Ilustrasi, www.theasianparent.com |
Hawa dingin bulan Desember kota Soe terasa menusuk. Malam itu, jarum jam dinding di ruang tunggu petugas Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Komprehensif (PONEK) RSUD Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) -NTT menunjukan jam 21.45 WITA.
Di balik meja petugas, duduk tiga bidan piket dan seorang dokter SPOG. Saya duduk berhadapan dengan satu dari tiga bidan itu, sedang berurusan untuk penandatanganan sejumlah dokumen konfirmasi persiapan operasi persalinan sang istri. Mendengar perbincangan di antara para medis itu, dan dari raut muka, tampak mereka sedang penuh siaga. Rupanya ada kasus emergensi.
Benar saja, lima menit mengamati suasana itu, bunyi deru mesin sebuah mobil yang tiba di lobi ruang PONEK memecah ketegangan. Itu adalah mobil ambulans yang datang dari satu puskesmas pedalaman wilayah selatan TTS.
Namanya puskesmas Sei, terletak di desa Sei, Kecamatan Kolbano. Letak desa ini di atas bukit, menghadap ke selatan, dengan desa Kolbano dan hamparan laut Timor di bawahnya. Jarak ke kota Soe sekitar 60-an km dengan waktu tempuh 2- 3 jam.
Di puskesmas Sei, pada Senin, 17 Desember 2018, sekitar pukul. 19.00 WITA, lahir sepasang bayi kembar dari rahim seorang ibu muda, 21 tahun. Sayang, meski normal, partus ini tidak mulus.
Bayi pertama lahir pkl. 19.05, bayi kedua sekitar 15 menit kemudian. Setelah partus, hal yang paling ditakuti dalam persalinan, justru menimpa sang ibu. Ibu nifas ini mengalami Hemoragic Post Partum alias perdarahan yang hebat. Petugas puskesmas lalu merujuk pasien ini ke RSUD Soe.
Kembali ke ruang PONEK, tempat di mana para bidan, dokter kandungan dan dokter umum menunggu kedatangan sang ibu. Semua petugas gesit menyiapkan peralatan tindakan medis. Sebagai orang awam, saya beruntung, disuguhkan bagaimana apiknya kerjasama para tenaga medis dalam menangani pasien dengan kondisi darurat.
Hal yang selama ini hanya bisa saya saksikan melalui aksi Ellen Pompeo, Patrick Dempsey, Katherine Heigl dan lainnya dalam Grey Anatomy, sebuah serial televisi yang berkisah tentang keseharian Dr. Meredith Grey dan teman-temannya yang berprofesi sebagai ahli bedah.
Sangat menggugah melihat semua upaya yang mereka lakukan. Begitu diturunkan dari mobil ambulans, mohon maaf, darah segar terus meleleh sepanjang pasien dibawa ke dalam bangsal ruang PONEK. Di ruang tindakan, semua petugas yang sedari tadi stand by langsung bekerja. Semua serba cepat. Cekatan.
Nada suara perbincangan mereka kadang tinggi, sesekali juga dengan lembut. Beberapa kali seorang dokter muda, perempuan, berwajah oriental, berbicara dengan penuh empati kepada suami sang pasien. Saya suka, cara ibu dokter ini menjelaskan kepada sang suami, sangat humanis. Ia tampak berusaha menjelaskan kondisi pasien yang sedang kritis. Sang suami, laki-laki muda, kira-kira 27 tahun, lugu dan pasrah menatap dokter.
Di atas tempat tidur, ibu nifas berbaring dalam kondisi koma akibat kehilangan banyak darah. Genting. Semua petugas medis tampak tegang, kecuali seorang dokter SPOG senior. Ia dokter kandungan PNS satu-satunya di TTS. Bayangkan, bagaimana kesibukannya melayani pasien satu kabupaten dengan jumlah penduduk paling banyak di NTT.
Sambil bekerja, ia sangat tenang, menjawab setiap pertanyaan bidan atau perawat. Saya tertegun, merenung, betapa besar resiko persalinan bagi kaum hawa. Perjuangan melahirkan seorang buah hati, pertaruhannya adalah nyawa, entah sang ibunda, bayi atau bahkan keduanya.
Pantas saja, pemerintah memberikan perhatian besar dengan program revolusi Kesehatan dan Keselamatan Ibu dan Anak (KIA). Slogan "datang satu pulang dua atau lebih" seperti terpatri kuat dalam semangat pelayanan para bidan, perawat dan dokter.
Lebih dari 30 menit setelah menyaksikan proses penanganan ibu nifas tersebut, upaya itu kemudian berakhir. Team medis malam itu tidak beruntung. Hasil upaya mereka minor. Nyawa sang ibu tidak bisa diselamatkan. Darah terlanjur keluar banyak selama menempuh perjalanan dari Sei ke Soe. Pasien sampai di RSUD Soe sudah dalam kondisi sangat kritis. Tuhan maha adil, kedua anak kembar almarhum sehat dan selamat.
Kabar meninggalnya ibu dari Sei itu langsung mengganggu pikiran saya. Bukan apa-apa, dalam 24 jam berikutnya, istri saya akan menjalani bedah caesar persalinan anak kedua kami. Ini adalah caesar kedua, setelah kelahiran anak pertama dengan cara yang sama.
Tentu saja saya gugup. Sepanjang malam menemani istri berpuasa sebagai syarat tindakan bedah, saya jalani dengan perasaan traumatis. Oh my god.
Selasa pagi, 18 Desember 2018, giliran saya harus berpacu melawan rasa takut. Sang istri dijadwalkan masuk ruang operasi jam 10.00. Pagi itu saya mengantarnya sampai di pintu ruang bedah. Mujurnya, kepala ruang bedah dan perawat pelaksana bedah saya kenal baik. Di pintu ruang bedah, mereka menyambut kami dengan senyum ramah. Pintu lalu ditutup, dan operasi caesar dimulai.
Kurang lebih sejam menanti, syukur alhamdulillah, jam 11.00, tangisan putri keduaku, Neelam Medina Gorantokan melengking terdengar sampai di luar ruang bedah.
Tapi, saya tetap belum tenang, sebelum memastikan kondisi ibunya. Semua baru terasa lega, saat melihat istri tersenyum sembari memberikan kolostrum, ASI pertama yang kaya nutrisi untuk si buah hati.
Belajar dari apa yang saya saksikan malam itu, ada beberapa point penting yang perlu digaris bawahi, dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan anak.
Pertama, soal fasilitas pendukung di puskesmas. Salah satu alat penting yang jarang dimiliki puskesmas pelosok adalah Ultrasonografi (USG). Pada hal penggunaan alat ini dapat mendeteksi potensi dan resiko kehamilan sejak dini.
Dengan mengetahui kondisi kehamilan lebih dini, didukung data lain seperti rekam medis, usia, riwayat kehamilan, bidan bisa membuat tafsiran dan advis kepada ibu hamil, seperti apa proses persalinan kelak.
Sehingga, dalam kasus ibu dengan bayi kembar misalnya, mestinya bisa diprediksi sang ibu kemungkinan besar akan sulit melahirkan di puskesmas yang terbatas SDM dan fasilitas kesehatan. Dan karenanya, ibu sudah harus dirujuk ke faskes yang lengkap menjelang persalinan.
Kedua, jika fasilitas kesehatan umum memiliki SDM dan fasilitas lengkap, tetapi masyarakat enggan datang menggunakannya, juga sia-sia. Ini soal pola pikir dan kesadaran.
Faktanya, ada ibu hamil dan keluarga yang memposisikan tenaga dan layanan medis sebagai second opinion. Apa opsi pertama mereka? Dukun bersalin.
Di NTT, data menunjukan sebagian besar, 42,1% ibu melahirkan di rumah, puskesmas/pustu 2,94%, rumah sakit 19,3%, polindes/poskesdes 6,4%, klinik/praktek 2,7%.
Ketiga, soal akses transportasi. Jika saja jalan-jalan utama penghubung kecamatan dengan kota kabupaten memadai, maka kasus emergensi seperti di atas barangkali bisa diatasi. Dengan kata lain, jangan ada pasien yang meninggal di jalan karena lamanya waktu tempuh dan beratnya kondisi jalan rusak saat mereka dirujuk ke RSU Daerah misalnya.
Ini PR besar bagi semua pihak terkait. Jangan lupa, NTT merupakan provinsi dengan angka kematian ibu dan bayi tertinggi di Indonesia.
Survei Dasar Kesehatan Indonesia tahun 2017 menunjukan angka kematian ibu di NTT sangat tinggi. Rasionya mencapai 306 ibu dari 100.000 kelahiran. Bandingkan dengan tingkat nasional, 228 ibu, dari 100.000 kelahiran dan kematian langsung akibat perdarahan termasuk tinggi di Indonesia. Di kabupaten TTS, kematian ibu tahun 2015 mencapai 327/100.000 kelahiran.
Keempat, keberhasilan revolusi KIA juga membutuhkan kerjasama banyak pihak, lintas sektor, tidak bisa sepenuhnya menjadi tanggungjawab profesi bidan.
Di TTS, bidan kadang mendatangi rumah ibu hamil bersama kepala desa, ketua RT/RW, polisi pembina desa, untuk mengedukasi mereka terkait pentingnya memeriksa kehamilan dan melahirkan di fasilitas kesehatan.
Baca juga: Kehangatan di Posyandu
إرسال تعليق