Oleh Mariana O. Banfatin, S.Pd. Guru Kimia SMAN Kualin. Pernah terlibat dalam pendidikan guru penggerak angkatan 7 dan partisipan program School Leadership Workshop tahun 2024.

Ki Hadjar Dewantara (KHD) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sebuah kalimat yang cukup sederhana tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. 


Ketika membaca kalimat ini, memori saya di bawah ke salah satu kelas yang saya ajarkan 2 tahun lalu. Sebelum saya ada di kelas ini, saya sering mendengar cerita bahwa kelas yang ini diisi oleh anak-anak yang kehadirannya bagus, mereka kreatif, kompak, dan kompetitif atau bisa saya katakan kelas ini adalah kelas favorit para guru.


Kesan pertama saya saat pertama kali masuk ke kelas ini sangat luar biasa. Saya bisa merasakan kebahagiaan dan sukacita anak-anak di kelas ini. Mungkin inilah yang dimaksud oleh KHD dengan kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya, dan mungkin ini juga yang membuat anak-anak ini rajin ke sekolah, kreatif, dan kompak. 


Tiga kali kegiatan pembelajaran di kelas ini, tidak pernah sekalipun saya menemukan anak-anak ini tidak bersemangat, mereka selalu menyambut saya dengan mata berbinar. Kelas ini benar-benar kelas yang menyenangkan.


Tiga pertemuan awal yang sangat menggairahkan, tetapi di pertemuan ketiga ini saya menemukan bahwa di balik kebahagiaan dan kekompakan kelas, ternyata ada satu anak yang seperti dilupakan. Seorang anak yang tidak pernah hadir di kelas saya. 


Dari informasi yang saya kumpulkan, saya menemukan bahwa keadaan ini sudah berlangsung dua tahun dan inilah yang membuat rekan-rekannya seperti tidak peduli terhadap kondisinya. Selama dua tahun ini sudah banyak cara ditempuh oleh teman-teman, wali kelas, maupun guru BK tetapi tak membuahkan hasil. Informasi ini benar-benar mengganggu saya. Ada kerinduan di hati saya untuk bertemu dan berbagi dengan anak ini.


Saya berpesan kepada teman-temannya untuk menghubungi saya jika anak ini hadir. Di luar dugaan, anak ini hadir di pertemuan keempat. Saya coba berkomunikasi dengannya tetapi tidak ada informasi apa-apa yang saya dapatkan. Hampir 30 menit diskusi kami, tidak ada satu informasi yang saya dapatkan. Anak ini hanya diam mematung, tanpa ekspresi, tidak sepatah katapun diucapkan.


 Karena tidak mendapatkan apapun, saya coba dengan memberikan secarik kertas berisi beberapa pertanyaan untuk dijawabnya. 30 menit saya berikan kepadanya untuk menyendiri menuliskan tentang dirinya dalam kertas tersebut tetapi tidak satu huruf yang Ia tulis. 1 jam tanpa hasil. Saya mengambil kertas yang dipegangnya, lalu mengatakan bahwa saya menghargai keputusannya untuk diam dan berharap dia mau berubah.


Tidak ada perubahan berarti setelah tindakan yang saya ambil tersebut. Langkah berikut yang saya tempuh adalah dengan mengajak teman-temannya untuk tidak menghakimi dia ketika dia ada di kelas. Saya mengajak mereka menunjukkan keramahan mereka kepadanya ketika dia ada di kelas. Ide ini disambut baik oleh teman-temannya. 


Saya coba gali lagi lebih dalam tentang latar belakang anak ini dan saya temukan kurangnya motivasi anak ini untuk hadir di sekolah juga disebabkan oleh kurangnya dukungan dari keluarga. Keluarganya sudah menyerah dalam mengurus anak ini, karena anak tersebut sudah jarang ada di rumah. Menurut pandangan mereka anak ini sudah tidak bisa lagi diatur.


Setiap anak ini hadir di sekolah, saya selalu menyempatkan diri untuk menyapanya. Menyemangati dan mengapresiasi kehadirannya di sekolah, sampai pada suatu waktu saya coba memanggilnya untuk  berdiskusi lagi. Kali ini ada perubahan yang saya dapati, dia mulai tersenyum ketika ada kalimat-kalimat tertentu saya ucapkan, dan dia mulai merespon dan menjawab pertanyaan saya. Dalam perbincangan kami, saya mencoba menerapkan salah satu langkah restitusi dalam penerapan disiplin positif dengan menstabilkan identitasnya.


Kepadanya, saya  mengatakan bahwa semua orang pernah berbuat salah, termasuk saya. Beberapa saat kemudian saya mencoba menanyakan keyakinannya (seek the belief) dengan bertanya tentang apa mimpinya untuk hidupnya 5 atau 10 tahun ke depan. Perubahan besar terlihat di wajahnya. 


Sejenak dia terdiam, senyum yang awalnya merekah sejenak berubah menjadi sumbang, suasana yang hangat berubah menjadi kaku.  Beberapa menit kemudian dengan senyum sinis dan tatapan kosong dia menjawab, “tidak tahu”. Mendengar dua kata itu, saya tersenyum. 


Dibenak saya hanya satu, anak ini perlu dibantu untuk keluar dari tantangan yang dihadapi. Saya harus melakukan coaching untuk membantunya menemukan jalan keluar untuk tantangan yang dihadapinya.  Saya menggali lebih jauh tentang apa yang ada dipikirannya dengan memberi kesempatan dia bercerita. Menempatkan dia sebagai coachee, saya berusaha memunculkan banyak pertanyaan yang mampu menggugahnya untuk bercerita. 


Berpedoman pada salah satu kompetensi inti coaching  tentang bagaimana mengajukan pertanyaan berbobot, maka sedapat mungkin saya berusaha untuk menghindari kata tanya “mengapa”, saya selalu bertanya dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat”. Tanpa sadar diskusi mengalir begitu saja. Sesekali dia terdiam berapa saat, menarik napas dalam kemudian melanjutkan ceritanya. Sesekali juga dia membuang tatapannya jauh. 


Terkadang ada rasa penyesalan, terkadang juga terdengar seperti ada amarah dalam ceritanya. Saat dia diam, saya berusaha manahan diri untuk tidak memberondongnya dengan pertanyaan lain. Saya juga berusaha tidak menghakiminya atau memberi label tertentu padanya.


Perlahan saya menuntunnya untuk menemukan solusi dari tantangan yang dihadapinya. Saya bertanya, “situasi ideal seperti apa yang dia inginkan agar bisa hadir di sekolah”, “apa yang perlu dilakukannya untuk dapat sampai pada kondisi yang dia inginkan”, serta bantuan seperti apa yang dia butuhkan”.


Diakhir diskusi kami, anak ini menetapkan tekadnya dan berkomitmen untuk terus hadir di sekolah. Ketika saya bertanya siapa yang dia percaya untuk membantunya menjaga komitmen ini, saya bahagia karena ternyata dia memilih salah satu teman kelasnya. Itu artinya dia percaya pada teman kelasnya, dan itu juga berarti teman-temannya sudah berhasil menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan bahagia untuknya. 


Dia berhasil membuktikan kepada saya komitmennya. Dalam setiap pembelajaran di kelas, dia selalu berusaha untuk maksimal walaupun dengan keterbatasan yang dia miliki. Dia berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan baik.


Dua hal penting yang saya pelajari dalam pendidikan guru penggerak berhasil membawa anak ini keluar dari tantangan yang dihadapi. Penerapan restitusi yang dilakukan dengan praktik coaching membawa anak ini menjadi selamat dan bahagia.


Dari kisah ini saya belajar bahwa ada murid yang hanya akan merespon ketika dia dapat merasakan ketulusan gurunya. Ketika kita menggunakan hati maka tentunya akan masuk juga ke hati yang dituju. Pelajaran lain juga yang saya dapatkan adalah ada anak yang sudah dicintai di rumahnya  dan dia hadir di sekolah untuk belajar, tetapi ada anak lain datang ke sekolah tanpa tahu untuk apa dia ada di sekolah. Dia hanya datang untuk dicintai.


Artikel ini merupakan output kemitraan lab menulis.com dan SMAN Kualin melalui Workshop Penulisan Karya Ilmiah dan Artikel Tahun 2024

Post a Comment