MN Aba Nuen

Pendaftaran Calon Guru Penggerak (CGP) angkatan 10 sejak dibuka pada 17 Juli 2023 telah berakhir pada 4 Agustus 2023. Di Nusa Tenggara Timur, data yang dirilis Balai Guru Penggerak NTT per Sabtu, 5 Agustus pukul 10.01 WITA atau sehari setelah penutupan pendaftaran menarik untuk ditelaah.


Jumlah guru yang mendaftar sebanyak 18.411 orang, yang tersebar di 26 kabupaten/kota kecuali Sumba Tengah yang masuk katagori daerah khusus.  Angka pendaftar terendah berasal dari kabupaten Malaka dengan jumlah 245 guru. Sementara jumlah guru yang mendaftar paling banyak, berasal dari kabupaten Manggarai Timur yaitu 1.522 orang. 


Total 18.411 guru yang mendaftar, sebanyak 13.140  guru gagal mengirim berkas, yang dalam katagorisasi by sistem, kelompok ini disebut kandidat. Sisanya, hanya 5.270 guru yang berhasil mengirim berkas dan berhak dinilai oleh para asesor pada seleksi tahap I. 


Yang menarik, posisi kota Kupang sebagai barometer kualitas pendidikan di NTT, justru jumlah guru yang melamar hanya 736 orang, lebih sedikit dibandingkan misalnya, Sabu Raijua dengan 896 pendaftar, atau Nagekeo yang mencapai 866 guru. Begitu pula posisi Timor Tengah Selatan (TTS), sebagai daerah dengan populasi guru yang besar di NTT, jumlah guru yang mendaftar sebanyak 1.206, lebih kecil dari Timor Tengah Utara (TTU) yang mencapai 1.401 orang. 


  Dari 5.271 guru atau 28,64% yang berkasnya berhasil diajukan, tiga kabupaten dengan  jumlah tertinggi adalah kabupaten Ende mencapai 516 orang, diikuti TTU 440 guru, Manggarai Timur 413 guru dan terendah di Malaka sebanyak 55 guru, serta Lembata 61 orang.  


Statistik ini dapat mewakili beragam tafsir, misalnya tentang kesadaran guru untuk mengembangkan kompetensi diri, motivasi untuk mempelajari hal baru, termasuk kompetensi spesifik tertentu yang gagal dipenuhi para guru pendaftar. Menulis misalnya. 


Tulisan ini ingin memberi garis tebal, pada kemampuan menulis para guru sebagai salah satu faktor kunci, penyebab kegagalan ribuan guru untuk menjadi guru penggerak. Seleksi CGP terdiri atas dua tahap. Tahap pertama meliputi pengisian daftar riwayat hidup, unggah dokumen penting dan menulis esay. Seleksi tahap dua mencakup simulasi mengajar dan wawancara. Hanya pendaftar yang lolos seleksi tahap I, yang berhak mengikuti simulasi mengajar dan wawancara. 


Saya menduga, kegagalan 71,31% atau 13.140 guru yang tidak mengirim berkas, erat kaitan dengan aspek kemampuan menulis esay. Indikasi awalnya, dari 11 guru yang pernah saya dampingi selama pendaftaran, 5 guru diantaranya memilih mundur, enggan menyelesaikan tahapan menulis esay, meski telah mengisi daftar riwayat hidup. Tahapan esay sangat menguras otak, karena mewajibkan para pendaftar menuangkan gagasan dan pengalaman dalam bahasa tulis. Hal yang tampak mudah, karena pelamar hanya perlu mengembangkan ide sesuai pertanyaan pemantik yang disiapkan di aplikasi pendaftaran. Akan tetapi bagi mereka yang jarang berlatih menulis, ini tantangan besar. 


Secara kuantitatif, 13.140 adalah angka yang signifikan, dan dapat menjadi petunjuk bagi upaya peningkatan kapasitas guru oleh para pihak terkait. Pihak pertama yang wajib merenungkannya adalah guru. Data ini mesti menyentuh alam bawah sadar kita sebagai pendidik, untuk berefleksi, sekaligus menjadikannya sebuah otokritik, atau menjadi jalan pintas (short cut) untuk menelusuri lebih jauh, tentang bagaimana para guru membangun regulasi diri di bidang literasi.


Membaca dan menulis adalah inti dari literasi. Keduanya beririsan kuat dengan kerja kognisi. Membaca, lalu menulis, akan memungkinkan seseorang untuk terbiasa berpikir logis dan  sistematis. Sebaliknya, dengan menulis, seseorang akan menjadikan aktivitas membaca sebagai prasyarat utama. Siklus ini akhirnya menjadi self regulation, standar diri seseorang yang dibangun dari pembiasaan. 


Lalu, apa urgensi menulis bagi para guru?  Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, memuat publikasi ilmiah sebagai salah satu unsur yang wajib dipenuhi seorang guru dalam kenaikan pangkat. Karenanya, menulis menjadi salah satu kebutuhan untuk pengembangan karir seorang guru. Lebih dari itu, tulisan yang dihasilkan guru merupakan cermin kekayaan intelektualitas, yang paling sederhana misalnya menulis bahan ajar. 


Pendidik adalah pekerja ilmiah, dan menulis dapat memacu seorang guru untuk terus mengumpulkan, mengolah dan mempublikasikan informasi. Bayangkan, jika guru menugaskan siswa menulis laporan proyek mata pelajaran, akan tetapi sang guru sendiri jarang menulis. 


Kedua, kegagalan ribuan guru juga merupakan  pesan bermakna bagi para kepala sekolah. Hasil Asesmen Nasional yang dituangkan dalam Rapor Pendidikan telah memberi cukup gambaran, tentang capaian kinerja sekolah di bidang literasi. Kini, hasil seleksi CGP seperti memperkuat data Rapor Pendidikan, bahwa kita memang harus berupaya keras memperkuat kemampuan literasi. 


Dengan melihat data Rapor Pendidikan dan capaian dalam seleksi CGP angkatan 10, manajemen sekolah dapat mereview kembali program-program literasi di satuan pendidikan untuk mengakomodir kebutuhan literasi dasar baik siswa maupun guru-guru.


Apa yang dilakukan sejauh ini di sekolah, adalah upaya untuk membangun budaya literasi di kalangan siswa. Pojok baca, mading, perpustakaan, ini adalah sarana simbolik sebagai manivestasi kebijakan literasi di sekolah dengan sasaran utamanya siswa.    Tetapi proses seleksi CGP angkatan 10 membawa pesan penting bagi para pendidik, bahwa sebenarnya guru-guru juga harus sadar untuk membiasakan diri  membaca dan menulis. Mari kita penuhi mading sekolah, web sekolah dengan tulisan-tulisan guru. Di media seperti itu, guru dan siswa bahkan dapat bersanding bersama sebagai penulis. 

Post a Comment