Sumber foto : Akun twitter Ivan Lanin |
Jusuf Kalla, sewaktu menjabat wakil presiden, separuh waktu senggang di rumah dipakainya mengajarkan para cucu bahasa daerah Bugis. Lahir dan tumbuh di gemerlap metropolitan, JK tak ingin anak cucunya lupa identitas, asal-usul mereka.
Ketika diwawancara satu televisi swasta nasional di hari-hari terakhirnya sebagai wapres, pria asal Watampone Sulawesi Selatan ini bahagia, melihat seorang cucu menjawab pertanyaanya dalam bahasa Bugis. Cinta pada kampung halaman dan para leluhur, dijewantahkan dengan komunikasi menggunakan bahasa daerah.
Pada konteks ini, bahasa daerah tak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi menjadi warisan peradaban komunitas, sekaligus simbol identitas.
Jauh dari Jakarta, puluhan tahun lalu, upaya seperti yang dilakukan JK juga ditempuh rakyat Bangladesh untuk mendapat pengakuan terhadap bahasa Bangla. Perjuangan itu secara simbolis dirayakan rakyat Bangladesh pada setiap tanggal 21 Februari.
Upaya ini menginspirasi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) untuk menetapkan tanggal 21 Februari sebagai sebagai International Mother Language Day atau hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan itu diumumkan UNESCO pada 17 November 1999, kemudian diikuti pengakuan resmi Majelis Umum PBB pada 2008.
Cara JK dan rakyat Bangladesh merawat bahasa daerah mereka, adalah bentuk apresiasi kekayaan warisan budaya dan intelektualitas para leluhur. Secara global, kondisi bahasa-bahasa ibu berada pada fase mencemaskan.
Catatan UNESCO pada 2018 menunjukan 40% penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap pendidikan dalam bahasa yang mereka ucapkan atau pahami (en.unesco.org.)
Di Indonesia, hingga 2019, terdata sebanyak 718 bahasa daerah oleh Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Derasnya arus globalisasi dan modernisasi, menyebabkan kekayaan linguistik ini rentan pada disrupsi kepunahan.
Sebagai contoh, 11 bahasa daerah dengan status punah dan 4 lainnya dinyatakan kritis sebagaimana data Badan Bahasa Jakarta adalah ancaman nyatanya.
Data bahasa daerah yang punah itu antara lain, Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua, dan Nila, semuanya berasal dari Maluku, dan dua lainnya dari Papua, yakni Tandias dan Mawes. Sementara 4 bahasa daerah yang kritis masing-masing, Reta dari NTT, Saponi dari Maluku, serta Ibo dan Meher dari Papua (kompas.com, 10/02/2018).
Atas kondisi tersebut, melestarikan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa wajib hukumnya. Slogan "utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah dan kuasai bahasa asing" adalah pijakan utamanya.
Di jalur formal, memasukan bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal perlu diperluas cakupannya. Untuk merangsang minat dan motivasi siswa, pendekatan kreatifitas seperti pentas seni dan karya sastra dalam bahasa daerah dengan melibatkan siswa dalam lanskap penutur bahasa tertentu merupakan alternatif yang menarik. Langkah ini akan memperkuat prinsip pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu bagi siswa SD, SMP dan SMA.
Di perguruan tinggi, kegiatan penelitian diranah linguistik dengan sampel bahasa daerah mesti terus digalakan oleh para civitas akademika, termasuk misalnya menyusun kamus bahasa daerah.
Pada level komunitas, ada pelajaran berharga dari komunitas Sengker Kuwung Blambangan di Banyuwangi Jawa Timur. Untuk melestarikan bahasa Using di Banyuwangi, komunitas ini telah menerbitkan 18 buku fiksi dan nonfiksi dalam bahasa daerah Using, termasuk memfasilitasi pelatihan penyusunan kamus bahasa Using.
Upaya seperti menyusun kamus bahasa daerah urgen dilakukan, mengingat bahasa daerah juga berkontribusi untuk memperkuat dan memperkaya khasanah linguistik Bahasa Indonesia. Kosa kata Bahasa Inggris seperti download dan upload adalah contoh, yang mana padanan artinya justru diambil dari bahasa Jawa, unduh dan unggah.
Berikut, sebagai instrumen budaya, bahasa daerah mendapat tempat istimewa di tengah komunitas penuturnya. Hal ini bisa dilihat pada perhelatan ritual budaya. Masyarakat Dawan di Timor Barat tidak bisa membayangkan jika Natoni, tutur lisan khas dalam menyambut tamu dan acara adat diganti dengan tutur bahasa Indonesia. Kedalaman makna dan terutama value Natoni sebagai perekat relasi sosial hanya bisa terpenuhi, jika ia ditutur dalam bahasa Dawan.
Baca juga : Literasi Dinding Rumah dan Anugerah Menulis
Hal yang sama ditemui dalam tradisi Sole oha di komunitas Lamaholot. Sole oha merupakan semacam seni bercerita hikayat masa lalu dalam tradisi masyarakat penutur bahasa Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata- NTT, melalui tarian khas dengan formasi melingkar.
Dan sekali lagi, kisah dalam Sole oha itu akan kedengaran ritmis, syahdu dan menggugah para penari dan penonton hanya jika ia dilantunkan dalam bahasa Lamaholot. Ini artinya, fungsionalitas bahasa daerah dalam konteks Natoni dan Sole oha merupakan piranti utama budaya yang inherent pada komunitasnya.
Sangat mustahil jika relasi sosial masyarakat di pulau Adonara, Solor dan Larantuka di Flores Timur, lalu Lembata dan sebagian wilayah kabupaten Alor, hidup tanpa bahasa Lamaholot. Itu tidak mungkin.
Ini satu lagi bukti, daya ikat sebuah bahasa daerah yang menyatukan komunitas di tiga kabupaten, terpisah berpulau-pulau tetapi terikat erat dalam satu falsafah, persaudaraan warga Lamaholot. Bahasa daerah akhirnya tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga perangkat sosial kehidupan masyarakat penuturnya.
Selain sebagai piranti komunikasi dan sosial budaya, bahasa daerah juga merupakan bukti sahih, kekayaan imajinasi dan kejayaan literasi nenek moyang kita yang sulit dijelaskan, di jaman secanggih saat ini sekalipun. Tugas berat kita saat ini adalah memastikan bahasa daerah tetap eksis, dipelajari, dan digunakan oleh generasi sekarang dan masa depan.
Ciri khas masyarakat Indonesia yang multibahasa dan multikultural butuh perangkat perekat, untuk melestarikan pengetahuan, budaya dan terutama persatuan baik ditingkat komunitas, maupun dalam konteks kesatuan sebagai bangsa.
إرسال تعليق