Istimewa
Budaya literasi telah menjadi salah satu variabel utama, yang mempengaruhi  setidaknya lima aspek penting, yang meliputi  kompetensi peserta didik, kinerja guru, capaian pembelajaran di kelas, kinerja sekolah secara institusi dan kualitas pendidikan secara umum.  

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah organisasi yang menginisiasi Program for International Students Assessment (PISA) yang mengukur kemampuan  sains, literasi dan numerasi murid di Asia Tenggara. Laporan hasil studi PISA  berpengaruh signifikan terhadap kampanye literasi di Indonesia. Sekolah sebagai salah satu lokus penumbuhan budaya literasi, kerap mendapat sorotan. Kepala sekolah dan guru-guru bertanggung jawab penuh, pada bagaimana membangun budaya literasi di kalangan murid, dan warga sekolah secara umum. 

Secara alamiah, sekolah memiliki kapasitas  dan sumber daya untuk membekali muridnya dengan kemampuan literasi dasar membaca dan menulis, melalui proses pembelajaran di kelas. Sayangnya, hasil studi  PISA  mematahkan hipotesis ini. Laporan PISA tahun 2018 menunjukan skor rata-rata pelajar Indonesia pada kemampuan membaca yaitu 371, jauh di bawah rata-rata OECD 487. Untuk matematika, skor rata-rata Indonesia 379, sedangkan rata-rata OECD 489.  Performa pelajar Indonesia di bidang literasi dan numerasi  butuh  intervensi  ekstra, tidak cukup  dengan pembelajaran di kelas. Maka tidak heran, diksi literasi menjadi sangat populer dalam system pendidikan Indonesia saat ini. Pemerintah terus mendorong penguatan peran satuan pendidikan, sebagai pusat lahirnya budaya membaca dan menulis sejak usia dini. Kerja keras pemerintah dalam kampanye literasi, menurut saya dapat direfleksikan melalui dua program strategis berikut.

Pertama, transformasi format evaluasi dari Ujian Nasional (UN) yang berbasis konten ke Asesmen Nasional (AN) yang berbasis kompetensi. UN  memacu guru untuk mengajar dengan muatan materi pelajaran yang banyak.  Di sisi lain AN dirancang untuk mengukur kemampuan literasi dan numerasi murid. AN mendorong guru untuk mengajar materi disesuaikan dengan kemampuan murid. Fokus AN pada aspek literasi dan numerasi didukung oleh kombinasi sajian soal berbentuk teks, studi kasus, tabel, grafik, infografis, data, yang menuntut kemampuan membaca dan memahami yang baik. 

Kedua, pada tahun 2015, pemerintah melalui Kemendikbud meluncurkan program  Gerakan Literasi Sekolah (GLS).  GLS didesain merujuk pada Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.  Cakupan kegiatan literasi tidak hanya membaca, tetapi juga meliputi kegiatan menulis, contoh meringkas, menceritakan kembali, meresensi, paraphrase,  serta beretorika (berpidato, debat , deklamasi dan sebagainya).  Permendikbud ini membuka ruang kreatifitas yang luas bagi manajemen sekolah,  dalam mengembangkan ragam keterampilan murid. Singkatnya, sekolah punya landasan hukum untuk melakukan terobosan dan merancang program melalui Gerakan Literasi Sekolah.

Bagaimana GLS mestinya dijalankan? 

Dengan perangkat aturan yang ada, tugas manajemen satuan pendidikan di berbagai jenjang adalah menerjemahkan GLS dalam bahasa program. Manajemen yang peka, akan memanfaatkan segala potensi dan kekuatan (SDM, anggaran, sarana belajar) untuk menjalankan program –program literasi sekolah. 

Pada November 2021, saya mengawasi jalannya asesmen nasional murid SD yang meminjam  pakai perangkat komputer sekolah kami.  Pesertanya adalah murid-murid kelas IV dan V. Sedih sekali ketika itu, melihat sebagian besar peserta begitu kesulitan membaca narasi soal dan memahami instruksinya. Apakah kesulitan murid-murid ini, cukup menjelaskan seperti apa geliat literasi di sekolah mereka? Entahlah, tetapi idealnya budaya literasi harusnya dibiasakan sejak usia dini. 

Hemat saya, cara murah membangun budaya literasi di sekolah adalah melalui pembiasaan secara konsisten. Apa lagi jika prosesnya melibatkan seluruh komponen warga sekolah, itu merupakan kekuatan yang bisa membawa perubahan besar. Untuk memulainya, manajemen perlu memetakan potensi sumber daya yang tersedia di sekolah. Bahan bacaan di perpustakaan,  guru-guru bahasa dan rancangan kegiatan adalah beberapa aspek yang perlu dipetakan. Jadikan guru-guru bahasa, atau guru lain yang menyukai aktifitas literasi sebagai motor utama gerakan. Tempatkan mereka dalam struktur komunitas literasi sekolah. Perkuat peran perpustakaan, dengan menjamin ketersediaan bahan bacaan, tempat baca, mading, blog atau web sekolah  sebagai wahana menulis. Dorong para pengelolanya untuk mendesain program membaca dan menulis. Tentukan satu hari dalam satu minggu sebagai hari membaca semua warga sekolah.  Gelar lomba membaca dan menulis puisi, artikel,  membuat resensi buku, debat, pidato. Jadikan jurnalistik sebagai kegiatan ekstra kurikuler.  

Di sisi lain, guru bertindak sebagai teladan. Wajibkan setiap guru menulis di mading , web atau blog sekolah. Guru tidak boleh mendikte murid dalam aktifitas literasi dengan perintah verbal, tetapi tindakan nyata. Bagaimana guru meminta murid untuk membaca, jika murid-murid jarang melihat gurunya membaca di perpustakaan sekolah? Inilah pembiasaan yang murah dan mandiri, yang mungkin bisa berkembang menjadi salah satu budaya positif di sekolah. 

GLS tidak harus menyedot anggaran sekolah, membayar fasilitator dari luar untuk melatih murid, apa lagi guru, perihal menulis.  Ingat, menulis itu adalah keterampilan yang harus dilatih berulang-ulang agar terbiasa. Keterampilan menulis tentu saja tidak bisa dikuasai dalam satu dua hari pelatihan. 

Ibarat pedang, keterampilan menulis perlu diasah berulang kali, agar Ia tajam dan karenanya proses itu membutuhkan waktu. Bagaimana melatih orang untuk menulis tanpa membiasakannya membaca? Sasaran GLS adalah murid dan guru yang memiliki karakter gemar membaca, paham apa yang dibaca, lalu mampu menuangkan gagasan dalam tulisan, bukan melatih orang untuk semata-mata menulis. 

GLS yang dijalankan dengan pola demikian merupakan sebuah gerakan yang rapuh, karena menggambarkan basis pikiran kita yang berorientasi pada hasil akhir, bukan kekuatan proses. GLS tidak diukur dari berapa banyak tulisan yang dimuat di media massa atau berapa buku yang diterbitkan.  GLS merupakan gerakan moral, yang lahir dari kesadaran bersama para warga sekolah, untuk menanamkan rasa cinta pada pengetahuan melalui aktifitas membaca, dan seni menuangkan gagasan dalam tulisan maupun beretorika. Di ranah pendidikan, itulah yang disebut budi pekerti. 

Post a Comment