foto:www.merdeka.com
Setelah menyaksikan metamorfosis toko-toko di pinggir jalan menjadi tokopedia, lapak jualan menjadi bukalapak, ojek menjadi gojek, dan kisah matinya sejumlah pusat perbelenjaan di Jakarta akibat kecenderungan masif berbelanja dengan layanan aplikasi online, kini satu lagi bukti ‘kejamnya’ penetrasi teknologi digital dalam kehidupan manusia.
Misalnya, pada November 2018, lini masa para netizen banyak dihiasi keluhan seputar test seleksi kompetensi dasar (SKD) calon pegawai negeri sipil (CPNS). Beberapa keluhan itu diantaranya, tingginya passing grade atau ambang batas untuk tiga aspek penilaian yakni Test Wawasan Kebangsaan (TWK), Test Inteligensi Umum (TIU) dan Test Karakteristik Pribadi (TPK), berikut alokasi waktu 90 menit dirasa kurang oleh peserta untuk menjawab 100 soal.
Selain itu, model test berbasis Computer Assisted Test (CAT) juga memberikan pengaruh psikologis bagi peserta yang terbiasa dengan test manual berbasis kertas selama ini. Dengan CAT, peserta langsung tahu nilai pencapaiannya, real time, saat itu juga begitu selesai menjawab semua soal sesuai durasi waktu. Hasilnya sangat obyektif, tapi tidak ramah secara psikologis, utamanya bagi peserta yang tidak siap menerima hasil buruk.
Sebagai gambaran pada 2018, pemerintah provinsi NTT menyiapkan 587 formasi jabatan. Posisi ini dilamar oleh setidaknya 7.005 pelamar yang mengikuti test, hasilnya hanya 89 orang yang sukses mencapai nilai passing grade ( 1.3%).
Bagi banyak peserta, hasil ini menyakitkan, tapi semestinya bisa diatasi. Mengapa? Sejak mendaftar secara online, apalagi tahu CAT sebagai model testnya, peserta harusnya menyadari mereka sedang berada pada sebuah gelombang besar perubahan sistem. Bahwa test yang mereka hadapi akan jauh berbeda, dari test-test manual yang pernah dilakukan. Dengan kesadaran itu, peserta menyiapkan diri, tidak hanya pengetahuan, tetapi juga strategi menaklukan test jenis ini. Manajemen waktu, kesiapan fisik, trik menjawab soal mudah dan sulit, faktor-faktor ini mesti diperhitungkan seorang peserta.
Inilah karakteristik model adaptasi yang dibutuhkan untuk menghadapi era disrupsi digital. Era dimana perubahan dalam kehidupan manusia banyak ditentukan oleh perangkat teknologi. Individu yang mampu beradaptasi, dialah yang menjadi pemenang di era penuh kompetisi ini.
20-an tahun lalu, Clayton M. Christensen, mencetuskan teori disrupsi untuk menggambarkan perubahan besar dalam dunia bisnis. Christensen mencontokan ragam perubahan produk hasil inovasi kalangan produsen, mengikuti preferensi para konsumen. Istilah ini kemudian dipakai secara luas untuk menggambarkan perubahan, termasuk di bidang informasi dan komunikasi yang berkembang pesat.
Cerita tentang adaptasi pada perubahan, butuh cara pandang bahwa perubahan merupakan peluang dan bukan hambatan. Dengan sudut pandang peluang, seorang peserta test akan memiliki passion untuk menangkapnya. Membekali kapasitas diri dan punya strategi menyelesaikan test adalah tindakan konkritnya. Jika tidak, yang terjadi adalah cerita kegagalan adaptasi pada sebuah perubahan.
foto:www.lupadaratan.comAda pelajaran berharga datang dari dunia bisnis, tentang kisah runtuhnya dominasi Nokia dan Motorola pada awal 2000-an. Sebagai vendor, keduanya terlalu asyik, terlena di zona nyaman booming produk mereka, telat menyadari market share global mereka terus menurun drastis. Di saat yang sama, penetrasi Samsung dengan sistem android begitu konfident menguasai pasar internasional. Nokia menderita dampak berkepanjangan, mengabaikan kejenuhan konsumen pada sistem mereka, dan terlambat merespon kebutuhan konsumen pada sistem baru, sementara Samsung sukses membaca peluang kejenuhan konsumen dengan sistem baru. Hasilnya, Samsung survive di top five dunia hingga kini.
Tentang peluang dan adaptasi, test CPNS 2018 dan 2020 juga memberi pelajaran lain yang penting dicatat. Di lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, banyak formasi jabatan yang justru minus atau bahkan tidak ada pelamarnya. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTT pada 10 Oktober 2018 merilis rekapitulasi jenis formasi dan jabatan yang kurang atau tanpa pelamar. Selain dokter, beberapa jabatan itu antara lain, guru TIK, guru Seni Budaya, guru Antropologi, guru PKn, semuanya untuk penempatan di SMA.
Jika dicermati, beberapa jurusan ini belum merata dimiliki semua perguruan tinggi di NTT. Pertanyaanya, bagaimana kebijakan kampus menganalisis kebutuhan di pasar kerja terkini dengan ketersediaan jurusan atau program studi mereka? Faktanya, tidak banyak kampus di NTT yang membuka jurusan ilmu komputer, Sosiologi dan Antropologi utamanya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) untuk mencetak guru-guru di bidang itu.
Kalau demikian, para pemikir di kampus juga telat membaca masa depan dan merespon dinamika kebutuhan tenaga kerja di lapangan, dengan ketersediaan program studi/jurusan sebagai ‘mesin pencetaknya.’ Sampai di sini, ada lost in transition antara ilmu sosiologi yang dipelajari anak-anak SMA jurusan IPS dan antropologi oleh siswa jurusan Bahasa, ketika para lulusan enggan masuk ke FISIP atau FIB, melainkan FKIP sebagai calon guru. Ini satu lagi bukti, link and match antara institusi pendidikan dengan dunia kerja dalam system pendidikan kita, memang butuh perbaikan.
Kembali ke tes CPNS, sebagai peserta yang gagal dalam dua kesempatan itu, beradaptasilah. Kenali karakter soal-soal High Order Thinking Skill (HOTS). Perkuat kebiasaan literasi untuk membangun kapasitas wawasan diri. Dengan begitu, peserta memiliki daya antisipasi dan kemampuan menangkap peluang. CAT merupakan salah satu spirit reformasi birokrasi yang digalakan pemerintah.
Model ini dipakai untuk menghasilkan pegawai usia muda yang siap menghadapi tantangan era disrupsi. Para talenta muda diharapkan menjadi “pendobrak zona nyaman” sekaligus menguasai trend teknologi baru. Ini tampak selaras dengan tagline Badan Kepegawaian Negara, “ASN Kini Beda”. Bersikap resistensi atau apatis pada perubahan hanya akan melahirkan para pecundang baru. Itulah kejamnya era ini.
إرسال تعليق