Dokpri MN ABA Nuen

Apakah guru-guru di Nusa Tenggara Timur (NTT) belum memandang aktivitas menulis sebagai sebuah kebutuhan yang menunjang profesi?  Pertanyaan ini muncul, dengan merujuk pada dua peristiwa penting yang melibatkan giat menulis para guru.


Pertama, dalam seleksi guru penggerak angkatan 10 tahun 2023, ada 18.411 guru yang mendaftar. Dari jumlah itu, sebanyak 13.140  guru gagal mengirim berkas berupa data diri dan naskah tulisan esai. Pengalaman di lapangan menunjukkan banyak guru mengalami kesulitan pada tahap menulis esai. Sisanya hanya 5.270 atau 28,62% yang berhasil mengirim berkas dan berhak dinilai oleh para asesor. 


Kedua, untuk memperingati Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2023, Balai Guru Penggerak (BGP) NTT menggelar kegiatan Apresiasi Guru Penulis Esai Merdeka Belajar. Sebanyak 214 guru yang mengirim naskah. Angka ini sangat kecil, hanya 0,39% jika melihat jumlah guru di NTT pada tahun 2022 menurut data Badan Pusat Statistik yakni mencapai 54.285 orang.


 Statistik ini dapat melahirkan beragam tafsir, misalnya tentang kesadaran guru untuk mengembangkan kompetensi diri, motivasi untuk mempelajari hal baru, termasuk pengembangan kompetensi spesifik tertentu yang belum menjadi prioritas, yakni menulis. 


Secara kuantitatif, jumlah guru yang gagal pada tahapan esai dalam seleksi guru penggerak angkatan 10 dan keengganan mengikuti lomba menulis esai merdeka belajar di BGP NTT sangat tinggi. Angka ini dapat menjadi petunjuk bagi upaya peningkatan kapasitas guru oleh para pihak terkait. Pihak pertama yang wajib merenungkannya adalah guru. 


Data ini mesti menyentuh alam bawah sadar kita sebagai pendidik, untuk berefleksi, sekaligus menjadikannya sebuah otokritik, atau menjadi jalan pintas (short cut) untuk menelusuri lebih jauh, tentang bagaimana para guru membangun regulasi diri di bidang literasi. 


Rendahnya minat menulis para guru juga menjadi paradoks, di tengah masifnya kampanye gerakan literasi sekolah yang melibatkan banyak pihak terkait, termasuk menghabiskan banyak anggaran sekolah. Perlu ada refleksi dan evaluasi, untuk menemukan formula yang tepat dalam membangun kebiasaan menulis guru-guru. 


Membaca dan menulis adalah inti dari literasi. Keduanya beririsan kuat dengan kerja kognisi. Membaca, lalu menulis, akan memungkinkan seseorang untuk terbiasa berpikir logis dan  sistematis. Sebaliknya, dengan menulis, seseorang akan menjadikan aktivitas membaca sebagai prasyarat utama. Siklus ini akhirnya menjadi self regulation, standard  diri seseorang yang dibangun dari pembiasaan. 


Lalu, apa urgensi menulis bagi para guru?  Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, memuat publikasi ilmiah sebagai salah satu unsur yang wajib dipenuhi seorang guru dalam kenaikan pangkat. Karenanya, menulis menjadi salah satu kebutuhan untuk pengembangan karir seorang guru. 


Lebih dari itu, tulisan yang dihasilkan guru merupakan cermin kekayaan intelektualitas, yang paling sederhana misalnya praktik baik pembelajaran dan menulis bahan ajar. Pendidik adalah pekerja ilmiah, dan menulis dapat memacu seorang guru untuk terus mengumpulkan, mengolah dan mempublikasikan informasi.


Bayangkan, jika guru menugaskan siswa menulis laporan proyek mata pelajaran, akan tetapi sang guru sendiri jarang menulis. Sekali lagi, ini adalah sebuah otokritik yang sempurna untuk membangun kebiasaan menulis.


Selain itu,  rendahnya aktivitas menulis  guru juga merupakan  pesan bermakna bagi para kepala sekolah. Hasil Asesmen Nasional yang dituangkan dalam Rapor Pendidikan telah memberi cukup gambaran, tentang capaian kinerja sekolah di bidang literasi. 


Gambaran  tahapan seleksi CGP angkatan 10 dan lomba penulisan esai merdeka belajar tahun 2023 seperti memperkuat data Rapor Pendidikan, bahwa kita memang harus berupaya keras memperkuat kemampuan literasi. 


Olehleh  karena itu, manajemen sekolah dapat mereview kembali program-program literasi di satuan pendidikan untuk mengakomodir kebutuhan literasi dasar baik siswa maupun guru-guru.


Apa yang dilakukan di sekolah sejauh ini, adalah upaya untuk membangun budaya literasi di kalangan siswa. Pojok baca, majalah dinding, perpustakaan, ini adalah sarana simbolik sebagai manifestasi kebijakan literasi di sekolah dengan sasaran utamanya siswa. Yang paling dibutuhkan adalah aksi untuk membangun kebiasaan membaca, menulis, menalar, beretorika, dan untuk itu role model utama di sekolah adalah guru-guru.

    

Fakta rendahnya minat menulis para guru di NTT merupakan pesan penting, bahwa sebenarnya guru-guru juga harus sadar untuk membiasakan diri  membaca dan menulis. Caranya sederhana,  penuhi majalah dinding sekolah, website, blog, media sosial, dengan tulisan-tulisan guru. Di media seperti itu, guru dan siswa bahkan dapat bersanding bersama sebagai penulis. Dengan begitu, guru tidak memoles kecakapan literasi murid dengan perintah verbal, tetapi dengan karya sebagai suri teladan. 

2 تعليقات

إرسال تعليق