Foto ilustrasi : www.vectorstock.com

Kegiatan pembelajaran di kelas adalah medan pembuktian kualitas guru. Di kelas, guru berhadapan dengan puluhan siswa dengan ragam keunikan dan  karakter.

Untuk itu diperlukan, pertama, metode mengajar yang tepat untuk memfasilitasi keberagaman itu. Faktanya, kurikulum pendidikan kita cenderung memandang kemampuan siswa sama rata, pada hal setiap siswa pada hakekatnya memiliki minat dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. 

Karena itu, analisis kebutuhan belajar siswa, perlu dilakukan untuk mengeliminasi stigma negatif, dimana guru kerap menggunakan sudut pandang mereka untuk mempersepsikan siswa sebagai tidak pintar, kurang mampu dan lain sebagainya.

Dengan mengenali kebutuhan siswa, guru kemudian  bisa menentukan intervensi apa yang cocok agar mampu memunculkan potensi terbaik anak.

Metode pengajaran yang tepat, juga bisa menjadi jembatan terciptanya layanan pembelajaran di kelas yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Batu loncatan untuk mewujudkan kondisi kelas yang demikian, salah satu diantaranya terletak pada sumber dan media pembelajaran.

Dengan strategi pengajaran sesuai kebutuhan belajar siswa, guru memanfaatkan media belajar yang atraktif untuk mendukung pembelajaran berkualitas dan mengangkat prestasi siswa.

Kedua,  pelibatan siswa dalam proses belajar adalah hal yang krusial. Konteks pelibatan itu semisal, mendesain pembelajaran berbasis dialog, diskusi, atau proyek. Pendekatan seperti ini akan menstimulasi munculnya buah-buah pikiran siswa selama pembelajaran. Pola ini termasuk bagaimana siswa memberikan feedback kepada guru dan sesama siswa, terkait keseluruhan proses belajar yang telah dilakukan. Partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran, akan menempatkan mereka sebagai bagian penting dari proses belajar. Siswa tidak hanya menjadi obyek, tetapi sekaligus subyek pembelajaran. 

Ketiga, proses pembelajaran di kelas tidak melulu bermuara pada peningkatan kemampuan kognitif siswa. Aspek penting lain adalah pengembangan sikap dan karakter. Aspek ini menempatkan guru sebagai role model bagi siswa. Sederhananya, di sekolah, guru harus menjadi tokoh panutan. 

Untuk menjadi panutan, alat ukur sederhananya adalah konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Pada level tertentu, konsistensi itu dapat membentuk persepsi siswa tentang sosok pendidik inspiratif. Dengan menjadi sumber inspirasi bagi siswa-siswi, pada tataran itu, seorang pendidik telah mampu membangun chemistry dirinya dengan para pembelajar. 

Chemistry itu akan membantu guru untuk  mengangkat prestasi siswa melalui metode dan media belajar yang membuat siswa nyaman di kelas, atau ketika ingin membakar motivasi belajar siswa.

Menurut CEO & Founder Elite Tutors Indonesia, Sumarsono, seperti dikutip dari Kompas.com (16/9/2016), "Guru harus memiliki dua kualitas utama, kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik."

Menurut Sumarsono, peserta didik akan sulit menerima ilmu dari guru yang tidak konsisten dan perilaku kesehariannya bertolak belakang dengan ajarannya.

Baca juga: Guru Honorer dan Potret Tata Kelola Guru di Indonesia

Guru sebagai teladan adalah pribadi yang memilih profesi guru karena passion. Gairah untuk terlibat dalam proses yang kompleks, yakni mengajar, mendidik, membimbing dan mengevaluasi. 

Gairah ini tidak normatif, sebagaimana kriteria guru dalam aturan perundang-undangan. Ini soal hasrat dan jiwa, tentang kecintaan yang dalam sebagai fasilitator pembelajaran.

Hasrat dan kecintaan ini terinternalisasi dalam layanan pembelajaran yang kreatif, menyenangkan, dan humanis. Guru dengan passion sebagai panggilan berkarir kaya produktivitas ide dan karya. Ia senantiasa terus belajar mengembangkan kompetensi, meningkatkan kualitas.  

Ia menguasai teknologi (IT) sebagai alat dan sumber belajar, bersikap terbuka terhadap saran dan kritik dari siswa dan rekan kerja, komunikatif dalam mengedukasi dengan pengetahuan dan nilai karakter positif.

Passion jugalah yang melahirkan cara pandang guru untuk menjadikan siswa-siswinya sebagai sahabat dan anak. Dengan begitu, akan muncul guru yang penuh empati kepada siswa-siswinya. Relasi seorang guru dengan siswa yang penuh empati, itu akan menjadikan sosok guru selalu dirindukan kehadirannya oleh siswa di kelas. 

Jika banyak guru bekerja dengan gairah demikian, berapapun anggaran pemerintah, tidak perlu disesali kalau itu diberikan kepada guru-guru berkualitas sebagai reward

Baca juga: Guru Humanis (Refleksi Hari Anak Sedunia, 20 November)


Post a Comment