Oleh Maria H. Bere, S.Pd.
Guru Sejarah SMAN Kualin
Alumnus FKIP Pendidikan Sejarah
Undana Kupang

Perkembangan teknologi di era globalisasi, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya  masyarakat. Sebagai contoh, konten- konten di media sosial yang bernuansa Eropa mudah ditemui, dan cenderung mempengaruhi pola pikir Masyarakat. Fenomena ini, terjadi juga di masyarakat Kecamatan Kualin Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).


 Dampak dari penyerapan budaya Eropa oleh masyarakat Kualin terlihat dari cara berpakaian terkhususnya anak-anak muda, yang tidak lagi menunjukan budaya ketimuran. Cara berpesta anak-anak muda, cenderung identik dengan minuman keras (miras). Cara berbicara yang tidak lagi  menghargai orang lebih tua, termasuk guru-guru di sekolah. Dampak lain yang muncul adalah, lunturnya kecintaan anak-anak muda pada kegiatan yang bernuansa budaya daerah. 


Merespon situasi demikian, SMAN Kualin di Kabupaten TTS memiliki program untuk membuat anak-anak lebih mencintai budaya daerahnya sendiri. Dalam kurikulum pembelajaran mata pelajaran Prakarya, siswa dilatih menenun kain motif daerah TTS. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler, juga menjadi wadah untuk memperkenalkan dan mempertahankan kebudayaan masyarakat TTS khususnya masyarakat Kualin. 


Salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi wadah pelestarian budaya adalah, seni tari. Kegiatan ekstrakurikuler seni tari dibimbing oleh guru pendamping yang melatih anak-anak berbagai jenis tarian. Tarian yang dilatih  oleh pembimbing, merupakan tarian tradisional dan juga tarian modern. Sesuai pengalaman saya,  kenyataannya anak-anak yang memilih kegiatan ekstrakurikuler seni tari, lebih banyak yang menyukai tarian modern. 


Saat latihan rutin, pada pertemuan mingguan ataupun pada saat akan mengikuti event lomba, anak-anak lebih memilih untuk mengikuti lomba tarian modern. Saat dipilih untuk mengikuti lomba tarian tradisional, anak- anak menolak sehingga guru pembimbing harus memaksa untuk berlatih. Ada beragam alasan penolakan, salah satu alasan mereka adalah tidak mengetahui tarian-tarian tradisional. 


Berbeda dengan tarian tradisional, sebagian besar anak-anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seni tari lebih menyukai tarian modern. Ketika ada perlombaan, banyak siswa yang mendaftar dan memilih tarian modern.  Ini indikasinya, bahwa memang pergeseran nilai-nilai budaya lokal itu nyata ada.


Indikator ini merupakan contoh nyata, bahwa masyarakat Kualin, khususnya anak-anak muda yang adalah generasi penerus bangsa, sudah kehilangan nilai kebudayaan asli daerahnya sendiri. Sebaliknya, kecintaan pada budaya luar justru lebih kuat. Apakah ini salah orangtua? Atau juga salah guru yang sehari-hari mengajar anak-anak di sekolah? 


Mari kita sebagai orangtua maupun guru, bekerja sama untuk meminimalisir ketimpangan yang sudah terlanjur terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Sebagai orangtua mari, kita sisipkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari di keluarga.


 Dan sebagai guru, mari kita tanamkan nilai cinta budaya daerah pada setiap mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan peringatan hari besar nasional di sekolah. 


Mari  membimbing anak didik kita yang adalah generasi penerus bangsa, untuk mencintai budaya daerah, karena budaya  adalah simbol identitas kita. 



Post a Comment