Dokpri

Indonesia adalah negeri permai yang menyimpan potensi ragam bencana alam mematikan. Gempa bumi, erupsi gunung api, tsunami, banjir dan tanah longsor adalah contoh bencana alam yang sering terjadi. Data United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), Indonesia adalah negara paling rentan pada tsunami dari 265 negara yang disurvei. Kemungkinan terjadinya tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi ketimbang Jepang, dengan jumlah potensi korban mencapai 5.402.239 orang. ( www.bnpb.go.id).


Potensi bencana tersebut,  tak lepas dari letak Indonesia pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu, lempeng Benua Asia, Australia, Samudera Hindia dan lempeng Samudera Pasifik. Simpul potensi bencana juga dipicu oleh jalur sabuk vulkanik yang membentang dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Indonesia memiliki setidaknya 127 gunung api aktif yang bisa meletus setiap saat.  Kumpulan gunung-gunung api aktif ini membentang dari Aceh hingga Merauke, ke Utara Maluku hingga titik paling selatan Nusa Tenggara. Jalur Cincin Api adalah pemicu dari 90 persen gempa di dunia, dengan 81 persen diantaranya adalah gempa terkuat.


 Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2020 terjadi 2.925 kejadian bencana alam yang menyebabkan 370 jiwa meninggal, 39 orang hilang dan 536 orang luka-luka. (www.bnpb.go.id, 29/12/2020). Kajian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan pada 2019 memetakan 52.902 sekolah berada didaerah rawan gempa,2.417 sekolah rawan terhadap tsunami, 1.685 berada di jalur letusan gunung api, 54.080 sekolah rawan banjir dan sebanyak  15.597 sekolah beresiko pada tanah longsor.  Sampai dengan 18 Januari 2021, tercatat 103 sekolah terdampak bencana alam, dengan 39 diantaranya rusak berat.


 Di masa lalu, gempa dan tsunami Palu Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, adalah tragedi buruk di bidang pendidikan. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  tercatat sebanyak 2.736 sekolah yang terdampak gempa dan tsunami, serta lebih dari 100 ribu peserta didik dan 20 ribu guru yang berstatus meninggal dan hilang.


Bencana alam adalah peristiwa yang sulit diprediksi. Cara terbaik menghadapinya adalah dengan meningkatkan kesiapsiagaan. Perilaku siaga dapat mengurangi tingkat kerentanan dan memperkecil risiko jatuhnya korban dalam jumlah banyak.  Salah satu pintu masuk menggalang kondisi kesiapsiagaan bencana adalah sekolah. Sekolah merupakan ekosistem pendidikan. Guru, siswa, pegawai adalah komunitas dalam ekosistem itu. Komunitas ini termasuk kelompok rentan pada bencana alam. 


Karenanya, pemerintah punya kewajiban melindungi aset SDM dan infrastruktur pendidikan. Kewajiban itu diwujudkan melalui fungsi regulasi, misalnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan aturan turunan  Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana.

Peran manajemen sekolah

Menurut penulis, manajemen sekolah adalah otoritas utama dalam mewujudkan sekolah aman bencana.  Berdasarkan profil sekolah, didukung letak geografis dan riwayat kejadian bencana di masa lalu, manajemen bisa melakukan penilaian sederhana (assessment) tentang potensi bencana, identifikasi bahaya dan sistem keselamatan. Hasil penilaian itu bisa menjadi dasar bagi kepala sekolah untuk membangun sistem mitigasi bencana di sekolah yang partisipatif.


Sistem ini bergerak dengan instrument kelembagaan, misalnya manajemen  menginisiasi, Forum Pengurangan Risiko Bencana Sekolah (FPRBS).  Selain beranggotakan kepala sekolah, guru, dan siswa, pegawai,  media seperti ini akan mendorong terbukanya pintu partisipasi para pihak terkait (stakeholders), di luar warga sekolah untuk terlibat bersama dalam kerja melindungi sekolah dan warganya dari bencana. Para pihak itu antara lain, orangtua wali, komite sekolah, warga sekitar sekolah, otoritas kebencanaan pemerintah, pihak keamanan dan para medis. Inilah jejaring besar, yang  membantu manajemen sekolah dalam mewujudkan sekolah yang aman dan tanggap pada bencana.  


Intervensi penting dari sinergi tersebut misalnya, pertama, mengidentifikasi potensi bencana yang sering terjadi di wilayah sekolah dalam 5-10 tahun terakhir, dan merencanakan model respon serta sistem keselamatan yang sesuai. Pada tataran mitigasi, penentuan sistem dan prosedur keselamatan, serta model sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) adalah salah satu aspek penting. Instrumen EWS dapat berupa sirene, loudspeaker atau bahkan nilai kearifan lokal tertentu yang berlaku dalam komunitas sekitar sekolah. Semua dokumen terkait strategi respon, prosedur keselamatan, peta jalur evakuasi, sistem EWS wajib didokumentasikan di sekolah. 


Kedua, mengidentifikasi sumber daya pendukung (puskesmas, rumah sakit, kantor polisi, kantor SAR) yang terletak di dekat sekolah. Dalam kondisi darurat bencana, pihak-pihak  ini merupakan sumber daya penting yang akan memberikan respon cepat untuk warga sekolah. 

Ketiga, menyelenggarakan kegiatan latihan simulasi menghadapi bencana bagi warga sekolah secara rutin. Untuk kegiatan ini, FPRBS bisa bekerjasama dengan otoritas pegiat bencana seperti BPBD dan SAR sebagai fasilitator. Simulasi secara rutin penting dilakukan untuk menjaga tingkat kepekaan warga sekolah dan FPRBS pada bahaya bencana, strategi respon dan sistem keselamatan, mengenali EWS, jalur dan peta evakuasi di sekolah. 

Keempat, memastikan jalannya proses edukasi, diseminasi informasi, pengetahuan dan konsep kesiapsiagaan di sekolah kepada peserta didik dan warga sekolah. Pada jalur akademik, misalnya melalui mata pelajaran Geografi sebagai pintu masuk. Wadah pramuka sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sekolah juga memiliki peran strategis, untuk mengenalkan konsep kesiapsiagaan bencana kepada para peserta didik. Selain itu, media publikasi di sekolah seperti (majalah dinding, blog, website sekolah, media sosial) juga efektif sebagai wahana sosialisasi informasi. 

Kelima, melakukan evaluasi dan pemutakhiran rencana aksi, termasuk penggunaan sistem peringatan dini untuk menciptakan kondisi kesiapsiagaan di sekolah. Sekolah sebagai pusat anak-anak menimba ilmu pengetahuan dan membentuk karakter, harus aman dari dampak destruktif bencana alam. Kondisi ini akan menjamin kesinambungan pengembangan SDM dan memastikan keamanan investasi infrastrukur pendidikan. 

Versi cetak artikel ini telah dimuat di Harian Victory News, Jumat, 19 Februari 2021.
























Post a Comment