, dengan meubeler seadanya. Sekolah memiliki enam rombongan belajar, ruang kelas yang tersedia hanya empat, dipakai bergantian. Jangan tanya ruang guru, perpustakaan, laboratorium, fasilitas ini belum ada. 

 Kemampuan menyediakan fasilitas ini, sudah tak lagi dalam jangkauan masyarakat sebagai inisiator berdirinya sekolah-sekolah baru. Peran tersebut kemudian beralih ke tangan pemerintah, begitu otoritas pemerintah melalui dinas pendidikan menerbitkan Surat Ijin Operasional Sekolah. Ijin operasional tersebut menjadi penegas, bahwa urusan dan nasib sekolah selanjutnya banyak bergantung pada campur tangan pemerintah. 

Setelah menerbitkan surat ijin operasional, tentu saja itu mengubah data jumlah sekolah pada system database dinas pendidikan. Pertambahan data sekolah berdampak pada kebijakan anggaran. Baiknya, sekolah-sekolah yang baru berdiri ditempatkan dalam daftar prioritas teratas untuk mendapatkan intervensi anggaran. Kelompok sekolah ini tidak boleh dibiarkan bersaing dengan sekolah di kota yang telah berkembang, untuk merebut ‘kue’ anggaran yang terbatas.

Jika tidak, sisi kemuliaan mendirikan sekolah untuk mendekatkan layanan pendidikan, gugur, karena malah memperlebar disparitas mutu pendidikan antara sekolah yang mapan dan sekolah baru, apa lagi di pelosok desa.  

Kelompok sekolah baru tidak bisa diletakan sejajar dengan sekolah-sekolah yang sudah mapan. Mungkinkah dalam tahun anggaran tertentu, dana DAK fisik hanya diperuntukan bagi sekolah-sekolah yang baru berdiri 4-5 tahun terakhir? Bagaimana jika fokus pembangunan lebih besar dicurahkan untuk sekolah-sekolah baru di wilayah pelosok? Ini adalah opsi-opsi yang tersedia.  Harapannya, dalam lima tahun pertama sekolah berdiri, terdapat perubahan fisik sarana belajar dan memiliki kecukupan tenaga pendidik. Bukankah pendidikan itu memang dinamis?

Perubahan secara fisik, dapat berpengaruh positif pada kenyamanan dan motivasi  belajar murid.  Ruang belajar yang layak, disertai sarana pendukung seperti perpustakaan, laboratorium di suatu sekolah, diperlukan untuk membangun kepercayaan orang tua dan masyarakat umum, bahwa sekolah tersebut tumbuh dan berkembang. 

Aspek krusial lain yang dihadapi sekolah baru adalah rasio tenaga PNS dengan non PNS. Di sekolah negeri, posisi bendahara BOS wajib hukumnya diemban oleh guru PNS. Maka jangan heran, jika ada kepala sekolah yang merangkap bendahara BOS, membuat SK pengangkatan sebagai bendahara untuk dirinya sendiri. Kondisi ini tentu saja tidak ideal dalam sistem manajemen dan tata kelola anggaran sekolah. 

Redistribusi guru bisa menjadi solusinya. Sekolah yang memiliki kelebihan guru-guru PNS pada pelajaran tertentu, bisa dimutasi ke sekolah baru yang membutuhkan tenaga mereka. Opsi lainnya adalah memprioritaskan kebutuhan guru di sekolah baru dalam sistem rekrutmen, misalnya melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).  Selain itu, dinas pendidikan atau BKD, juga bisa membuat kebijakan bagi PNS yang ingin pindah ke sekolah baru dengan syarat dan ketentuan . 

Bagaimanapun, sekolah, masyarakat, dan pemerintah adalah satu kesatuan dalam ekosistem pendidikan yang saling berbagi peran. Layanan pendidikan yang bermutu hanya akan tercapai, jika ketiga unsur tersebut berkolaborasi bersama.  

Banyak sekolah baru di pelosok negeri, berdiri dengan tetesan keringat warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak. Guru-guru bekerja, memfasilitasi pembelajaran untuk memastikan tujuan orang tua itu tercapai. Pemerintah sebagai representasi negara, berperan menyediakan fasilitas pembelajaran yang layak, untuk menjamin terpenuhinya hak warga mengakses layanan pendidikan yang bermutu.

Saat ini, sekolah-sekolah yang baru dirintis, membutuhkan empati semua pihak, karena di sana banyak murid belajar dalam kondisi yang memprihatinkan. 

Post a Comment