Ilustrasi. www.kanal274.com

Penghujung Juli 2019, jauh di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan, Stefan- bocah 12 tahun menderita bengkak di kepalanya pasca dipukul wali kelas di sekolahnya SD GMIT Oepliki Kecamatan Noebeba. Oknum guru, Ferdanen Neonane (FN) menghukum Stefan dan temannya karena belum mengumpukan uang Rp. 190 ribu untuk foto kopi materi sejumlah pelajaran. Kejadian itu membuat Stefan enggan ke sekolah karena takut. (www.terasntt.com, 29/7/2019). 

Sulit dipercaya, kisah di atas seperti penggalan fiksi tetapi terjadi dalam kehidupan nyata. Sedih, karena Stefan menderita atas pukulan sang guru, bukan karena perilaku buruk, tetapi pada sesuatu di luar kemampuannnya sebagai seorang anak. 

 Anak seumurannya, ia tentu saja belum mengerti, tentang bagaimana daya dukung finansial keluarga untuk pendidikannya. Ia hanya tahu bersekolah dan bermain dengan ceria. Ada pihak yang bertanggung jawab soal itu, yaitu orang tua. Jika oknum guru itu mau berpikir, maka orang pertama yang wajib ia “adili” adalah orang tua anak didiknya itu. Apa urgensinya melibatkana anak usia SD dalam urusan pembiayaan? Apa lagi dibumbui dengan kontak fisik, demi apa?

Cara sang cik gu dalam memperlakukan siswanya itu menunjukan beliau telah kehilangan sisi humanisme dan empati pada anak didiknya sendiri di sekolah. Jika memiliki sedikit saja kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi keterbatasan keuangan keluarga siswa, maka peserta didik tidak akan menjadi obyek pelampiasan kemarahan guru. 

Panggil dan bicarakan dengan orang tuanya untuk menemukan solusi, sederhana. Pendekatan dialogis semacam ini akan menempatkan guru sebagai figur yang layak dicontoh sikap perilakunya. Hukuman fisik dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang bukanlah hal terlarang. Tetapi hingga kini, pola itu tetap debatable, terutama jika dikaitkan dengan sejumlah aturan perundangan seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

 Di bidang pengajaran, hukuman fisik (mungkin) diperlukan dalam konteks dan kasus tertentu, dan dengan cara yang manusiawi. Dengan begitu, sekolah tetap menjadi tempat yang membahagiakan dan menyenangkan bagi semua warganya. 

Jangan lupa, soal kekerasan dalam ekosistem sekolah, peserta didik merupakan kelompok paling rentan. Di Indonesia pada 2018, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat 445 kasus kekerasan pada anak di bidang pendidikan, dengan 228 diantaranya adalah kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah serta peserta didik, (voaindonesia.com, 27/12/2018). 

Mencermati substansi hukuman FN kepada muridnya yang belum membayar uang foto kopi materi pelajaran, muncul pertanyaan, mengapa otoritas sekolah tidak mengalokasikan dana BOS untuk membeli buku teks sebagai media belajar anak-anak? Sebagai informasi, pada jenjang SD, pemerintah menganggarkan dana BOS sebesar RP.800.000 per satu peserta didik setiap satu tahun. Ketentuan umum penggunaan dana BOS reguler sesuai Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Juknis BOS Reguler Tahun 2019 jenjang SD, SMP, SMA, SMK, SDLB, SMPLB, SMALB, SLB pada huruf D, dengan rinci diuraikan bahwa sekolah wajib menggunakan sebagian dana BOS reguler untuk membeli buku teks utama untuk pelajaran dan panduan guru sesuai dengan kurikulum yang digunakan di sekolah. 

 Merujuk pada Permendikbud ini, mestinya Stefan dan semua peserta didik di sekolahnya tidak dipungut uang tambahan untuk pengadaan materi pelajaran dengan cara foto kopi, apa lagi sampai dipukul. Hak anak itu dan teman-temannya untuk mendapat layanan pendidikan yang baik, termasuk ketersediaan buku teks pelajaran di sekolah telah dipenuhi pemerintah melalui anggaran dana BOS. 

Manajemen di sekolah bekerja mengelola dana tersebut sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Jika tidak, maka kasus FN yang menghukum anak walinya harus menjadi otokritik yang sempurna bagi para pendidik. Guru tidak boleh menganggap sudut pandangnya yang paling benar, terutama ketika memberikan hukuman kepada peserta didik.

 Hukuman di sekolah memang diperlukan, tetapi harus memenuhi prinsip keadilan, karena ia berkaitan dengan wilayah kemanusiaan. Guru bekerja atas nama kemanuasiaan. Mendidik, membimbing, membagi ilmu, mengevaluasi, itulah realisasainya dan semuanya harus mengandung nilai humanisme. Jika tidak, guru tampak seperti robot yang hanya melaksanakan seperangkat aturan. Dengan demikian, hukuman FN kepada muridnya tersebut jelas tidak mencerminkan pendidikan sebagai proses untuk mendidik otak (kognisi) dan hati (karakter).

 Tentang empati guru pada peserta didik, kita harus belajar dari Denmark. Negeri Skandinavia itu bahkan memasukan empati sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan formal sejak 1993. Sekali dalam seminggu, peserta didik usia 6-16 tahun akan terlibat dalam diksusi tentang masalah belajar mereka. Di kelas, peserta didik bebas menyampaikan masalahanya, seluruh kelas termasuk guru menyimak lalu bersama mencari solusi. Jikapun tak ada masalah yang dibahas, maka seluruh kelas akan larut dalam sebuah tradisi Denmark, yang disebut Hygge.

 Sederhananya, itu adalah sebuah kebiasaan untuk orang saling merajut relasi sosial, membangun kedekatan emosional, menciptakan kehangatan persahabatan, saling berbagi, memberi dan menerima. Jadi, Hygge yang diterapkan di sekolah mendorong terciptanya perasaan empati bagi guru dan peserta didik. Pada skala luas, tradisi ini telah menjadikan Denmark berada di tiga besar negara dengan penduduk paling bahagia di dunia, sebagaimana laporan indeks kebahagiaan PBB pada 2012, (morningfuture.com 26/4/2019). 

 Menjadi guru dengan kompetensi keilmuan yang bagus memang penting, tetapi memiliki guru yang cerdas dan penuh empati untuk membantu siswa belajar dengan nyaman dan gembira jauh lebih dibutuhkan. Dengan begitu, sekolah menjadi tempat yang ramah bagi aktivitas belajar anak serta tumbuh kembang mereka.

Kualin, 20/11/2020

Post a Comment